“ Dalem, Bu!”; saya jawab cepat setelah menutup telepon dengan adik saya, dan saya berkata, “;Sebentar Bu, salat dulu”; Saya segera ke kamar mandi di atas dan menyiram muka saya dengan air, dan wudu. Saya sudah salat zuhur namun saya harus bersandiwara pada ibu saya kala itu. Saya ini nggak tahu harus lakukan apa karena bingung.
Saya nggak tahu Ibu mengartikan saya salat zuhur atau apa, pokoknya saya hanya mau ambil jeda sesaat. Tak mungkin saya memperlihatkan wajah saya yang merah. Mata saya yang nanar, tangan saya yang menggenggam erat karena emosi.
Saya pun salat hajat. Intinya saya menjaga jarak sesaat dan munajat. Saya pun turun setelahnya, wajah murka saya mudah-mudahantidak terbaca oleh Ibu. Napas saya pun sudah reda. Tak lama kami duduk di bawah, depan taman dekat kolam koi. Ibu pun bercerita niatnya membeli lahan apel dan lahan jeruk dan niatnya berladang seperti dulu. Sewaktu masa kecilnya dulu.
Ceritanya seru, semangat berapi-api dan ini menyenangkan sekali melihat ekspresi ibu seperti ini. Mungkin karena sejak ayah wafat 1.000 hari sebelumnya, Ibu ibarat layangan putus.
Sesekali beliau masih menangis karena kehilangan soulmate-nya yang telah menempuh hidup bersama selama 42 tahun.
Setelah banyak cerita, saya pamit dan bertanya jam berapa pesawat besok berangkat ke Malang, akan saya antar ke bandara. Singkat cerita, saya pamit dan pembantu di rumah ibu 2 orang menyiapkan segala kegiatan ibu merapikan barang-barang.
Kurang dari 7 hari lagi, kami perlu transaksi dan kurang dari 30 hari lagi, segala perabotan dibawa pindah ke Malang.
Dalam perjalan menuju rumah saya, kepala saya berisi ribuan lintasan pikiran. Dari pikiran jahat hingga pikiran mulia. Tetapi 90% rasanya bakal kriminal, pikiran jahat mendominasi saya.
Saya akan cari Julian Kho, walau harus ke Singapura. Tapi saya juga harus ke bank yang akan melakukan lelang atas rumah tersebut, dan pastinya Ibu tidak boleh tahu. Malam berlalu tanpa saya nikmati. Paginya saya ke bank di wilayah Warung Buncit. Pejabat bank menjelaskan bahwa nilainya dengan bunga berbunga menjadi 2 kali lipat dari nilai pinjaman.
Saya pun menjelaskan saya akan bayar, tetapi tidak mungkin kalau bunga saya bayar. Saya minta hair cut dilakukan, yaitu bayar pokoknya saja. Yang mengejutkan saya, ternyata harga rumah tersebut value-nya waktu dijaminkan di atas nilai rumah tersebut. Appraisal value-nya naik hampir 50%. Jadi walaupun angkanya sudah dipotong bunga, ke pokoknya saja, angkanya mencapai 10 digit juga. Persis dengan harga yang akan terjadi transaksi. Persis.
Jadi intinya kalau punya utang di bank setelah hair cut disetujui dan rumah itu dijual, tidak ada sisa. Alias, seluruh nilai rumah akan hilang untuk menebus harga rumah tersebut. Bisa dibayangkan ibu yang kita cintai kehilangan pasangan hidupanya dan 1.000 hari kemudian harus kehilangan seluruh aset harta sisanya yang seharusnya bisa untuk menikmati hari tuanya.
Saya terdiam. Asli saya terdiam. Saya hanya keluar satu kata, “;Pak, saya bayar. Saya minta hair cut, sudah 3 tahun tidak ada kepastian. Sebagai ahli waris saya mengatakan saya akan bayar, asal diberi hair cut,”; saya bicara panjang lebar dan satu hal pesan yang saya sampaikan, saya tahu apa yang saya harus lakukan dan saya kenal dunia bank, seberapa bajingannya bank pun saya kenal. Intinya, jangan main sepihak, saya manusia yang serba penuh keterbatasan.
Didesak seperti ini seharian, sampai ke direksi, saya berikan personal garansi boleh cek reputasi saya, saya bayar asal hair cut dan disetujui. Saya boleh menarik napas lega sedikit, walau masalah belum selesai.
Sebagai pebisnis, uang “ idle“ itu langka, sebenarnya saya tidak pegang uang segitu nilainya.
Pada saat itu semua usaha saya sedang dalam “masa tanam”. Tidak mungkin saya buang atau jual karena semua lagi bergerak.
Saya kejar Julian pun menurut saya tidak akan bisa menyelesaikan masalah dalam waktu dekat. Interpol mudah mencarinya, tetapi melihat gelagat seperti begini, ini masalah panjang.
Tindakan kriminalnya pasti saya kejar. Tapi sekali lagi, saya tidak punya “luxury” waktu. Harus buat keputusan cepat.
Bagi saya, menyelesaikan masalah Ibu jauh lebih penting. Waktu hanya tingal 6 hari lagi.
Setiap detik berjalan, saya tegang. Apa pilihan saya? Mengatakan sebenarnya kepada Ibu?
“Bu, maaf, harta Ibu dijaminkan dan tidak bisa ditebus. Harta Ibu habis tidak bersisa” Apa iya saya harus bicara begitu? Yang pasti mengatakan sebenarnya akan membuat Ibu jatuh. Saya tahu sekali Ibu.
Atau alternatif kedua mencari Julian dan memaksanya membayar? Tetapi bagaimana mencarinya? Atau pilihan terakhir: membayar menebus dokumen tersebut? Masalahnya saya tidak punya di tangan uang segitu. Kurang. Kepada siapa saya mengadu? Kepada siapa saya meminta pertolongan? Seperti semua sahabat tahu, ternyata pilihan ada di diri kita sendiri. Benar kan?
Ada 3 pilihan yang diambil dan harus di lakukan salah satunya, segera.
Karena saya terdesak, saya pilih yang kedua. Saya cari Julian. Saya punya akses untuk hal itu dan setelah mengecek imigrasi, dapat dipastikan bahwa dia sedang tidak di Indonesia. Dia ada di luar. Bisa jadi juga tidak di Singapura. Lalu saya cek Interpol dengan akses saya, dia ada di Singapura. Tanpa pikir panjang, saya berangkat langsung ke Singapura bawa badan dengan paspor khusus.
Hari kelima sebelum transaksi, saya tiba di Singapura pesawat siang. Sendirian. Saya sudah dapat alamatnya, saya kejar. Di rumahnya tidak ada, ada di kantor, saya kejar juga. Lagi keluar juga, saya balik lagi ke rumahnya, saya tunggu di sekitar rumahnya.
Hingga malam sekitar jam 10-an belum juga datang. Karena emosi, saya grasak-grusuk. Entah iblis apa bersama saya, saya sangat murka dan terus memompa amarah saya. Rasanya saat itu saya sudah tidak ada takutnya sama sekali. Emosi saya memuncak ..
(bersambung)