Di negeri ini banyak sekali pengemis, tetapi kita tidak akan menemukannya di dalam area Bandara, Mall, Kantor Lembaga Pemerintahan, atau Pemukiman Mewah. Kita akan dengan mudah menjumpai pengemis di lampu merah yang ramai, pasar tradisional, atau area pemukiman yang dekat dengan jalan besar. Mengapa demikian? Karena pada area yang pertama ada satpamnya dan yang kedua tidak ada satpamnya.
Saya tahu para pengemis itu adalah orang yang secara ekonomi memang miskin dan berhak mendapatkan bantuan. Akan tetapi, saya juga berpikir bahwa kemiskinan mereka itu adalah akibat dari mentalitas mereka dan karenanya cara membantu mereka yang terbaik adalah dengan mendidik mereka untuk keluar dari mentalitas hina itu. Terus terang, pengemis yang paling membuat saya sebal adalah pengemis di sekitar masjid, terutama pengemis laki-laki pada saat sedang berlangsungnya sholat jumat dan hari raya idul fitri. Kenapa demikian? Karena mereka minta kita mengasihani mereka, padahal saat orang-orang sholat jumat mereka malah tidak sholat dan bahkan kadang-kadang sambil menunggu yang sedang sholat mereka malah merokok. Dalam kaitannya dengan idul fitri, hukum yang berlaku adalah setiap orang miskin yang muslim wajib diberikan bagian dari zakat fitrah oleh amil setiap menjelang idul fitri. Tujuan dari hukum itu adalah agar setiap muslim bisa bergembira di hari idul fitri, karena tidak lapar. Tetapi kenyataannya, setiap idul fitri walaupun sudah mendapat bagian dari zakat fitrah, tetap saja pengemis antre di masjid-masjid meminta-minta. Bagi saya, apa yang mereka lakukan itu sudah melampaui batas dan karenanya mereka memperoleh kehinaan. Oleh karena itu, untuk mengembalikan kemuliaan mereka lagi sebagai manusia, maka mereka harus diajak, dididik, dan didorong untuk hijrah dari hidup yang hina ke hidup yang mulia. Maaf, saya tidak menggunakan kata yang lebih halus, karena bagi saya mengemis adalah perbuatan yang hina dan memberikan sedekah atau sumbangan secara ikhlas adalah perbuatan yang mulia. Dan berhutang dengan niat akan dibayar setelah mampu jauh lebih baik daripada mengemis.
Mari kembali ke kaitan antara pengemis dan satpam.
Satpam adalah aparat penegak hukum. Hukum yang ditegakkannya adalah aturan yang dibuat oleh bosnya yang menjadi pemilik dari properti yang dijaga satpam tersebut, yang umumnya melarang pengemis masuk ke dalam propertinya. Sebagai makhluk yang rasional, satpam itu sudah berhitung bahwa jika dia tidak menegakkan hukum misalnya dengan membiarkan pengemis masuk, maka pekerjaannya bisa hilang. Semakin besar probabilitas dia dipecat oleh bosnya karena membiarkan pengemis masuk, maka akan semakin agresif dia dalam menegakkan hukum; dan demikian pula sebaliknya. Pengemis juga makhluk yang rasional dan membuat perhitungan-perhitungan. Pada area yang ada satpamnya, kemungkinan besar pengemis akan diusir jika masuk ke area itu dan jika pengemis nekat melawan maka kemungkinan yang kalah adalah si pengemis. Oleh karena itu, wajarlah jika pengemis cenderung menghindari area yang bersatpam.
Jika saja sistem hukum yang diterapkan dalam area privat bersatpam itu diterapkan pula dalam area publik, maka jumlah pengemis pasti sangat sedikit. Hukum yang melarang orang mengemis ada kok dan perbuatan itu kategorinya tindak pidana malah. Orang yang bekerja sebagai penegak hukum juga ada kok, yaitu Polisi dan Satpol PP. Dan bos dari Polisi dan Satpol PP juga jelas, yaitu Polri dan Pemda. Jika keduanya dibandingkan, mengapa sub-sub sistemnya sama, tetapi hasil akhirnya berbeda? Jawabnya mudah. Karena pada area privat hukum ditegakkan dengan baik, sedangkan pada area publik hukum tidak ditegakkan dengan baik.
Sebagian anda mungkin tidak setuju dengan aturan yang menetapkan mengemis sebagai tindak pidana dan mungkin sebagian dari anda juga menolak penegakan hukum terhadap pengemis karena berpendapat bahwa pengemis harusnya dibantu dan bukannya ditindak. Dalam hal tersebut, saya berbeda pendapat dengan anda.
Saya pikir, demi kemaslahatan bersama, maka pengemis harus ditindak dan sekaligus dibantu. Penindakan yang sangat keras harus dilakukan terhadap orang-orang yang menjadikan pengemis sebagai mesin uangnya dan pengemis bekerja untuk orang itu (saya sebut saja makhluk itu ‘Bos Pengemis’). Sedangkan, untuk “Buruh Pengemis’ harus dibantu agar kembali punya kebebasan, harga diri, keberanian, dan kemandirian.
Ada 2 (dua) tipe ‘Bos Pengemis’, yaitu Bos Pengemis Kelas Paus dan Bos Pengemis Kelas Teri. ‘Bos Pengemis Kelas Paus’ adalah orang-orang yang bisnisnya adalah merekrut orang-orang miskin dari kampung, mendandani mereka dengan pakaian lusuh, mengajari mereka teknik membuat raut muka yang amat memelas, mendrop dan menjemput mereka di jalan-jalan tertentu dan pada jam-jam tertentu, mengatur jarak berdiri untuk setiap orang di pinggir jalan, menetapkan target setoran, memukuli atau menyiksa mereka jika setoran kurang, menyuap Polisi atau Satpol PP untuk menebus mereka saat terkena razia, dan berkolusi dengan para preman untuk mengamankan area operasinya. Itulah manusia-manusia hina yang harus berada dalam penjara untuk waktu yang lama dan kalau perlu seumur hidup mereka. Sedangkan, Bos Pengemis Kelas Teri adalah orang yang menerima setoran dari beberapa orang Buruh Pengemis, tetapi dia sendiri harus menyetor kepada Bos Pengemis Kelas Paus. Orang-orang seperti ini tidak kalah hinanya, apalagi mereka yang secara sadar mendidik dan memaksa anak-anaknya menjadi pengemis.
Para ‘Buruh Pengemis’ adalah orang-orang yang saya yakin secara ekonomi memang miskin, tetapi belum tentu mereka mengemis karena keinginan sendiri. Bisa jadi mereka mengemis karena terpaksa, yaitu karena diwajibkan oleh Bos Pengemis untuk melunasi hutangnya kepada Bos Pengemis. Tetapi mungkin saja memang ada orang yang menjadi ‘Buruh Pengemis’ dengan sengaja. Mereka membuat perjanjian dengan ‘Bos Pengemis’ untuk mendapat wilayah operasi dan perlindungan keamanan dalam bekerja. Selain ‘Buruh Pengemis’, ada pula tipe pengemis yang lain yaitu ‘Freelance Pengemis’. Mereka biasanya pengemis pemula yang belum punya bos. Nantinya setelah mereka lelah diusir dan diintimidasi di jalanan, biasanya mereka akan mencari ‘ketenangan’ dengan bekerja untuk ‘Bos Pengemis’ tertentu.
Singkatnya, kehidupan para pengemis punya struktur sosial sendiri dan keanggotaan dalam struktur tersebut terus menerus melakukan regenerasi. Seorang ‘Freelance Pengemis’ dalam beberapa waktu biasanya akan menjadi ‘Buruh Pengemis’. Seorang ‘Buruh Pengemis’ setelah beberapa waktu biasanya akan menjadi ‘Bos Pengemis Kelas Teri’; sekurang-kurangnya mereka menjadi bos untuk anak-anak mereka. Seorang ‘Bos Pengemis Kelas Teri’ yang anak-anaknya atau sekutunya sudah besar, kuat, dan beringas biasanya kelak akan menjadi ‘Bos Pengemis Kelas Paus’.
