---
Hari itu adalah hari istimewa. Di aula besar, Pak Murbaut sendiri telah mengumumkan perolehan omzet hasil kerjasama kelompok-kelompok pengelana tempo hari. Kelompokku ada di urutan kedua peraih omzet terbesar. Kelompok Gimo di urutan pertama dengan perolehan omzet paling tinggi sepanjang sejarah diadakannya kompetisi itu. Lelaki berambut jabrik itu girang bukan buatan. Pak Murbaut juga telah mengumumkan hadiah istimewa bagi lima kelompok dengan omzet tertinggi, yakni paket tinggal bersama (live in) dengan keluarga-keluarga istimewa selama satu minggu. Kelompokku akan pergi ke Jakarta, sebuah kota yang belum pernah kukunjungi sampai usiaku waktu itu.
---
Setelah selesai acara pengumuman itu, semua murid kelas satu berhamburan ke luar aula besar. Kami saling memberi ucapan selamat. Semua murid mengucapkan selamat kepada kelompok-kelompok dengan omzet tertinggi. Gimo menjadi bintang yang bersinar-sinar di siang hari itu. Kuucapkan juga padanya, selamat. Kami berpelukan. Ia mengacungkan jempol padaku, maksudnya selamat juga untukmu, begitulah kira-kira artinya. Kami berjabat tangan erat-erat lalu berpelukan lagi penuh haru.
---
Enam bulan yang lalu, aku dan Darmo adalah anak-anak desa miskin yang setiap kali pesawat terbang melintasi langit desa kami, kami berhamburan keluar rumah, mendongak ke atas dan menunjuk-nunjuk pesawat itu. Kami berlari-larian seolah-olah ingin mengejarnya. “Montor mabur, montor mabur, kae kae lho!” Kami berteriak-teriak begitu dan berhenti jika pesawat terbang itu hilang ditelan awan. Entah apa yang kami bayangkan ketika melihat pesawat-pesawat terbang itu setiap kali melintas atas desa kami.
---
Tiga hari setelah pengumuman istimewa oleh Pak Murbaut itu, Boni, Salimar, dan aku sudah berada di atas awan. Aku duduk dekat jendela. Bumi semakin di bawah. Kucari-cari letak desaku, tapi tak kutemukan persisnya. Kubayangkan saja keluargaku, teman-temanku sedang berhamburan ke luar rumah, mendongak ke atas mencari-cari pesawat yang melintas, lalu menunjuk-nunjuk bahwa aku ada di dalam pesawat itu. Mereka tak akan peduli, apakah pesawat yang melintas di atas langit desa adalah pesawat yang sedang aku tumpangi atau bukan. Aku sendiri tak yakin, karena pesawat kami lepas landas dari bandara Adisucipto, Yogyakarta. Tak pentinglah itu. Yang jelas orangtuaku pasti bangga. Mengingat mereka, hatiku sangat terharu.
---
Praktis selama kurang lebih 50 menit di atas pesawat, kami sangat pendiam. Boni membaca panduan pemakaian pelampung. Ia bolak-balik halaman itu berulang-ulang. Kukira, Boni pasti tak bisa berenang. Aku sendiri asyik melamunkan teman-teman desaku sedang mendongakkan kepalanya ke langit. Terdengar suara-suara mereka lekat di telingaku. “Montor mabur, montor mabur, kae kae lho!” Tanpa kusadari kulambaikan tanganku pada mereka. Untung kedua temanku tak melihat ulahku tadi. Salimar pun tak banyak cakap. Entah apa yang dipikirkannya. Kedua matanya seringkali terlihat terpejam. Kulihat sekeliling, sunyi, kecuali deru pesawat dan goncangan menempa awan. Ah, tiba-tiba kuyakini sesuatu, mengapa penumpang pesawat terbang tampak lebih pendiam. Ya, mereka pasti sedang berdoa, supaya pesawat ini tidak jatuh. Ya, itu pasti, tak lain tak bukan.
---
Tak berapa lama kemudian, terdengar pengumuman bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkarang. Kami kencangkan lagi sabuk pengaman. Pesawat mulai menukik dan merendah. Penumpang pun makin sunyi.***
———————————
12-05-2011 bp
*Sketsa ini ditulis masih dalam rangka menggenapi sketsa-sketsa sebelumnya sebagai bahan baku novel SMB Pantang Menyerah atau Firdaus Kecil atau apalah nanti judulnya.