Teng ... teng ... teng
Terdengar bunyi lonceng besi di depan kelas sembilan tanda jam belajar sekolah telah usai. Semua murid bergegas merapikan buku-bukunya. Setelah berdoa satu per satu murid keluar kelas sambil menyalami Ibu Guru. Dengan langkah gontai karena mengantuk Joko keluar terakhir dari kelas. Ke dua temannya sudah menunggu di pintu pagar sekolah.
"Jadi ikut mancing?" tanya temannya.
"Hmm ... gimana ya ... Aku ada acara sama bapakku," jawab Joko sambil nyengir.
"Alah ... paling janjian sama cewe itu lagi."
"Hehehe ... Aku pulang dulu, keburu dia pulang sendiri ... kasihan," kata Joko.
Dia bergegas meninggalkan ke dua temannya dan berlari menuju rel kereta di seberang sungai kecil. Sengaja tidak dilewatinya jembatan penyeberangan agar cepat sampai dan dapat bertemu dengan Putri, gadis pujaannya. Joko kemudian melepas sepatu dan segera berlari menyeberangi sungai.
Sampai di tempat biasanya Joko melihat Putri ... seorang gadis berwajah manis berseragam biru putih berjalan sendirian di jalan setapak di samping rel kereta. Tas sekolah berwarna pink dengan tali panjang terlihat melintang di depan dada. Sepatu hitam dan kaos kaki putih panjang menghiasi langkah-langkah kakinya. Debu-debu pun beterbangan seolah-olah ikut menari mengiringi langkah bidadari kecil itu.
Sesekali dia menyibakkan rambut panjangnya yang tertiup angin dan menutupi wajahnya. Tak terasa panas sinar sang mentari membakar ke dua pipinya. Terlihat sedikit memerah meskipun tidak mengurangi gurat-gurat keceriaan di wajahnya.
Joko masih menunggunya hingga dia mendekat. Sebuah senyuman dia lemparkan ke arah Putri. Putri membalasnya dengan ekspresi terkejut melihat keadaan Joko. Ke dua bola matanya membesar dan terlihat bening menghiasi wajah manisnya. Terpana Joko dibuatnya.
"Ngapain kamu lepas sepatu segala, terus itu ... kakimu kotor sekali kenapa?" tanya Putri.
"Aku habis nyebrang sungai. Takut ketinggalan kamu."
"Ih, norak. Kampungan lagi."
"Yaelah ... kitakan memang di kampung, Put."
"Kita ...? Kamu kali, aku ... enggaklah ..." katanya sambil ngeloyor pergi.
Joko mengejarnya dan berjalan disampingnya. Jadilah mereka berjalan berdua menyusuri jalanan setapak di samping rel kereta. Mereka terdiam untuk beberapa lama. Entah apa yang dirasakan dua sejoli kecil ini ketika hati mereka berdua terkena panah Dewi Asmara. Yang pasti hati Joko berbunga-bunga dapat bersanding dengan gadis pujaannya. Angannya melayang membayangkan hari-hari indah bersama Putri.
"Bulan depan ujian kelulusan. Kamu mau melanjutkan sekolah kemana, Put?" tanya Joko memecah keheningan diantara mereka.
"Aku akan ikut ayahku pindah ke kota. Ayahku pindah tugas ke sana," jawab Putri lirih sambil menundukkan kepalanya.
Joko terkejut mendengarnya. Dia tidak menyangka Putri akan berkata seperti itu. Kata-kata Putri pelan tapi benar-benar menghunjam ke dalam palung hatinya yang paling dalam. Perpisahan nanti ... entah sampai kapan ... Joko merasa terluka karenanya. Dia kecewa pada keputusan Putri dan terbayang di pelupuk matanya hari-hari akan terasa hambar tanpa Putri. Pupus sudah harapannya untuk selalu bersamanya. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Joko. Kata-kata Putri bagaikan kunci gembok yang telah menutup rapat mulut Joko. Aliran darahnya pun sedikit tersendat hingga nafasnya terasa berat.
Serta merta dilemparnya sepasang sepatu yang sedang dipegangnya kearah rel kereta. Ke dua matanya memerah menahan amarah. Pandangan matanya tajam mengarah pada sepasang rel kereta yang berada disampingnya itu. Entah mengapa tiba-tiba saja Joko merasa benci padanya.
Sepasang besi tua hitam legam itu seolah-olah bergandengan tangan dan menertawakan kebersaman Joko dengan Putri yang hanya tinggal sebulan lagi. Tidak seperti mereka, sepasang rel kereta itu akan terus bersama selamanya hingga ke tempat tujuannya.
"Kamu marah? Maafkan aku ..." kata Putri mencoba tersenyum melihat tingkah Joko.
Cinta ini masih terlalu muda bagi mereka. Masih akan tumbuh dan bersemi seiring berjalannya waktu. Luka kehilangan itu bagi Joko tidak seberapa sakit jika dibandingkan pengorbanan para pahlawan yang rela berkorban dan kehilangan semuanya demi kemerdekaan bangsanya. Putri memegang ke dua tangan Joko dan menatap lembut ke dua bola matanya yang terlihat sedikit berair. Dapatkah Putri merajut hati Joko kembali dan menyemai cintanya?
"Kalau berjodoh kita akan bertemu kembali," kata Putri.
Pisau itu semakin dalam menusuk dan merobek hati Joko. Dan luka itu biarlah sang waktu yang akan mengobatinya ....