Tanpa ekspose yang massif dan meluas dari media massa, pada hari Selasa tanggal 14 Desember 2010 telah dilakukan deklarasi ‘Keistimewaan Surakarta’.
Pelaksanaan deklarasi berlokasi di sebelah selatannya komplek situs Candi Prambanan, tepatnya di dekat gapura perbatasan Yogyakarta dengan Surakarta.
Acara deklarasi itu dihadiri oleh mereka yang mengaku sebagai utusan dari masyarakat di tujuh kabupaten, yaitu Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Sragen.
Tujuan dari deklarasi adalah menyuarakan aspirasi dari para rakyat kawulo di wilayah eks Propinsi DIS (Daerah Istimewa Surakarta) yang menuntut dikembalikannya lagi status propinsi Daerah Istimewa Surakarta.
Propinsi DIS itu dahulu pernah dibentuk di awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia berdasarkan kronologi rangkaian peristiwa yang berawal dari pengiriman secara resmi kawat ucapan selamat atas Kemerdekaan Indonesia dari Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII kepada Presiden Soekarno, pada tanggal 18 Agustus 1945.
Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dalam rapat PPKI diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan propinsi dan dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.
Atas dasar semua yang tersebut diatas itulah maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII dengan diberikan piagam kedudukan resmi sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta yang setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat.
Sebagaimana diketahui, barulah sekitar 5 (lima) hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta).
Akan tetapi suratan takdir rupanya telah membedakan jalan perjalanan nasib dari keduanya. Umur dari DIS tidaklah panjang, lantaran pada saat itu di wilayah DIS terjadi kerusuhan sosial -yang konon kabar rumornya- diprakarsai dan digerakkan oleh kelompok gerakan ‘kiri’ pimpinan Tan Malaka.
Konon, gerakan dan kerusuhan sosial yang serupa juga secara bersamaan waktunya timbul pula di daerah pesisir pantai utara Jawa, antara lainnya di Brebes, Tegal, Pemalang. Disamping juga di daerah Sumatera Utara.
Terjadi eskalasi ketidakstabilan ketertiban dan keamanan dibarengi juga adanya gerakan landreform yang disertai dengan kerusuhan secara meluas.
Skala gangguan keamanan sudah sedemikian serius, yang sampai menyebabkan Pepatih Kasunanan Surakarta -KRMH Sosrodiningrat- beserta dengan beberapa orang Bupati telah dibunuh oleh kelompok tersebut.
Bahkan pada tanggal 28 Juni 1946, Perdana Menteri Sjahrir yang sedang bermalam di kota Surakarta dalam rangka perjalanan pulang dari kunjungan kerja ke Banyuwangi Jawa Timur telah mengalami penculikan dan percobaan pembunuhan.
Meninjau perkembangan situasi yang terus memburuk, maka pada tanggal 15 Juli 1946 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Penetapan Pemerintah nomor 16/SD tahun 1946.
Dimana didalam penetapan itu dinyatakan bahwasanya pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta untuk sementara diambil alih langsung berada di bawah pimpinan Pemerintah Pusat sampai situasi pulih, dan susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran akan ditetapkan kembali dengan Undang-undang.
Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 1946, pemerintah Republik Indonesia mengutus seorang pejabat setingkat Residen untuk membawahi pemerintahan di Kotamadya Surakarta, kabupaten Karanganyar, kabupaten Wonogiri, kabupaten Sukoharjo, kabupaten Klaten, kabupaten Boyolali.
Waktu kemudian berjalan cepat, dinamika perkembangan dan perubahan politik pun kemudian bergerak dengan sangat cepat, status DIS pun selanjutnya menjadi tak terurus yang terkatung-katung dan tak ketahuan jluntrungannya.
Hal yang bisa jadi disebabkan oleh usia dari Susuhunan Pakubuwono XII masih teramat belia, yaitu baru berusia sekitar 19 tahun.
Sehingga di usia belia dimana secara mental dan kejiwaan belum matang itu membuatnya tak mampu mengimbangi dan mengikuti gerak arah pendulum beserta geliat dinamika politik yang demikian cepat bergerak dan berubah.
