Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Tawurji (Indonesia) Kini

29 Januari 2011   07:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:05 669 1
Saya terharu melihat kearifan lokal di kota udang, Cirebon. Sekelompok anak-anak kecil 'slempangan sarung' dan 'kopiah miring'. Ada suatu tradisi di daerah Cirebon dan sekitarnya, setiap bulan Safar terlihat anak-anak usia sekolah (SD, SMP), biasanya anak laki-laki berselendangkan sarung dan berpeci, dengan sarung dikalungkan secara menyilang di bahu, bertelanjang kaki, bergerombol bertiga-tiga atau paling banyak berlima-lima, akan berkeliling kota, berjalan kaki, D-2-D (door to door) mendatangi rumah-rumah dan toko-toko di seluruh kota dan kampung Cirebon, menyanyikan lagu: Tawurji.

"Tawurji..... tawur..... selamat panjang umur!" Begitu kira-kira syair lagu tsb. dinyanyikan di depan-depan rumah atau toko. Memanggil-manggil penghuninya supaya keluar dan menawurkan (menabur, melempar, menyawer) secara harafiah uang recehan logam ketipan (10 sen) atau talenan ('e' - sate) aka 25 sen, atau bahkan ada juga recehan 5 sen atau 1 sen (bolong) yang ditawurkan ke udara, lalu dipunguti secara berebutan oleh rombongan anak-anak (santri?) itu. Mereka akan melaksanakan tradisi CC - coins collecting begini sejak pagi sampai menjelang maghrib.

Mereka akan terus menyanyikan lagu 'tawurji' sampai penghuni rumah atau toko keluar dan menawurkan uang recehan tsb. Kalau anda menaburkan banyak uang recehan, tidak lama  rombongan lain akan datang menyambangi rumah berkeliling mendatangi orang-orang di keramaian, ke toko-toko atau mendatangi ke perumahan-perumahan untuk “meminta sedekah” sambil bersenandung: “Wur tawur Ji, tawur ….. selamet dawa umur” yang dilantunkan berulang-ulang. Masyarakat Cirebon dan sekitarnya menyebut tradisi ini dengan Tawurji asal kata tawur dan ji. Dulu pada tahun 1970-an, tawurji hanya dilakukan pada setiap hari Selasa di bulan Safar, tetapi kini kadangkala dilakukan di sembarang hari. Beberapa referensi menyatakan setiap hari Rabu, tetapi pernyataan hari Selasa lebih kuat.

Menurut cerita yang saya dengar dari salah seorang warga Cirebon, tradisi bulan Safar, masyarakat Cirebon biasa menyebut Safaran, erat kaitannya dengan mitos dimusnahkannya ajaran Syeh Siti Jenar alias Syeh Lemahabang atau Syeh Jabaranta yang konon dianggap ajarannya dapat menyesatkan umat Islam. Dari mitor ini lahirlah 3 (tiga) tradisi di Cirebon, yaitu: Tawurji, Selamatan kue apem dan Ngirab (semacam mandi di kali/sungai). Ketika Syeh Siti Jenar di eksekusi pada bulan Safar 5 abad yang lalu, maka ke 40 anak asuhnya yang yatim itu menjadi terlantar. Dewan 9 wali (wali sanga) memutuskan agar setiap masyarakat (rumah) di Cirebon dan sekitarnya untuk memberikan perhatian dan santunan kepada ke 40 anak yatim tersebut.

Maka, ke 40 anak yatim tersebut setiap hari Selasa pada bulan Safar berkeliling dari rumah ke rumah sambil mendendangkan senandung do’a: “Wur tawur Ji, tawur ….. selamet dawa umur” yang artinya “Sawer Tuan Kaji … sawer, selamat panjang umur“. Tuan Kaji (haji) kedudukannya sangat terhormat di masyarakat saat itu, jadi anak-anak menyebut kesemua orang “Ji” kependekan dari Kaji, sebagai rasa hormat dan juga mengandung do’a bagi yang belum berhaji, insya Allah suatu saat juga dapat menunaikan ibadah haji.

“Do’a anak-anak yatim itu manjur“, demikian tutur para wali, “Masyarakat harus memberi saweran“. Denikianlah tradisi Tawurji dibulan Safar sampai hari Selasa akhir di bulan itu, keesokan harinya dirayakan “Rebo Wekasan” (hari Rabu terakhir di bulan Safar), dengan melakukan Shalat Sunat 2 rakaat untuk tolak bala (petaka) dan kemudian bersiap-siap menyongsong perayaan Maulid Nabi (Muludan). Berabad-abad tradisi tawurji ini berjalan hingga sekarang yang merupakan amanah suci para wali untuk menangkal malapetaka.

Apapun kisah tersebut, kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Indonesia memiliki segudang kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Menurut Direktur Afri-Afya, Caroline Nyamai-Kisia, kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.

Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

Keragaman bangsa Indonesia dari sisi etnis, suku, budaya dan lainnya sejatinya juga menunjuk kepada karaktreristik masing-masing. Pada saat yang sama, kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa lalu menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam merajut dan menapaki kehidupan mereka.

Sejarah menunjukkan, masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku dan etnis di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka.

Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.

Namun dari waktu ke waktu nilai-nilai luhur itu mulai meredup, memudar, kehilangan makna substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata, menjadi simbol yang tanpa arti. Bahkan akhir-akhir ini budaya masyarakat hampir secara keseluruhan mengalami reduksi, menampakkan diri sekadar pajangan yang sarat formalitas. Kehadirannya tak lebih untuk komersialisasi dan mengeruk keuntungan.

Tentu banyak faktor yang membuat kearifan lokal dan budaya masyarakat secara umum, kehilangan geliat kekuatannya. Selain kekurangmampuan masyarakat dalam memaknai secara kreatif dan kontekstual kearifan lokal mereka, faktor lainnya adalah pragmatisme dan keserakahan yang biasanya dimulai dari sebagian elit masyarakat. Kepentingan subyektif diri mengantarkan mereka untuk “memanfaatkan” kearifan lokal. Mereka menggunakannya secara artifisial, tapi sekaligus menghancur-leburkan nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungannnya masih bersifat patron-client “meneladani” sikap dan perilaku elit mereka.

Pada sisi itu bencana budaya mulai berkecambah dalam masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tidak mampu lagi melihat, apalagi menyelesaikan, secara arif hanpir persoalan yang menimpa mereka. Krisis demi krisis lalu menjadi bagian hidup bangsa.



Kendati tidak menjamin persoalan akan selesai, rekonstruksi kearifan lokal sangat niscaya untuk dilakukan. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka.

Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.

Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai.

Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa, masing-masing lalu merajut kebhinnekaan, menjadikannya untaian yang kokoh dan indah. Dengan untaian yang menyatukan satu dengan yang lain, mereka  bersama-sama menyelami kehidupan secara arif dan bijak. Di sana pijar-pijar lampu kehidupan pasti akan menerangi menuju kehidupan yang lebih baik, sejahtera, damai dan penuh keadilan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun