Salah satu aspek menarik dalam undang-undang ini adalah pembagian tindak pidana kekerasan seksual ke dalam dua kategori utama: tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan (intensional) dan yang dilakukan karena kelalaian (negligence). Dalam kategori kesengajaan, pelaku dianggap dengan sengaja melakukan tindakan seksual tanpa persetujuan dari korban. Sedangkan dalam kategori kelalaian, pelaku mungkin tidak secara eksplisit berniat melanggar, tetapi bertindak dengan kelalaian terhadap tanda-tanda atau keadaan yang menunjukkan bahwa korban tidak setuju atau tidak nyaman. Misalnya, dalam situasi di mana korban dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar atau terlalu tertekan untuk menolak, hukum ini memandang bahwa pelaku seharusnya menyadari adanya kemungkinan korban tidak setuju. Kelalaian pelaku dalam memahami situasi ini tetap bisa menjadi dasar untuk menuntutnya secara pidana. Ini adalah salah satu bentuk perlindungan hukum baru yang dianggap sangat membantu dalam menangani kasus-kasus yang kompleks, di mana faktor emosional atau psikologis memainkan peran penting.
Selain itu, undang-undang ini memperkenalkan konsep 'duty of care' atau kewajiban untuk berhati-hati dan memastikan adanya persetujuan yang sah dari korban sebelum melakukan tindakan seksual. Jika pelaku tidak memverifikasi apakah korban benar-benar setuju atau hanya diam karena takut atau merasa tertekan, maka pelaku bisa dinilai telah melanggar kewajiban ini. Dengan kata lain, dalam UU Kekerasan Seksual Belanda yang baru, pelaku memiliki tanggung jawab untuk memastikan persetujuan yang tulus dan bukan hanya asumsi bahwa korban setuju. Konsep ini menjadi penting dalam mencegah pelaku menyalahgunakan ketidaksanggupan atau keadaan korban sebagai alasan untuk membela diri. Di Indonesia, aturan seperti ini belum diterapkan, dan kebanyakan kasus kekerasan seksual masih fokus pada aspek pemaksaan fisik, yang membuat banyak korban merasa sulit untuk mendapatkan keadilan.
Penerapan undang-undang baru ini di Belanda juga mencerminkan jawaban pemerintah atas tuntutan masyarakat dan kritik terhadap sistem hukum yang terlalu fokus pada aspek kekerasan fisik dalam kekerasan seksual, tanpa memperhitungkan situasi kompleks yang kerap dialami korban. Penelitian dan data kasus kekerasan seksual menunjukkan bahwa banyak korban yang tidak melawan bukan karena mereka menyetujui, melainkan karena kondisi psikologis dan ketakutan yang membuat mereka terpaksa diam. Oleh karena itu, UU ini mencerminkan kesadaran hukum yang lebih progresif dalam melindungi hak-hak korban secara menyeluruh.