Sejak reformasi, Indonesia memilih demokrasi sebagai alat bernegara. Hal ini berimplikasi melibatkan rakyat dalam kegiatan bernegara, misalnya, rakyat berdaulat memilih langsung pemimpinnya. Pemimpin dari level presiden hingga ketua RT dipilih langsung oleh rakyat.
Akibatnya, sistem pemilihan pemimpin berubah dari keterwakilan di DPR/D ke individu. Dampaknya, pola pencarian dukungan pun bergeser. Dalam pilkada langsung sejak 2005, seorang calon harus membeli suara rakyat Rp 50-100.000 per suara untuk menjadi kepala daerah. Dulu, mereka “membeli” borongan suara anggota DPRD. Tetapi sekarang, membeli secara eceran langsung ke pemilihnya.
Pemilihan “musyawarah mufakat” dalam keterwakilan berubah menjadi individual dalam sistem proporsional terbuka “one man one vote”. Namun, sistem ini hanya memungkinkan calon berduit banyaklah yang bisa memenangkan pemilihan dan menjadi kepala daerah. Bila kalah di KPUD, mereka akan bersengketa ke Mahkamah Konstitusi. Bila perlu, menyuap hakim untuk memenangkannya menjadi kepala daerah.
Kemendagri mencatat hampir 90% pilkada berujung sengketa di MK. Ini menunjukkan ketidaksiapan elite lokal dalam berdemokrasi. Banyak yang tidak siap kalah dalam kontestasi demokrasi lokal. Sehingga, mereka melakukan kekerasan, perusakan, hingga penyuapan demi “kemenangan” dalam pilkada yang diikuti. Di beberapa pilkada, bahkan nyawa melayang karena membabi-butanya elite lokal.
Meskipun begitu, kedaulatan rakyat memilih pemimpin langsung perlu dipertahankan. Jangan karena gagal membangun manajemen pemilihan, hak pilih rakyat dikembalikan (lagi) ke DPRD. Elite pusat maupun daerah harus jujur dalm berdemokrasi langsung ini. Manajemen pemilihan oleh partai politik, KPUD, dan MK (bila terjadi sengketa) hendaknya berlandaskan pada –yang utama– kejujuran dan Pancasila. Jujur berdemokrasi demi Indonesia yang lebih baik.
(Dimuat di Opini Harian Radar Surabaya, Rabu, 20 November 2013, halaman 2)