Terkadang generasi mendatang tidak dapat memiliki akses ke sumber daya yang terkandung di bumi Indonesia dikarenakan ragam sumber daya tersebut dikuasai oleh pihak swasta atau MNC (multi national corporation). Salah satu hasil yang menggembirakan bagi rakyat Indonesia adalah diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengembalikan penguasaan pemerintah atas air dapat memunculkan harapan baru terhadap keadilan akses sumber air bersih (Kompas 13 Maret 2015).
(1) Penyelamatan Sektor SDA dan Migas
Sumber daya alam dan Migas merupakan anugerah Tuhan untuk Indonesia. Sudah sewajarnya negara dapat mengelola SDA dan Migas tersebut untuk memakmurkan segenap rakyat Indonesia. Pengelolaan yang berujung pada penguasaan SDA dan Migas hanya kepada pihak swasta dan beberapa gelintir orang hanya menimbulkan kesenjangan ekonomi. Padahal pada pasal 33 ayat Ayat 3: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Salah satu provinsi di Indonesia yang melakukan inisiatif perubahan demi penyelamatan SDA Migas adalah Kalimantan Timur. Pemprov Kaltim merupakan provinsi pertama yang menggagas penetapan moratorium pertambangan di Indonesia. Provinsi ini merupakan pelopor gerakan penyelamatan (SDA) . Keseriusan Pemprov Kaltim dalam penyelamatan SDA terwujud saat Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak mendampingi Presiden Joko Widodo menandatangi perjanjian kesepakatan kerjasama Rencana Aksi Bersama Gerakan Nasional Penyelamatan (GNP) SDA di Indonesia untuk sektor kelautan, pertambangan, kehutanan dan perkebunan antara KPK dengan Semua Departemen Kementerian di Istana Negara Jakarta, Kamis (19/3/2015). Agenda pencegahan korupsi yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menyasar perbaikan pengelolaan sektor SDA dan Migas di Indonesia. Hingga Juli 2014, KPK telah menerima laporan bahwa 162 pemerintah daerah telah mencabut 300 izin usaha pertambangan.
(2) Payung Hukum Penyelamatan Sektor SDA dan Migas
Pelaksanaan kebijakan baik di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilindungi oleh payung hukum yang mengikat. Payung hukum dari suatu kebijakan wajib ada agar eksekusi kebijakan di tataran pelaksanaan memiliki kekuatan hukum. Kekuatan hukum tersebut dapat menjadi acuan, jika ada penyalahgunaan kebijakan atau penggunaan anggaran yang menyalahi peruntukkan. Pengalaman Pemprov Kaltim dalam Gerakan Penyelamatan SDA Migas menyiapkan Pergub Kaltim tentang penataan pemberian izin dan non perizinan, serta penyempurnaan tata kelola perizinan sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.
Payung hukum peraturan gubernur (Pergub) merupakan perangkat hukum yang dapat dijadikan acuan agar aktivitas eksploitasi SDA Migas di suatu pemda atau pemkab dapat dibatasi. Perpaduan antara Pergub dan Perpres (Peraturan Presiden) ditujukan agar pemberian izin eksplorasi SDA Migas dapat dikontrol, direevaluasi bahkan dihentikan, terutama untuk kontrak yang merugikan suatu wilayah dan merusak lingkungan.
Penandatanganan kesepakatan GPN SDA di tingkat pusat dan kesadaran pemprov serta pemkab dalam membuat peraturan gubernur atau peraturan bupati yang senafas diperlukan agar penyelamatan SDA menjadi prioritas dalam pembuatan kebijakan pemerintahan. Sinergi antara GPN SDA di tingkat pusat dan tingkat daerah sebagai cara melaksanakan amanat pasal 33 ayat 4: perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(3) Reevaluasi Perizinan di Sektor SDA dan Migas
Penerbitan perjanjian kontrak eksploitasi SDA Migas dahulu terjadi tumpang tindih antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Diperlukan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah agar tak terjadi penerbitan izin kontrak atau investasi yang berulang terhadap satu wilayah konsesi pertambangan, perkebunan, kehutanan dan kelautan.
Penerbitan perizinan berulang atau penerbitan izin konsesi dalam eksploitasi SDA dan Migas di suatu daerah dilandasi oleh kepentingan bupati atau gubernur. Daerah-daerah yang kaya SDA dan Migas kerap jor-joran dalam penerbitan izin di sektor SDA dan Migas tanpa memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan. Daerah yang kaya SDA dan Migas justru kerap bupati dan gubernurnya (Kepulauan Riau, Riau, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Boul, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tanah Laut) terseret kasus hukum yang berkaitan dengan proses penerbitan izin di sektor SDA dan Migas. Contoh kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi SDA dan Migas seperti kasus ruislag 2.754 hektare kawasan hutan di Bogor, kasus tukar-menukar lahan di Provinsi Riau, kasus suap gas alam di Bangkalan, dan kasus korupsi gas alam di Kalimantan.