Pemerintah harus menghilangkan struktur sosial kepengemisan tersebut. Karena jika tidak dihilangkan jumlah orang yang menjadi pengemis akan bertambah banyak dan mentalitas mengemis akan membudaya.
Saya pikir kombinasi dari tindakan penegakan hukum yang tegas dengan pemberian bantuan dan pemberdayaan kemampuan pribadi terhadap para pengemis harus dilakukan. Pertama, penjarakan semua Bos Pengemis Kelas Paus untuk waktu yang lama. Jika sanksi yang ada tidak memungkinkan mereka ditahan lama, maka tahan lah mereka berkali-kali sampai mereka kapok dan mengadakan pekerjaan lain. Jika mereka sudah kapok alias bertobat, maka beri kepercayaan kepada mereka untuk mengajak para buruhnya berhenti jadi pengemis.
Kedua, tangkap semua pengemis di jalanan setiap hari dan masukkan mereka ke rumah rehabilitasi. Lalu jemputlah keluarga si pengemis yang tertangkap itu dan kumpulkan mereka sekeluarga menjadi satu di rumah rehabilitasi. Di rumah rehabilitasi, para bapak diajari berdagang, menyupir, membengkel, mengelas, bertani, memasak, mengetik, atau keterampilan lainnya. Para ibu diajari cara memelihara kesehatan keluarga, memahami karakter anak, mengatur keuangan, dan berbagai keterampilan yang bisa digunakan untuk menambah penghasilan keluarga. Para remaja diajari mengetik di komputer, menggunakan Internet, menggunakan lcd proyektor, berbahasa Inggris, dan berbagai keterampilan lain. Para anak diajak bermain, bernyanyi, membaca, menulis, dan berkata-kata yang baik. Mereka semua setiap hari harus dimotivasi untuk punya cita-cita. Mereka harus dibuat berani punya cita-cita. Mereka harus diyakinkan bahwa kalau mereka mau, mereka bisa keluar dari kemiskinannya. Mereka juga harus dimotivasi untuk membenci pekerjaannya sebagai pengemis. Singkatnya, kehidupan di rumah rehabilitasi adalah sekolah untuk membuat mereka HIJRAH, dari perilaku yang hina ke perilaku yang mulia.
Selama di rumah rehabilitasi itu pula, pemerintah harus memberikan hak-hak administrasi kependudukan mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Jika ada pasangan yang belum punya surat nikah, maka berikanlah surat nikah. Jika ada anak yang belum punya akta lahir, maka berikanlah akta kelahiran. Jika ada yang belum punya KTP dan KK, maka berikanlah KTP dan KK dengan alamat di rumah rehabilitasi itu. Berikan mereka kartu jamkesmas agar mereka bisa berobat ke rumah sakit pemerintah di kala sakit. Buatkan pula mereka rekening tabungan di bank.