Semua itu semakin melengkapi ketidakmampuannya mempertahankan kelangsungan kekuasaan Keratonnya atas wilayah eks kerajaannya sebagai Propinsi Daerah Istimewa Surakarta.
Hal itu berarti pula hilangnya segala hak keistimewaan yang masih akan didapatkan bagi dirinya dan kerabatnya serta keratonnya, andaikan pemegang tahta Keraton Kasunanan sampai sekarang masih punya hak istimewa yang secara otomatis akan menjabat sebagai Gubernur dengan masa jabatan seumur hidup dan berlaku turun temurun bagi pewaris tahta sesudah dirinya.
Di saat ini, ditengah belum selesainya pertarungan klaim antara para ahli warisnya yang berebut hak atas kepewarisan tahtanya -Pakubuwono XIII Hangabehi dengan Pakubuwono XIII Tedjowulan- muncul sekelompok orang yang menamakan dirinya KMP (Komunitas Masyarakat Pendukung) DIS (Daerah Istimewa Surakarta).
Isi dari tuntutan KMP DIS itu juga belumlah terlalu jelas, selain keinginan agar daerah eks DIS (Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Sragen) dikembalikan lagi statusnya menjadi Daerah setingkat Propinsi dengan nama Daerah Istimewa Surakarta yang terpisah dari propinsi Jawa Tengah.
Tuntutan itu diajukan berdasarkan landasan klaim kesejarahan dan ditujukan untuk kemajuan budaya Jawa dan kemakmuran rakyat, mengingat Surakarta adalah pusat budaya Jawa dan wilayah itu relatif jauh dari rentang kendali pusat propinsi yang berada di Semarang.
Berkait dengan tuntutannya itu, apakah berarti juga segala hak keistimewaan bagi Paku Buwono dan Mangkunegoro sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di Propinsi DIS itu juga dipulihkan kembali ?.
Apakah berarti kepemilikan atas tanah dan aset lain yang dahulu merupakan miliknya Kasunanan dan Mangkunegaran juga minta dikembalikan lagi ?.
Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap aspirasi rakyat di wilayah eks Daerah Istimewa Surakarta itu, tapi itulah aspirasi yang mereka suarakan.
Walau, tentunya harus mereka sadari bahwasanya jika hanya berdasarkan klaim kesejarahan maka sangat kecil peluang untuk diluluskannya tuntutan itu oleh pemerintah pusat.
Mungkin masih menyisakan ruang peluang yang relatif lebih memungkinkan untuk diluluskan jika klaim yang diajukan adalah berdasarkan tuntutan kebutuhan adanya pemekaran wilayah yang memang dimungkinkan di UU nomer 32 Tahun 2004 dan PP nomer 78 Tahun 2007.
Akhirulkalam, aspirasi perihal pengembalian status Daerah Istimewa Surakarta ini terpicu dan terinspirasi oleh serunya polemik tentang RUUK Yogyakarta ?. Ataukah, suatu bentuk kecemburuan Kasunanan dan Mangkunegaran atas segala keistimewaan yang sampai hari ini masih dimiliki dan dinikmati oleh Kasultanan dan Pakualaman ?.
Wallahualambishshawab.
*
- Artikel terkait : ‘Sultan HB XI, Akankah Masih Berkuasa ?’ , ‘Siapa Sri Sultan HB XI ?’ , ‘Suksesi Gubernur di Monarki Jogja’ , ‘Gubernur Seumur Hidup di Monarki Jogja’ , ‘Ambarukmo Plaza & Sumpah Sultan Jogja’ , ‘Kasultanan -Indonesia Raya- Hadiningrat’ , ‘Politik Monarki Jogja’ , ‘Jangan Usik Tahtaku’ , ‘Sultan for President’ .
- Artikel lainnya : ‘Timnas -Mie Instan- Indonesia’ , ‘Gen Penyebab Istri Selingkuh’ , ‘Mengapa TKW ?’ , ‘Mbah Maridjan Katsumoto Suraksohargo’ , ‘Malam Satu Suro’ ,‘Mbah Maridjan : Hangrungkepi Momongane’ , ‘Muara Kasus Gayus’ , ‘Uji Loyalitas Pelanggan SPBU Pertamina’.
*