Penyelamatan SDA dan Migas dapat dimulai dengan penertiban perizinan, karena sektor SDA dan Migas merupakan sektor yang sering menjadi lahan korupsi. Satu dari delapan agenda antikorupsi KPK untuk Jokowi yaitu terkait pengelolaan sumber daya alam dan penerimaan negara, termasuk di dalamnya bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, serta penerimaan pajak dari sektor pertambangan batubara.
Selain itu, pemangkasan perizinan di sektor SDA dan Migas menjadi hanya dalam satu pintu pelayanan di BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) untuk memudahkan pengontrolan pemberian izin. Pelayanan satu pintu perizinan memudahkan pemerintah pusat memantau perizinan di sektor SDA dan Migas yang menguntungkan serta investasi ramah lingkungan. Pelayanan perizinan satu pintu di sektor SDA dan Migas untuk mengikis ego sektoral antar instansi dan mengurangi transaksi tidak resmi (pungutan liar) dalam pengurusan perizinan (Gero, 2015). Berdasarkan data KPK, potensi kerugian keuangan negara dari sektor kehutanan dan mineral batubara mencapai Rp 51,5 triliun dan US$ 1,79 miliar selama periode 2010-2013. Bahkan, buruknya pengawasan menyebabkan negara didera kerugian negara Rp 35 triliun per tahun akibat pembalakan liar (Kandi, 2014).
(5) Qou Vadis SDA dan Migas di Indonesia?
Anugerah sumber daya alam (SDA) dan minyak serta gas alam (Migas) dari Tuhan Pencipta untuk Indonesia perlu dijaga serta dikelola agar mendatangkan kemakmuran bagi segenap rakyat. Perizinan eksploitasi SDA dan Migas yang serampangan dan tidak memikirkan dampak lingkungan justru kerap memperburuk kehidupan rakyat di sekitar lokasi eksploitasi SDA dan Migas tersebut. Pengabaian hak-hak masyarakat di sekitar lokasi eksploitasi SDA dan Migas bermula dari diterbitkan perizinan eksploitasi yang terkadang belum memiliki persetujuan analisis dampak lingkungan, kewajiban yang tidak dibayar yaitu belum melunasi pembayaran royalti, jaminan reklamasi, dan kegiatan pascapenambangan.
Eksploitasi di sektor SDA dan Migas yang lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek memberikan sumbangsih yang besar dalam laju kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan pasca eksploitasi justru memiliki dampak jangka panjang bagi kehidupan. Penyelamatan di sektor SDA dan Migas perlu memasukkan unsur jaminan reklamasi dalam klausul penerbitan izin eksploitasi. Jaminan reklamasi wajib dipenuhi oleh pemilik izin sah ekploitasi di sektor SDA dan Migas agar mereka menyediakan dana untuk melakukan kegiatan menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali.
Penggunaan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001), pengusahaan migas di Indonesia dituangkan dalam bentuk (a) Kontrak Karya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960) dan (b) Kontrak Production Sharing sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU PERTAMINA) merupakan salah satu solusi agar semakin adilnya pembagian pendapatan yang diterima oleh pemerintah Indonesia.
Salah satu perbedaan prinsip antara Kontrak Karya dan Kontrak Production Sharing terletak pada pembagian pendapatan dari hasil minyak dan gas bumi. Pada Kontrak Karya, yang dibagi adalah hasil penjualan minyak dan gas bumi; sedangkan pada Kontrak Production Sharing yang dibagi adalah hasil produksi minyak dan gas bumi (Salim,2015).
Penerapan UU No. 22 Tahun 2001, Perpres tentang GPN SDA dan Perda yang senafas dalam pengelolaan SDA dan Migas diharapkan dapat mendatangkan pemasukan negara yang signifikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia serta dapat lebih menertibkan perizinan eksploitasi sehingga penyelamatan SDA dan Migas di Indonesia dapat terwujud. Semoga.
Daftar Pustaka
Gero. P Pieter. Migas: Lebih Baik Terlambat. Kompas 5 Mei 2015.
Kandi. Rosmiyati Dewi. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141023063004-12-7536/jokowi-akan-cegah-korupsi-kekayaan-alam/. Diakses 8 Mei 2015.
http://setkab.go.id/kaltim-susun-rencana-aksi-penyelamatan-sda-migas/. Diakses 5 Mei 2015.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20140912100617-12-3150/cegah-korupsi-300-izin-tambang-dicabut/. Diakses 8 Mei 2015.
Kompas, 13 Maret 2015. Kontrak Air Direnegoisasi.
Salim. Agus. http://www2.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/4938-pengusahaan-migas-di-indonesia-dalam-perspektif-kedaulatan-negara-1-pendahuluan.html. Diakses 10 mei 2015.
www.korupedia.org. Diakses 6 Mei 2015.