Karena hidup di rumah rehabilitasi harus dianggap seperti sedang bersekolah, maka tentu harus ada jangka waktunya. Penentuan kapan mereka ‘lulus’ dari sekolah itu adalah ketika si bapak sudah berhasil membiayai sendiri tempat tinggal dan makan untuk keluarganya. Jadi selama seminggu pertama para bapak digojlok habis untuk menguasai keterampilan teknis sesuai minatnya. Ajak mereka dengan lembut untuk memilih keterampilan teknis yang mereka suka. Jika mereka malas atau malah melawan, maka disiplinkan mereka tanpa menggunakan kekerasan. Di dalam rumah rehabilitasi tidak ada toleransi untuk kemalasan. Jika mereka masih keras kepala dengan kemalasannya, maka kirimlah mereka ke pemuka agama yang kharismatik dan tegas untuk menasehati dan mendisiplinkan mereka. Pada minggu kedua, suruhlah si bapak setiap hari keluar dari rumah rehabilitasi untuk menjemput rezekinya. Aturannya sederhana. Pekerjaan yang tidak boleh dilakukan adalah mengemis, mencuri, memeras, merampok, menipu, memalsu, melacur, dan yang semacamnya. Jangan bekali mereka dengan uang. Tetapi bekali mereka dengan barang dagangan, sehingga jika mereka lapar mereka bisa menjual barang dagangan itu untuk membeli makanan. Jika dari penjualan barang dagangan tersebut ada sisa barang atau ada uang dari keuntungan penjualan, maka sisa barang dan uang tersebut adalah milik dari si bapak. Dengan uang itu, ia diharapkan dapat menabung untuk bisa mandiri. Pada hari pertama ‘ujian praktek’ tersebut, barang dagangan yang diberikan berjumlah enam puluh, kemudian setiap hari berikutnya jumlah tersebut dikurangi satu.
Kemandirian dalam hal ini adalah kemampuan untuk menyediakan tempat tinggal dan makanan untuk keluarganya. Lokasi tempat tinggal tersebut harus berbeda dengan tempat tinggal saat ia masih menjadi pengemis. Lokasi tempat tinggalnya yang baru bisa di Provinsi yang sama dengan tempat tinggalnya yang lama, tetapi harus di kabupaten atau kota yang berbeda. Ia pun diperbolehkan untuk pulang ke kampung asalnya jika menghendaki. Intinya dimanapun ia ingin tinggal itu adalah pilihannya asalkan tidak di lokasi dan wilayah yang sama dengan saat ia menjadi pengemis. Dan apapun pilihannya itu, ia harus membiayainya sendiri dari hasil penjualan barang dagangannya atau pendapatan dari pekerjaan yang dia lakukan.
Jika sampai hari keenam puluh, si bapak belum bisa mandiri, ia dan keluarganya harus dikirim ke suatu pulau di perbatasan untuk mengolah tanah di pulau tersebut atau melakukan pekerjaan yang dapat membantu tugas para tentara di perbatasan tersebut. Jika seseorang yang sudah keluar dari rumah rehabilitasi tertangkap lagi karena mengemis, maka terhadapnya tidak perlu disekolahkan lagi, melainkan langsung dikirim ke pulau perbatasan untuk bekerja disana. Intinya, tidak ada pemenjaraan untuk Buruh Pengemis. Di dalam penjara, Buruh Pengemis dipisahkan dari keluarganya dan saya pikir itu bukan sesuatu yang baik.
Bukankah dengan rumah rehabilitasi semacam ini justru akan semakin banyak orang yang menjadi pengemis dengan harapan akan dimasukkan kesana? Untuk pertanyaan tersebut, saya pikir kita harus kembali ingat bahwa setiap orang adalah makhluk yang rasional dan membuat perhitungan-perhitungan. Ingat, sistem yang dibangun di dalam rumah rehabilitasi tidak mentolerir kemalasan dan serba disiplin. Jadi setiap orang, kecuali anak-anak, akan dikondisikan untuk bekerja keras. Setiap ‘murid’ di ‘sekolah’ itu juga tidak akan mendapat uang sepeser pun. Mereka harus berdagang atau melakukan pekerjaan jika ingin memiliki uang. Jika dalam waktu 60 (enam puluh) hari setelah ‘ujian praktek’ mereka gagal untuk mandiri, maka mereka akan dikirim ke perbatasan dan tinggal disana selamanya. Saya pikir ini bukanlah sekolah yang diinginkan oleh sebagian besar orang. Oleh karenanya, saya yakin tidak akan banyak yang cukup gila untuk menjadi pengemis, sekedar agar masuk ke rumah rehabilitasi.
Apakah ini bisa dilakukan sekarang? Terus terang saja saya pikir dalam kondisi sekarang, ide ini mustahil. Tapi mungkin kelak bisa terwujud. Semoga saja.