Kawan,
Ketika aku kecil dulu—karena bingung dan mungkin sangat kurang ajar—pernah kulayangkan sebuah pertanyaan pada kakekku.
“Kek, kenapa dari Kakek saja aku punya nenek empat?”
Kakek terkekeh-kekeh saja. Karena sering kukejutkan dengan pertanyaan yang sama berkali-kali, suatu saat Kakek menjawab juga.
“Karena kakekmu ini orang baik.”
Saat-saat lain, beliau memberikan jawaban yang berbeda-beda. Andai waktu itu aku seorang guru dan harus menilai jawaban kakek, maka aku adalah guru yang paling bernasib sial. Sebab, tak tahu harus memberi nilai berapa. Bukan lantaran tak ada jawaban yang benar atau salah, tetapi karena memang aku tak paham adakah korelasi pertanyaanku dengan berbagai jawaban kakek. Aku tak bisa sedikit pun menjumpai hubungan positif antara pertanyaanku dan jawaban kakek. Aku lantas memaklumi diriku sebab aku masih kecil. Aku juga memaklumi kakek sebab beliau memang sudah agak tuli.
“Karena kakekmu ini penuh tanggung jawab.”
“Karena kakekmu ini waktu muda ganteng sekali.”
“Karena kakekmu ini orang jujur.”
“Karena kakekmu ini pemberani.”
Suatu sore, kakek memberikan sebuah jawaban panjang. Mungkin bagi kakek, lama-lama pertanyaanku—yang itu-itu saja—terlihat semacam soal ulangan esei.
“Karena cinta bagi kakek adalah juga sebuah rasa penasaran. Sebab kakekmu ini tak mau menyesal sedikit pun. Kesempatan tak datang dua kali. Jika tak begitu, kakekmu ini akan sering bermimpi-mimpi tentang calon nenek-nenekmu itu. Kakek tak suka rasa penasaran. Kakek tak suka pula rasa sesal berkepanjangan di sepanjang usia kakek.”
Rupanya jawaban kakek yang sangat panjang bagiku itu adalah jawaban terakhir yang bisa kudengar. Seminggu setelah itu, beliau mengatupkan mata dengan tenang dan pergi selamanya. Maka, walaupun jawaban itu adalah jawaban terpanjang yang telah diberikan kakek padaku, aku tak pernah bisa melupakannya. Aku mengingat secara utuh jawaban kakek itu di sepanjang usiaku juga—walau tak pernah bisa memahaminya, kecuali pagi ini. Sebab, tadi malam aku telah bermimpi tentang beberapa wanita yang pernah membuatku penasaran.
Kukira Kawan bisa paham akan maksudku, bukan? Jika tak paham juga, tunggulah barang sejenak, ketika dirimu memimpikan hal yang sama denganku. Mungkin juga, Kawan perlu menunggu puluhan tahun ke depan –seperti aku pada usiaku yang sekarang ini.***
31-07-2010 bp
Sumber gambar: Dok. Pribadi