Saya baru saja ditawarin kolega saya sebuah buku yang menarik. Oleh penerjemahnya, karya ini yang diberi judul "Serat Centhini" disebut "karya sastra jawa terbesar". Benarkah? Saya tidak bisa membantah karena dua alasan: pertama, Serat Centini yang saya baca dengan judul "Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan" bahasanya sangat indah. Kedua, saya belum pernah membaca karya sastra jawa lain sebelumnya. Jadi saya tidak bisa membantah klaim ini.
Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan adalah satu bagian (oleh penerjemahnya disebut satu "makam") dari tiga belas bagian terjemahan asli Serat Centhini. Buku aslinya berjudul Suluk Tambangraras setebal 4000 halaman dan diterjemahkan menjadi 1000 halaman saja. Dan dari 1000 halaman itu, satu bagiannya yang saya baca ini. Buku ini mengisahkan kisah cinta antara pangeran Amongraga dan Tambangraras (Tambang artinya Tembang, Raras artinya merdu). Jadi Tambangraras kira-kira berarti kidung yang merdu atau indah. Dan kalau itu dilekatkan pada karya sastra, karya ini mungkin sejajar dengan Kidung Agung dalam Alkitab. Membaca Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan memang serasa membaca Kitab Kidung Agung.
Sebelum saya melukiskan bagaimana indahnya karya ini, saya mau mengedepankan dahulu beberapa pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Pertama, mengapa kisah Amongraga mirip dengan kisah nabi Musa? Kedua, Apakah memang sebelum Suluk Tambangraras ini belum ada karya sastra lain yang sejenis? Pertanyaan kedua ini timbul karena Serat Centhini sangat kental nafas Islami-nya. Padahal kita tahu sebelum Islam masuk di Jawa, agama Budha dan Hindu sudah mengakar. Dan mereka sudah mengenal karya tulis dan sastra.
Meski demikian, satu hal yang menonjol meski masih tersamar, yakni betapa orang Jawa yang sudah mengenal Budha dan Hindu bisa menerima agama Islam dengan damai. Ini terbukti ketika dalam salah satu tembang dalam buku ini dikisahkan bagaimana Amongraga yang sudah menjadi dai (dia belajar Islam di Mekah) itu menyingkirkan patung dewi Sri dan Sadono dari kamar pengantinnya karena itu dikatakan sirik. Dan orang-orang Jawa yang lainnya tidak bereaksi sama sekali.
Sekarang kembali ke indahnya karya sastra yang diberi judul Serat Centhini ini. Saya tidak berpretensi untuk menceritakan kembali buku ini secara utuh kepada anda sidang pembaca sekalian. Ketika saya membandingkannya dengan Kidung Agung dalam Alkitab, saya yakin rekan-rekan yang sudah membaca kitab itu bisa membayangkannya. Salah satu letak kesamaannya adalah ketika aktivitas pasangan suami isteri di ranjang disampaikan dengan begitu indah tanpa terkesan jorok dan kasar. Supaya ada gambaran, berikut saya kutip salah satu tembang yang ada di dalam buku itu:
---------------------
Tembang 90
Ketika malam ke-19 tiba, Amongranga tel****ng dan duduk bersila di buritan ranjang: "Ketahuilah Dinda, setan berada di dua kediaman, pertama di dalam kenikmatan raga, kedua di dalam sekarat. Sebenarnya keduanya satu neraka tunggal dan sama. Saat tubuh kekasih bersang**ma dengan tubuh terkasih, dalam kilat kenikmatan, roh ditelan raga dan padam. Kenikmatan itu disebut kematian kecil.(Ingat film little death?)
Juga saat sekarat, bila pikiran penuh amarah dan kangen pada tubuh sekarat, roh ditelan raga dan didekap dalam maut. Neraka adalah roh yang tersekap dalam raga yang membusuk.
Dinda, dalam bercinta, tubuh haruslah kita jadikan bait untuk berbicara pada roh. Cinta adalah karya agung yang mengubah raga menjadi nafas. Itulah jalan kematian besar, kenikmatan di luar kenikmatan tubuh.
Di haluan ranjang, Tambangraras gemetar dan berkata, "Oh, Apiku, aku mendengar dan berkenan. Semoga roh kita segera memadu cinta dengan tubuh kita! Lihatlah, kata-katamu telah tersemai di ragaku dan perhatianku menyuburkan wacanamu!"
Di balik sekat berkerawang, Centhini merasakan malam undur diri.
------------------
Lihatlah, betapa indahnya sang pengarang menyampaikan pikirannya. Bahasanya penuh metafora.
----------------------
Berikut dari Tembang 112:
Di ranjang bidadari, Amongraga telan**ng dan duduk bijaksana dalam padma merah isterinya. Demikian mereka diam berpelukan sepanjang malam, waspada dan pasrah, satu dalam lainnya. ................
......
Centhini keluar di pagi buta mengabarkan kepada Ki Panurta dan isterinya bahwa selaput dara tuan putri telah koyak.
---------
Mungkin agak membingungkan. Supaya jelas, saya kisahkan lagi secara ringkas. Setelah menikah, sampai malam ke-40 Amongraga dan Tambangraras tidak melakukan hubungan suami-istri (ratum et consumatum). Malam-malam itu dilalui dengan belajar berbagai macam hal, dan Amongraga adalah gurunya, sementara si Tambangraras menjadi pendengar yang baik. Tembang 90 yang saya kutip utuh di atas merupakan bagian dari pelajaran itu. Mereka bisa menahan diri, meski pada malam-maam itu mereka sudah saling melihat tubuh masing-masing karena memang dibiarkan terbuka dan polos.
Centhini adalah sang abdi yang sungguh mengabdi kepada junjungannya. Satu hal yang lucu dari Centhini, sekaligus menunjukkan pengabdiannya, dia setia menguping tiap malam suara apa yang keluar dari kamar junjungannya si Tambangraras dan Amongraga. Kalau pengantin jaman sekarang, mungkin si Centhini sudah didamparat kali ya....
Oh ya, ini ada sedikit pengetahuan tentang obat. Setelah Tambangraras dan Amongraga melewati malam yang indah itu (berdasarkan kabar Centhini tadi), keluarganya menyiapkan minuman yang terbuat dari bahan-bahan ini: dicacah putik delima putih, kulit pohon kina, majakan, kapulaga, cengkeh, kecubung dan benang lawe. Semuanya digiling di lumpang batu sampai lembut, lalu ditambahi dengan bunga selasih, kapur sirih, kunyit, bedak perut buih cacing, abu daun pisang emas, selongsong ular cabai, pala, kemukus, kulit telor yang baru keluar serta jahe. Semua itu lalu direbus, kemudian godokannya dituangkan ke dalam batok kelapa.
Adakah ramuan ini berkasiat? Mungkin ahli obat tradisioanl bisa memanfatkannya.
Buku ini enak dibaca. Maka bacalah....