Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary

Hanya Seorang Pejuang yang Tahu Artinya Kekalahan - Bossman Saga 1 - Mardigu Wowiek

12 Desember 2021   18:40 Diperbarui: 13 Desember 2021   10:56 411 3
Kisah ini merupakan kisah nyata pribadi, yang saya ungkap sedikit hanya untuk menunjukkan bahwa saya manusia biasa yang pernah kalah, namun terus berjuang.

"Mas," demikian suara keras ibu saya memanggil ketika saya baru saja masuk rumahnya di bilangan Halim, Jakarta Timur.

"Dalem, Bu," jawab saya seperti biasa ketika dipanggil olehnya.

"Mau nanya Mas, surat tanah dan rumah Ibu, kata Adek ada di Mas Wowiek ya?"

Saya bertanya kembali, "Surat-surat rumah ini, Bu?"
"Iya," jawabnya sambil menyiapkan minuman kesukaan saya, es teh manis pakai merek kampung Teh Potji kesukaan saya. Lalu dilanjutkan komentarnya, "kata Adek, Mas yang pegang."

Sebuah "kode" keras saya dapatkan mendengar kata "kata Adek". Iya, kami hanya berdua, saya dan adik perempuan saya yang tinggal di Malang dengan suaminya, beserta satu anak mereka.

Langsung saya jawab, "Iya Bu, ada sama aku." "Oh ya sudah kalau begitu, siapin ya. Ibu mau jual rumah ini dan mau pindah saja dari Jakarta, ballik kampung ke Malang saja lagi, kan Adek juga di sana. Di Jakarta sudah nggak ada siapa-siapa nggak enak. bapak almarhum sudah 1.000 harian. Ibu mau jual saja tanah dan rumah ini. balik kampung, berladang saja, kayak dulu lagi."

Ibu saya nyerocos bercerita keinginannya dan di kepala saya hanya ada satu hal: mencoba mengingat di mana gerangan surat-surat yang dimaksud. Sebenarnya saya tidak tahu tapi adik saya berkata "Ada di Mas Wowiek". Itu kode bagi saya.

"Iya bu, heeh, aku setuju. Mendingan ke Malang, udara bersih, suasana asri dan nggak seperti Jakarta yang macet, bising, kasar dan udara kotor. Nggak baik buat kesehatan."

Lalu ibu saya berkata lagi, "Kebetulan tetangga sebelah, sahabat Ibu, mau beli rumah ini. Katanya buat tinggal anaknya supaya pada ngumpul. Mungkin minggu depan transaksi Mas, Siapin ya dokumennya."

"Oh iya Bu, siaaap!" hanya itu komentar saya sambil meneguk es teh manis favorit saya. Manisnya nggak terlalu manis seperti kesukaan saya. Dinginnya yang saya sukai. Ibu tahu sekali takaran selera saya.

Sementara Ibu tinggal di Jakarta Timur, saya tinggal di Jakarta Selatan. Setiap ada kesempatan saya pasti mengunjungi beliau kalau sedang di Jakarta. Namun, selama menunggu acara hajatan 1.000 harian setelah Ayah berpulang, Ibu banyak di Malang, di rumah adik saya. Kemudian ketika Ibu di Jakarta, saya menginap dengan keluarga saya. Cucu-cucunya pun senang eyang mereka yang cerewet ini ada di Jakarta.

Kebetulan hari itu saya sedang datang sendiri, jadi kami bisa bicara berdua. Tak lama berselang, beliau ambil air wudu untuk salat. Karena saya sudah salat duluan sebelum ke sana, saya pun mengambil kesempatan ini untuk menelepon adik saya di Malang. Saya naik ke lantai dua untuk bicara dengan adik saya, "Dek, itu surat tanah bagaimana ceritanya?"

Tanpa jeda, adik saya langsung bercerita, "Begini Mas, aku dapat surat beberapa bulan lalu dari bank.

Ternyata surat tanah dan rumah Bapak-Ibu ini dijaminkan ke bank dengan nilai 80% dari nilai rumah 3 tahun yang lalu, tepat 3 bulan sebelum Bapak meninggal."
"Sama siapa dijaminkannya?"

"Almarhum Bapak yang jaminkan aset rumah sebagai avalis. Yang pinjam perusahaan Bapak sama mitranya, orang Singapura, Julian Kho namanya. Ketika dijaminkan, selang 3 kemudian kemudian Bapak wafat. Rupanya Julian culas Mas, dia tidak pernah bayar cicilan dan rumah ini sejak pertama digadaikan, tidak pernah dicicil bayaran. Sekarang sudah "call 5" dan akan dilelang 3 bulan lagi. Dan yang lebih menyakitkannya lagi, nilai bunga serta pokok sudah 2 kali lipat. Harus bayar dua kali lipat kita."

Mendengar informasi ini, darah saya memuncak dan asli saya marah, marah sekali. Bajingan tuh orang Singapura, segala sumpah serapah keluar dari mulut saya. Gemetar badan saya menahan amarah. #bersambung

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun