Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Kebahagiaan Anak Muda dan Politik Elektoral

15 September 2013   15:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:51 325 0
Besar harapan kita, menyaksikan anak-anak muda tampil di panggung-panggung politik.  Mereka tampil agresif di media, nyaris setiap waktu muncul baik di kolom-kolom politik koran harian, televisi, dan portal online.  Apalagi di sosial media yang hampir tak punya etik secara mainstream mengatur konten.

Di perhelatan pemilihan walikota Makassar yang tengah berlangsung ini tak ketinggalan. Hampir di semua tim calon yang berhadapan, di tengah-tengahnya hadir anak-anak muda dengan peran-peran prestisius, seperti juru bicara dan tim media. Mereka adalah corong bagi para kandidat dalam proses politik dan elektoral di Makassar. Mereka  bak selebriti yang dicari-cari pewarta. Celoteh-celotehannya menjadi bahan berita populis, “bad news is good news”.

Memang, seiring dengan perhelatan politik dalam dua tahun terakhir di Sulawesi Selatan,  politik dan elektoral adalah bahan berita paling top. Sentimen tersebut dapat diukur melalui peningkatan konten-konten politik di surat kabar, program televisi lokal dan di dunia maya, muncul beragam media online berbasis politik. Dari sisi waktu, hampir setiap menit, berita-berita politik tumpah ruah bak air mengalir di ruang media.

Hal itu kian terasa dengan berbagai corak iklan politik yang penuhi kolom media massa kita. Baik dalam bentuk advertorial maupun banner. Tak jarang berisi pesan kampanye negatif pula.

Dari sisi industri, politik dan elektoral memang telah jadi komoditas ekonomi bagi media massa. Terutama memanfaatkan posisinya sebagai wahana informasi massif yang langsung ke tangan publik. Tentu saja, sangat tepat bagi  media pencitraan kandidat.

Gambaran itu dapat disaksikan melalui trend pembengkakan biaya sosialisasi yang ditanggung tiap kandidat dalam pemilihan dari tahun ke tahun. Seperti yang terungkap dalam focus discussion group Center Election Political Party Universitas Indonesia yang dihadiri beberapa anggota DPR RI dan tokoh akademisi seperit Jeffrey Winters dari Australia baru-baru ini. Bahwa,  tahun 2004 lalu, biaya politik dan elektoral yang dikeluarkan personal, berkisar pada angka 2 ratus hingga 3 ratus juta. Ditakar dari pengeluaran para mantan aktivis atau orang-orang yang punya modal sosial yang ikut dalam Pemilukada.

Tahun 2009, jadi 8 Ratus juta hingga  1 Miliar Rupiah. Peserta berlatar belakang pengusaha, bahkan mengeluarkan biaya 6 sampai 22 miliar saat itu. Sekarang, di tahun 2013 boleh jadi beban itu makin meningkat. Di Makassar, beredar kabar biaya dikeluarkan calon ada yang telah melebih 50 miliar rupiah. Diproyeksikan, tahun 2014 beban biaya calon untuk Pemilukada bakal meroket. Termasuk pada pemilihan legislatif. Asumsi tersebut berdasarkan sistem proporsional terbuka yang  berlaku dimana kekuatan personal lebih dominan dari mesin partai.

Itu satu data, dari lembaga lain mungkin banyak perspektif lagi. Dari hal tersebut, dipastikan biaya sosialisasi terutama alokasi iklan untuk media makin bertambah. Karena para calon dituntut me-rias diri. Nah, pada poin ini, para juru bicara dan tim media calon atau kandidat-kandidat yang bertarung memiliki tempat. Dan, anak muda ada disana.



Pionir Marketing Politik

Seperti telah dipaparkan sebelumnya, konsekuensi nyata multi partai yaitu terjadinya persaingan elit secara luas di pentas politik. Apalagi dengan sistim proporsional tertutup yang bakal terjadi di pemilihan legislatif. Kenyataan itu mendorong partai dan para elit melakukan gerakan inovasi dalam menghadapi proses politik dan elektoral.

Tragis, hal itu berefek domino. Individualisasi atau personalisasi mengubur kharisma partai. Ia tak lebih sebagai jalan formal, alat transaksi bagi proses politik dan elektoral yang berlangsung. Proses politik lebih cenderung mengarah pada penguatan kharisma individu, baik melalui usaha sistematis yang didukung modal uang.

Pemilihan di tahun 2009 setidaknya memberikan kita peta dan jalan perpolitikan ke arah itu. Maka populerlah apa yang disebut dengan marketing politik. Satu konsep pemenangan dalam politik ini merupakan praktik yang telah berkembang di Amerika Serikat di awal abad 20 (Rothschild 1978). Cita rasa pragmatismenya lebih dominan, seperti model shopping oleh sales-sales produk.

Sekarang, di kota kita tercinta, Makassar, juga terjadi. Partai politik sekadar jalan bagi sejumlah elit-tengok perpecahan elit dan konstituen dialami beberapa partai. Sebab itu, marketing politik jadi satu keharusan (necessary-condition). Tak dapat dihindari sebagai dampak demokrasi Indonesia yang tengah mencari arah.

Seperti di tahun 2009, anak-anak muda banyak tampil sebagai pionir marketing politik. Mereka tampil sangat ovensif di media massa. Sebut saja misalnya tiga bersaudara Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.  Di Partai Demokrat, mereka memiliki andil besar “menjual” ketuanya, presiden sekarang, Susilo Bambang Yudoyhono sebagai figur favorit bagi ibu-ibu dan anak-anak muda.

Di satu sisi me-rias SBY, tapi di sisi lain sesekali menyerang program kandidat lawan. Bahkan tak jarang mencoba mengunci elektabilitas lawan dengan agenda setting dan wacana. Misalnya saja, betapa populer sitiran Alifian terhadap JK dalam kampanye tertutup menyambut Pemilihan Presiden 2009-2014 di Gedung Olah Raga Andi Mattalatta, lalu. Katanya,” belum saatnya orang bugis jadi presiden”.

Di partai-partai lain itu terdapat sosok muda. Seperti Priyo Budi Santoso di Partai Golkar, Budiman Sujatmiko di PDIP, dan seabrek lagi.



Dalam “lingkaran setan”



Dalam membangun demokrasi dan kehidupan bernegara yang lebih baik, tentu tak haram anak muda berpolitik. Besar harapan kita, kehadirannya membawa perubahan besar demokrasi  elektoral menuju arah lebih baik.  Dengan catatan, anak muda memiliki  bargaining dari segi visi, bukan hanya tenaga tapi sumbangsih pemikiran konstruktif. Bukan sebaliknya, mengacaukan tatanan ideal politik sebagai jalan bagi lahirnya pemimpin negara.

Belum lekang diingatan kita, bagaimana euforia anak-anak muda saat duduk dalam kursi empuk pusaran kekuasaan pasca 2009. Setelah  sukses memenangkan pertarungan, mereka kemudian mendapat tempat lebih besar, menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan partai.

Tapi, tampak hanya elok dari luar. Di dalam, rupanya tak lebih dari “anak politis” elit berkuasa. Besarnya pengorbanan materi membiayai pemenangan di Pemilu menuntut ganti. Belum lagi menyiapkan pundi-pundi menghadapi Pemilu berikutnya. Kreatifitas anak-anak muda itu pun berubah jadi mesin pencari uang dari berbagai mega proyek nasional. Ini seperti terjerumus lingkaran setan.  Tak heran kemudian sejumlah politisi muda itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, baik yang tengah menikmati hasil kerja kerasnya di legislatif, maupun di jajaran eksekutif.

Akhirnya mengutip kata bijak seorang penulis berkebangsaan Perancis, Jules Renard, “Dis quelquefois le verite afin qu’on te croie quand tu mentiras”. Kadang-kadang dengan mengatakan kebenaran berulang-ulang, jika berbohong sekali, orang-orang akan percaya . Semoga tidak di Pilkada Makassar***



Depok, 12 September 2013



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun