Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Obama Takut Merapi

10 November 2010   04:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 472 2

Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mempersingkat kunjungan singkatnya diIndonesia. Kunjungannya keIndonesiayang menurut rencana semula sudah tidak sampai 24 (Dua Puluh Empat) jam itu, dipersingkat lagi dengan 2 (dua) jam lebih cepat dari jadwal semula.

Seharusnya selepas memberikan kuliah umum di UI (UniversitasIndonesia) Obama akan mengunjungi TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata.

Berhubung dengan dipersingkat waktu kunjungannya di Indonesia, maka kuliah umum di UI dimajukan dari jadwal, dan selepas dari UI itu Obama akan langsung menuju ke Lanud Halim Perdanakusuma yang untuk selanjutnya terbang menuju ke Korea Selatan.

Kekhawatiran bahwa muntahan abu vulkanik dari letusan gunung Merapi yang bisa mengganggu penerbangan pesawat kepresidenan Amerika Serikat, Air Force One, merupakan alasan yang membuat Obama mempersingkat kunjungannya tersebut.

Parapejabat itu secara terus menerus memonitor secara cermat perkembangan gunung Merapi. Menurut mereka perkembangan abu vulkanik dari Gunung Merapi dan prakiraan cuaca menunjukkan bahwasanya lalu lintas udara mungkin akan terganggu lagi.

Mereka juga mengatakan bahwa abu vulkanik dari gunung Merapi itu dapat menyebabkan malapetaka pada mesin pesawat jet seperti Air Force One.

Demikian alasan yang dikemukakan oleh sejumlah pejabat Pemerintah Amerika Serikat yang dikutip oleh  Kompas.Com dari  CNN.com.

Suatu alasan yang dapat dimengerti dan dimaklumi, mengingat para pejabat pemerintahan Amerika Serikat tentunya harus memberlakukan standar tinggi terhadap keamanan dan keselamatan dari Presiden mereka.

Berkait dengan itu, tentunya mereka selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan sangat cermat dalam kerangka skenario dari keadaan terburuk atas segala kemungkinan yang mungkin bisa terjadi.

Hal yang demikian itu, mungkin, dapat diibaratkan sebagai sebuah sikap dan kerangka berfikir yang ‘sedia payung sebelum gludug’.

Suatu sikap yang mencerminkan tingkat kewaspadaan dan kehati-hatian serta penerapan standar keamanan yang sangat tinggi.

Dalam kata lain, merupakan sikap yang tidak mau gegabah dan tidak mau menyepelekan segala sesuatunya serta tidak mau ‘kainan’.

Namun, hal tersebut jika ditilik dari sudut pandang yang berbeda dan dilihat dari kacamata lain, dapat juga dikatakan sebagai sesuatu yang lebay dan paranoid serta berlebihan.

Bagaimana tidak dikatakan demikian, jika pemerintahIndonesia sudah memastikan bahwa abu vulkanik dari gunung Merapi itu tidaklah sampai keJakarta. Dan kalau pun sampai hanya dalam jumlah yang sungguh teramat kecil dimana itu sama sekali tidak membahayakan sedikit pun terhadap keselamatan penerbangan pesawat udara.

Belum lagi, pemerintahIndonesia pun juga sudah memastikan bahwa sekarang ini keadaan gunung Merapi ‘sudah melewati’ fase yang berbahaya, dimana fase puncak letusannya ‘telah terlampaui’.

Letusan yang telah terjadi telah melampaui ‘kondisi maksimum’ dalam sejarah letusan Gunung Merapi yang tercatat, dan ‘sangat kecil’ kemungkinan akan terjadi ‘letusan besar’ yang mampu mengeluarkan bahan material melebihi 100 juta meter kubik. Jadi secara umum gunung Merapi sudah melewati fase berbahayanya”, Kata kepala BPPTK (Balai Penyuluhan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian) Subandriyo.

Demikianrilis resmi dari media center tanggap darurat bencana merapi, pada hari Selasa tanggal 9 Nopember 2010, yang dikutip dari  Detik.Com.

Ditambah lagi, di berita lain di  Kompas.Com juga sudah ditegaskan oleh pemerintah Indonesia bahwa gempa tektonik yang sempat terjadi kemarin hari di daerah seputaran Yogyakarta itu telah dipastikan tidak akan mempengaruhi terhadap ‘peningkatan aktivitas’ gunung Merapi.

Jika sudah demikian haqqul yakinnya pemerintah Indonesia tentang gunung Merapi yang sudah tidak berbahaya lagi itu,maka sebutan apa lagi yang lebih cocok dan pas serta pantas diberikan kepada para pejabat Amerika Serikat, selainlebay dan paranoid serta berlebihan ?.

Atau,jangan-jangan para pejabat pemerintah Amerika Serikat itu memang bersengaja dengan berbasa-basi mengemukakan alasan tentang kekhawatirannya yang berlebihan tentang gunung Merapi itu, untuk membuat keonaran serta menebar keresahan serta mencoba melakukan sabotase terhadap usaha pemerintah Indonesia yang telah berusaha keras untuk menenangkan rakyatnya teristimewa yang berada di Yogyakarta ?.

Dilain sisi, pemerintah Indonesia walaupun telah memastikan bahwa aktivitas gunung teraktif di dunia tersebut sudah memasuki mas yang mencerminkan indikasi dari ‘tren penurunan’ itu, toh juga masih menerapkan standar kewaspadaan dan kehati-hatian yang tinggi pula.

Hal itu tercermin dari masih belum dicabutnya status ‘Awas Merapi’ dan masih diterapkannya zona daerah aman itu sejauh lebih 20 kilometer dari puncak gunung Merapi.

Untuk sementara radius aman masih ditetapkan pada jarak di luar 20 kilometer dari puncak gunung”, kata Sukhyar, Kepala Badan Geologi di Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) pada hari Minggu tanggal 7 Nopember 2010, seperti yang dikutip dari  Kompas.Com .

Jadi,apa sebenarnya yang dimaui oleh para pejabat pemerintah Amerika Serikat dengan pernyataannya tentang kekhawatiran bahwa muntahan abu vulkanik dari letusan gunung Merapi bisa mengganggu pesawat kepresidenan mereka itu ?.

Adakah mereka itu hanyalah basa-basi yang ngomongnya asal njeplak saja ?. Ataukah mereka punya prediksi dan keyakinan yang berbeda pemerintahIndonesiatentang gunung Merapi ?.

Terlepas dari dugaan dan syak penuh wasangka terhadap pejabat pemerintah Amerika Serikat seperti tersebut diatas itu -tanpa mengurangi tingkat rasa kepercayaan yang sangat tinggi terhadap kepakaran dan keahlian ilmiah serta keakuratan prediksi dari para pakar kegunungapian di pemerintahIndonesia-memang ada pemikiran lain yang berkembang diluar itu.

Berkait dengan gempa tektonik yang diyakini tidak berhubungan sebab akibat maupun pengaruh mempengaruhi dengan aktivitas kegunungapian, ada pendapat lain yang berkebalikannya.

Pendapat yang meyakini bahwa aktivitas kegempaan lempeng tektonik itu dapat memicu peningkatan aktivitas kegunungapian.

Paling tidak hal itu dapat terlihat dari peristiwa Gempa Yogya tahun 2006 yang telah lalu, dimana terjadi gempa tektonik saling pengaruh mempengaruhi dengan letusan gunung Merapi.

Hal lainnya, jika ditilik dari letusan awal dari gunung Merapi tahun 2010 ini ada pula yang meyakini ada hubungan sebab akibat yang saling pengaruh mempengaruhi dengan kejadian gempa tektonik.

Paling tidak hal itu dapat dilihat pada salah satu berita yang dirilis oleh  SuaraSurabaya.Net dimana dikatakan bahwa berdasarkan catatan letusan Merapi tahun 2001 dan 2006 yang lalu itu meningkatnya aktivitas Merapi diantaranya selalu didahului oleh gempa bumi tektonik.

Aktivitas Merapi tahun 2001 didahului oleh gempa bumi interplate dengan magnitudo 6.3 Skala Richter di kedalaman menengah (130 km) yang dibangkitkan oleh aktivitas penyusupan lempeng di zona Benioff.

Sedangkan peningkatan drastis dari aktivitas Merapi tahun 2006 juga didahului oleh peristiwa gempa bumi kuat berskala magnitudo 6.5 Skala Richter yang memiliki kedalaman dangkal akibat dari aktivitas sesar aktif di sebelah Timur depresi Bantul.

Dikatakan pula, bahwa aktivitas Merapi sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan tegangan kulit bumi, dimana terjadinya gempa bumi tektonik di zona seismik aktif di sekitar Merapi dapat meningkatkan ekstrusi magma dan aliran-aliran piroklastik Merapi.

Terlepas dari mana yang lebih benar dan lebih punya tingkat validitas lebih tinggi dari perbedaan pendapat soal keterkaitan antara gempa tektonik dengan aktivitas kegunungapian itu, mungkin ada baiknya jika kita berpegang saja kepada keyakinan dan pernyataan resminya pemerintahIndonesia.

Paling tidak, dengan kesatuan keyakinan itu dapat dihindarkan terjadinya kekacauan dan keresahan di kalangan masyarakat yang sudah cukup menderita dengan kejadian letusan Merapi yang telah terjadi baru-baru ini.

Di soal lainnya, di berita tersebut diatas itu juga dikatakan bahwa teori tersebut diatas ini juga merupakan penjelasan dari peristiwa letusan gunung Unzen di Jepang dan gunung Pinatubo di Pilipina.

Dimana Letusan Pinatubo diawali oleh gempa bumi di pulauLuzon pada tanggal 16 Juli 1990. Sehari setelah gempa bumi Luzon itu, terjadi gempa bumi di lepas pantaiTaiwan dengan magnitudo 6.3 Skala Richter.

Serangkaian gempa bumi tektonik ini ternyata memicu serangkaian gempa bumi di Jepang, khususnya di Yonago,Kyoto , dan Kinki, yang kemudian memicu gunung Unzen di Jepang dan gunung Pinatubo di Pilipina.

Di soal letusan gunung Pinatubo di Filipina tersebut, ada hal yang menarik untuk dipelajari, bahwasanya prediksi yang akurat dan jujur serta lugas atas berbagai kemungkinan terjadinya letusan, yang juga didukung oleh peliputan luas dari media yang jujur dan transparan, akan membuat proses mitigasi atas masyarakat dapat berjalan cepat dan efektif.

Hal tersebut disoroti dalam sebuah artikel yang berjudul  :  ‘DariPinatubo, Takar Dahsyat Letusan Merapi’ , tulisan dari yang ditulis oleh  Berthy B Rahawarin.

Dalam artikelnya, Berthy secara tersirat mengatakan bahwa dalam kasus penanganan Merapi ini mediamassadan ahli seismologi kita (Indonesia) tidaklah se-transparan mediamassadan tim mitigasi bencana Filipina.

Dimana ia juga mempertanyakan perihal jarak aman yang sempat digeser dari 10 ke 15 km lalu ke 20 km.

Ditulisnya pula bahwa media Filipina belajar dari letusan Pinatubo (1991), di kemudian hari proses meletusnya gunung Mayon mendapat pengawalan dan peliputan luas media agar proses mitigasi ikut sampai pada masyarakat.

Seperti diungkapkan stasiun televisiGMA TV Filipina, badan seismologi setempat memperkirakan sebuah erupsi skala besar semakin dekat menyusul letusan-letusan ringan dan aliran lahar yang semakin intens sejak dua hari terakhir.

Kemudian dipenghujung akhir tulisannya ia mempertanyakan, kalau jujur, kita ingin bertanya kepada Ketua PVMBG Surono, “Jika belum klimaks, di tahap seperti Pinatubo-kah Merapi kita ?”. Kalau “ya”, “Mengapa tidak kita lakukan langkah antisipasi yang lebih rasional ?”. Ataukah, kita ingin semuanya tampak 'baik-baik' saja, hingga sesuatu yang 'amat buruk' tiba-tiba menimpa masyarakat, sementara 'semestinya' itu bisa dicegah lebih awal ?.

Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap apa yang ditulis oleh  Berthy B Rahawarin di  artikel tersebut, mungkin kita perlu mengetahui tentang bagaimana sesungguhnya dasar perhitungan ilmiah dari ‘Jarak Aman Merapi’ itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun