Apa itu zonasi? Mudahnya begini, dalam sistem ini, sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (sekolah negeri) wajib menerima calon siswa 90 % dari daya tampung sekolah untuk calon siswa yang berdomisili pada radius terdekat dengan sekolah. Domisili calon siswa harus sesuai dengan kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Sedangkan ketentuan radius zona terdekat ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Sisanya, sebanyak 5 % kuota disediakan bagi calon siswa yang mengambil jalur prestasi, serta 5% kuota lagi untuk siswa yang mengikuti perpindahan domisili orangtua/wali atau alasan terjadi bencana alam/sosial.
Dari acuan ini, sebenarnya  tujuan pemerintah untuk pemerataan akses layanan pendidikan sudah tercapai. Karena dengan kebijakan ini setiap calon siswa dapat bersekolah di mana pun asal masih dalam satu zona tanpa ada seleksi prestasi (nilai akademik/UN). Dengan sistem ini juga nantinya akan menghapus anggapan para orang tua sejak dahulu tentang keberadaan sekolah favorit atau sekolah unggulan. Memang tidak mudah dan butuh waktu untuk itu karena orang tua mempunyai alasan tertentu untuk memasukkan anaknya ke sekolah unggulan. Yaitu akan keberlangsungan kemampuan dan prestasi anak kedepannya yang selama ini sudah terbentuk melalui proses yang panjang dan tidak mudah pula.
Â
Bagaimana dengan pemerataan mutu pendidikan?
Peta permasalahannya sudah jelas, PPDB sistem zonasi menempatkan siswa sebagai obyek dalam sistem ini. Dan biasanya obyek sering menjadi korban dari sistem. Yang harus menjadi perhatian kita semua adalah bahwa setiap siswa itu unik, mempunyai karakter dan potensi untuk maju (berprestasi) yang berbeda-beda. Ini dapat dilihat dengan mudah dan jelas dengan rekam jejak siswa selama menuntut ilmu di sekolahnya hingga dia selesai mengikuti Ujian Nasional.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sekolah unggulan sudah terbukti memberikan sumbang sih yang begitu besar terhadap keberlangsungan prestasi siswa-siswanya dibanding dengan bukan sekolah unggulan. Penulis tidak bermaksud merendahkan lulusan dari bukan sekolah unggulan. Ini dapat dilihat dari capaian nilai Ujian Nasional (UN) di akhir sekolah dan prestasi-prestasi lainnya.
Dengan sistem zonasi, sekolah unggulan dan bukan unggulan akan menerima calon siswa  yang berdomisili pada radius terdekat dengan nilai UN yang beragam. Dengan demikian standar input siswa di sekolah unggulan akan turun dan diharapkan akan tercapai pemerataan mutu berdasarkan input nilai UN di setiap sekolah. Tidak ada lagi anggapan sekolah unggulan di masyarakat karena nilai prestasi siswa (UN) tidak diperhitungkan lagi dalam seleksi PPDB ini.
Menurut penulis ini sebuah langkah mundur dengan meniadakan sekolah unggulan yang sudah memiliki sarana dan prasarana di atas standar minimal sekolah untuk kegiatan belajar mengajar dibanding sekolah bukan unggulan. Karena tidak mungkin kita menyamakan keunikan atau potensi siswa yang sudah terbentuk (berdasarkan nilai akademik/UN) dengan cara menyamaratakan langkah awal mereka dalam menentukan pilihan sekolahnya.
Mereka telah berproses, terjadi seleksi alami sesuai dengan hukum alam. Mau atau tidak, menerima atau menolak, akan terjadi kastanisasi di antara siswa-siswa itu sendiri berdasarkan hasil belajar dan nilai UN. Ini terjadi karena mereka mengikuti sistem yang kita buat sendiri, bahwa sistem pendidikan yang kita terapkan masih berbasis nilai sebagai tolok ukur keberhasilan siswa. Sehingga akan ada siswa berprestasi, ada yang berkemampuan rata-rata, dan ada siswa yang kurang berprestasi.
Dari sinilah sebenarnya titik tolak adanya sekolah unggulan agar mereka tidak terhambat dan berhenti berproses, sesuai dengan sistem yang telah kita sepakati bersama. Mereka akan mencari sekolah yang sesuai dengan karakter mereka dan yang mendukung keberlangsungan kemampuan dan prestasi mereka kedepannya dengan memilih sekolah unggulan. Sekolah unggulan dengan standar input prestasi calon siswa rata-rata yang tinggi berdasar nilai UN, sarana dan prasarana yang lebih memadai serta mempunyai cara dan karakter tersendiri dalam proses belajar dan mengajar akan menghasilkan output (lulusan siswa) dengan prestasi yang tinggi pula. Ini yang menjadi pertimbangan bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sana.
Tetapi apakah nantinya sistem sama rata dalam menentukan sekolah ini akan terjadi juga pemerataan output atau prestasi siswa lulusannya dari tiap-tiap sekolah? Tidak juga, karena para siswa tetap akan berproses sesuai dengan kemampuan dan keunikan mereka dalam lingkungan sekolah dengan sarana dan prasarana yang berbeda, dengan tingkatan standar guru yang berbeda, dengan karakter dan cara belajar mengajar yang berbeda pula (meskipun dengan kurikulum yang sama). Pada akhirnya mereka akan tetap terkastanisasi dengan sendirinya berdasarkan prestasi mereka karena sistem pendidikan kita masih seperti ini.
Penulis menganggap ini sebuah ketimpangan jika sistem zonasi yang berbasis pada domisili radius terdekat untuk menentukan pilihan sekolah diterapkan dalam PPDB ini. Mereka yang telah belajar dan berusaha selama 6 tahun di Sekolah Dasar (SD), telah terbentuk karakter dan berprestasi harus di'cut', di'nol'kan kembali, disamakan semua dalam menentukan pilihan sekolah lanjutannya. Demikian pula setelah mereka menempuh pendidikan di jenjang sekolah lanjutan (SMP) harus disamakan lagi untuk melanjutkan ke jenjang SMA. Harus ada perbaikan dalam PPDB sistem zonasi ini dan nilai akademik/UN tetap dijadikan pertimbangan.
Penghargaan atas prestasi mereka wajib diberikan dan sekolah unggulan pun tetap diperlukan. Bukan mereka (siswa-siswa) yang harus diubah tetapi membuat sekolah bukan unggulan menjadi sekolah unggulan yang lebih banyak sebenarnya yang kita butuhkan. Sebuah sekolah yang memiliki kualitas di atas standar minimal untuk mendukung proses belajar mengajar dengan guru-guru yang berkompeten dibidangnya serta kurikulum yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan jaman bagi siswa. Sehingga semua sekolah menjadi sekolah unggulan. Dan siswa dapat bersekolah di mana pun yang akan mendukung keberlangsungan proses kemampuan dan prestasi siswa-siswa kedepannya. Dengan demikian PPDB sistem zonasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu tanpa ada seleksi prestasi (nilai akademik/UN) dan tercapai pemerataan mutu lulusannya.
Sebenarnya saat ini PPDB berbasis nilai akademik/UN tetap diperlukan karena sistem pendidikan kita masih berbasis nilai sebagai tolok ukur keberhasilan dan sekolah unggulan harus diberi kuota yang proporsional untuk menampung siswa-siswa yang berprestasi (tidak hanya 5%). Sehingga tidak ada orang tua yang merasa anaknya menjadi korban dari sistem ini.
Salam,
Dari ortu yang anaknya sedang menanti hari H seleksi PPDB SMP.