Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Mengapa Kok TKW ?

18 November 2010   17:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:30 1090 6

Kasus yang menimpa Sumiati dan Haryatin serta Keken Nurjanah, para TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia yang bekerja di luar negeri telah menambah deretan panjang cerita kelam diseputar perlakuan yang dialami oleh para pekerja migran asal Indonesia.

Cerita kelam dengan segala bentuk variannya. Mulai dari tingkatan yang ringan semisal dalam soal ketidaknyamanan, sampai yang berat semisal penyiksaan dan penganiayaan. Bahkan juga hingga yang tingkatannya sudah berkategori super berat semisal soal pelecehan seksual dengan berbagai tingkatannya, termasuk tindakan pemerkosaan disertai dengan penganiayaan.

Publik pun sebenarnya juga hanya tahu sebagian kecil saja dari cerita kelam yang mengenaskan itu, yang ibarat gunung es maka cerita-cerita itu hanyalah puncuknya saja.

Hal itu dikarenakan tidak semua peristiwa itu terpantau dan dilaporkan, juga tak semuanya terkover oleh liputan media massa.

Belum lagi jika bicara soal ekses dan dampak secara tak langsungnya. Semisal di soal-soal yang menimpa anggota keluarga yang ditinggalkannya, mulai dari suami yang kesepian sehingga mempunyai istri atau simpanan lagi.

Juga soal anak-anak yang tak terurus lantaran ibu kandungnya tak ada disisinya di saat masa tumbuh kembang dan masa pendidikannya.

Tak terkecuali juga soal anak-anak yang lahir lantaran terjadi ketergelinciran dan kekhilafan yang dilakukannya bersama dengan sesama pekerja migran selama tinggal dan bekerja di negeri orang, serta juga mereka yang dipaksa berhubungan seksual oleh para majikannya.

Semua itu seakan merupakan mimpi buruk yang tak pernah mampu ditangani oleh pemerintah negeri ini, lantaran kekusutan dan keruwetan yang belit membelit antara kebutuhan dan desakan ekonomi yang memaksanya bekerja di negeri orang, berkait dengan rendahnya perlindungan yang didapatkannya dari aparat negara.

Sesungguhnya memang benang ruwet yang kusut itu sudah ruwet sejak awal asal muasal pertama kalinya digalakkan program pengiriman TKW ke luar negeri.

Pada masa awal dimulainya pengiriman massif TKW ini dimulai saat Menteri yang mengurusi tenaga kerja -kalau tidak salah- dijabat oleh Sudomo.

Masa itu untuk pengiriman TKI –maksudnya adalah Tenaga Kerja Pria- sudah mengalami sedikit perlambatan, lantaran salah satunya disebabkan perusahaan kontraktor bangunan dari Indonesia itu jatah porsi pekerjaannya di negara jazirah Arab mulai digeser perannya oleh perusahaan dari negara lain, semisal Korea Selatan.

Awal pengiriman TKW ini, beberapa kalangan ulama Islam ada yang menyatakan dan menyuarakan keberatannya.

Keberatannya itu dilandasi oleh adanya dalil fiqih agama dan argumen logika soal perlindungan terhadap para wanita yang dikirim jauh dari negara asalnya.

Sebagaimana diketahui, dalam ajaran Islam dikenal adanya ajaran yang tidak memperbolehkan wanita untuk melakukan perjalanan jauh jika tanpa disertai dengan muhrim atau suaminya.

Memang, suara para ulama ini yang kental nuansa doktrin keagamaan ini diartikan oleh banyak kalangan sebagai sebuah cara fikir yang konservatif dan menghambat kemajuan dari gerakan emansipasi kaum wanita.

Padahal jika dikaji secara jenih, muara dari ajarannya itu juga ketemu dengan cita-cita gerakan emansipasi wanita yang seharusnya juga mengutamakan juga kesetaraan yang sesuai dengan fitrah kodratnya, yang disertai dengan adanya perlindungan terhadap keselamatan dan kehormatan serta harga dirinya sebagai wanita.

Lantaran tak tercapai sebuah dialog yang jernih antara beberapa pihak yang saling sepakat untuk tidak bersepakat itulah, pengiriman TKW berjalan terus dengan akselarasi kecepatan yang penuh. Namun disisi lain, antisipasi langkah dan tindakan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan kehormatan serta harga dirinya sebagai wanita, menjadi tertinggal yang nyaris seperti tak terurus.

Ujungnya, mimpi buruk itu pun terjadi yang susul menyusul tak berkesudahan, lantaran jika sebuah program nasional itu sudah cacat bawaan sejak lahirnya maka pembenahan dikemudian harinya memang akan menjadi pr yang sungguh bukan pekerjaan rumah yang mudah.

Memang, negara kita yang sudah kita sepakati merupakan negara sekuler itu tak harus mengadopsi secara total apa yang menjadi prinsip dasar dari ajaran Islam.Namun, apa salahnya jika spirit dan jiwa dari prinsip dari spiritnya itu dapat dipertimbangkan sebagai landasan dasarnya ?.

Sebenarnya pada tahun 2000 yang telah silam, MUI (Majelis Ulama Indonesia) pernah mengeluarkan fatwa ‘haram’ untuk pengiriman TKW ini, sepanjang pemerintah dan lembaga serta pihak terkait lainnya itu tidak bisa menjamin adanya perlindungan yang memadai terhadap keamanan dan kehormatannya TKW tersebut.

Didalam fatwa MUI itu, secara garis besarnya ada 4 (empat) poin yang menjadi konsideran dan isinya, yaitu :

Pertama, perempuan yang meninggalkan keluarga untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negeri pada prinsipnya ‘boleh’ sepanjang disertai mahram atau keluarga atau lembaga atau niswah tsiqah yaitu kelompok perempuan yang terpercaya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun