Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Metafora-metafora “Ngawur” Andrea Hirata

29 Juli 2010   12:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:28 788 0

Siapa tak kenal sosok Andrea Hirata? Sejak novel pertamanya “Laskar Pelangi”—yang kemudian lengkap menjadi tetralogi—diterbitkan, ia menerima gelombang decak kagum dari berbagai kalangan. Pujian itu berupa litani panjang yang tak kalah dahsyat dari novel-novelnya sendiri. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia pun turut memberikan pujian. Di antaranya Sapardi menyebutkan metafora yang ditaburkan Andrea Hirata dalam novelnya, sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala “ngawur”, namun amat memikat.* Lantas mana yang disebut sebagai “ngawur” itu?

Dalam KBBI, metafora diartikan sebagai “pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan, misalnya tulang punggung dalam kalimat pemuda adalah tulang punggung negara”.

Mari kita susuri dua bab saja dari “Laskar Pelangi”: Bab I, Sepuluh Murid Baru dan Bab 2, Antedeluvium , untuk menemukan metafora-metafora “ngawur” yang ditaburkan Andrea Hirata. Dan inilah barangkali yang disebut sebagai “ngawur” sekaligus menarik itu...?

“Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, ....”

“.... membuat wajahnya coreng moreng seperti pemeran emban bagi permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.”

“... dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku.”

“Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di seberang lapangan sekolah....”

“Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid....”Bandingkan dengan semacam “pidato pembubaran panitia”!

“Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat.”

“Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang.”

Bisa jadi benar ucapan Rita Achdris, wartawati Majalah Gatra dalam komentarnya: “Andrea seperti sedang trance, menulis Laskar Pelangi dengan kadar emosi demikian kental, bertabur metafora penuh pesona, hanya dalam waktu tiga pekan.”**

Dan berikut ini metafora-metafora Andrea Hirata kiranya semakin “ngawur”, menarik, dan penuh pesona....

“Ibu Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu.”

“.... Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar.”

“Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang, tak mau turun lagi.”

“Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut pendidikan”

“Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku.

“Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai.”

“Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh.”

“Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik.”

“Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter.”

“Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti burung hantu.”

“Bagi beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri. Dari empat garis generasi yang diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa antedeluvium, suatu masa ang amat lampau ketika orang-orang Melayu masih berkelana sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit kayu dan menyembah bulan.”

“... sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan dipeluk setan.”

“... karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah pinsil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati.”

“..., karena nanti ia—seorang anak miskin pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling jenius yang pernah kujumpai seumur hidupku.”

Membaca berulang kali dua bab pertama novel “Laskar Pelangi” demi menemukan metafora-metafora “ngawur” Andrea Hirata seperti telah saya kutipkan di atas, saya jatuh setuju dengan apa yang dikatakan Harian Tribun Jabar: “Metafora-metafora yang ditulis Andrea demikian kuat karena unik dan orisinal.”***

Bagi para Kompasianer yang ingin belajar menulis novel, semoga tulisan ini bermanfaat!****

29-07-2010 bp

Catatan Kaki:

*Dhipie Kuron dalam tulisannya yang berjudul “Tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata: Out of the Blue”, yang dicantumkan di akhir novel “Edensor”, hal.291.

** “Laskar Pelangi”, hal.iii.

*** “Laskar Pelangi”, hal.iii.

**** Seluruh kutipan metafora bersumber dari “Laskar Pelangi”, Penerbit Bentang, Cetakan Kesembilan belas, Maret 2008, hal. 1-15.

Sumber gambar:

andrea-hirata.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun