Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Rekayasa Missing Link dalam Kriminalisasi KPK

11 November 2009   07:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:22 2098 0
Kisah nasibnya Antasari Azhar barangkali tak seberuntung Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Hal itu lantaran apresiasi dari masyarakat sudah terlanjur rusak secara prematur, lantaran tak tertepisnya dramatisasi kisah cerita tentang affair yang terjadi antara dirinya dengan Rani Juliani, istri kedua dari Nazrudin Zulkarnaen. Masyarakat Indonesia yang berciri bangsa timur dengan adab santun dan penuh maklum, walaupun permisif dan toleran namun sampai zaman semodern ini ternyata tetap belum bisa mengadopsi seks bebas dan tetap belum bisa mentoleransi adanya perselingkuhan dalam kehidupan perkawinan. Jadilah rusak reputasinya sosok Antasari Azhar, yang mana ini merembet kepada tak adanya empati serta simpati pada dirinya, selanjutnya berimbas kepada musnahnya apresiasi dan atensi masyarakat terhadap kasus yang membelitnya. Semua itu berujung dan bermuara kepada hilangnya selera masyarakat atas adanya sejumlah kejanggalan dalam mata rantai didalam kasusnya. Kasus Antasari Azhar dibangun atas dasar dua jalur mata rantai yang menghubungkan dirinya dengan pembunuhan Nazrudin Zulkarnaen. Saksi kunci pertama, yaitu Rani Julian, berkait dengan kisah affair Antasari dengan istri kedua korban pembunuhan tersebut menjadi tumpuan dari mata rantai yang pertama. Saksi kunci kedua, Wiliardi Wizar dikaitkan dengan Sigid Haryo Wibisono, berkait dengan uang sebesar Rp. 500 juta, menjadi mata rantai koneksitas antara Antasari dengan perencanaan serta pelaksanaan pembunuhan atas diri Nazrudin Zulkarnen, Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran. Beberapa pihak, sejak semula sudah menengarai adanya sejumlah kejanggalan dalam kaitannya dengan koneksitas di dua mata rantai ini. Namun kecurigaan itu tak bergaung sebab lantaran tertelan arus dramatisasi affairnya Antasari dengan Rani. Barulah kemudian, missing link dalam kasus Antasari Azhar ini menjadi perhatian masyarakat setelah proses persidangan berlangsung, dimana salah satu kasus kunci yaitu Wiliardi Wizar, memaparkan adanya pengkodisian dari pihak penyidik Polri terhadap kasus yang dituduhkan kepada Antasari Azhar. Perhatian masyarakat ini juga tak terlepas dari adanya pengaruh kebersamaan waktu pengungkapannya dengan waktu pemaparan sejumlah missing link dalam kasusnya Bibit dan Chandra. Semua itu menjadikan masyarakat menjadi bertanya-tanya dan timbul curiga adanya rekayasa dalam membangun kasus kriminalisasi atas para pimpinan KPK. Sebenarnya, kasus Bibit dan Chandra pun dibangun dengan permodelan yang walau tak sama namun serupa dengan kasus Antasari Azhar. Pembedanya di kasus Antasari adalah soal tindak pidana kriminal pembunuhan. Sedangkan dalam kasus Bibit dan Chandra adalah soal pemerasan dan penyuapan. Hal yang menjadikan serupa adalah ciri yang sama dalam membangun permodelan koneksitas yang mendasari hubungan sebab akibatnya. Dalam kasus Bibit dan Chandra, juga dicoba dibangun adanya dramatisasi asmara. Jika dalam kasus Antasari, posisi Rani Juliani adalah sebagai mata rantai yang pertama, maka dalam kasus Bibit dan Chandra, dicoba diserupakan dengan pengungkapan adanya hubungan asmara antara anaknya Nurcholis Madjid dengan Chandra Hamzah. Namun ternyata mata rantai yang pertama ini lemah dan gagal secara dini. Mungkin ini lantaran sebabnya secara filosofi, hubungan asmara antara Antasari dengan Rani, jelas tak sama dengan hubungan asmara antara Chandra dengan anaknya Cak Nur. Dan lagi, upaya mendramatisasi hubungan asmara yang pernah terjadi antara Chandra Hamzah dengan anak perempuannya mantan Ketua Umum PB HMI yang legendaris ini dalam kaitan dengan kasus Kriminalisasi Pimpinan KPK ternyata mendapatkan tentangan keras dari keluarga besarnya Nurcholis Madjid. Isu asmara ini juga tak mendapatkan sambutan sebagai mana mestinya dari para jurnalis dan redaktur. Dimana pada kenyataannya, media massa arus utama pun tak menunjukkan minat dalam mengangkat isu dramatisasi asamaranya Chandra dengan anaknya Cak Nur, sebagai menu utama di ruang utama pemberitaannya. Produser dan pengasuh acara infotainment, secara tak terduga, juga tak menunjukkan kecenderungan selera sebagaimana lazim dilakukannya. Tak tergerak hatinya untuk menjadikan kisah cerita asmara Chandra dengan anaknya Cak Nur sebagai menu tayangannya di media televisi. Semua faktor itu, entah bagaimana prosesnya, menjadikan cerita drama asmara ini tak merebak di ruang publik. Sehingga jika kasus asmara Antasari dengan Rani berhasil menjadi pembunuh karakter bagi terdakwa, namun gagal menjadi hal serupa di kasus Bibit dan Chandra. Inilah letak ketidak beruntungan nasibnya Antasari Azhar dibandingkan dengan Bibit dan Chandra, rekan. Selanjutnya, dalam mata rantai yang kedua, posisi Wiliardi Wizar dengan Sigid Haryo Wibisono di kasus Antasari Azhar, serupa dengan posisinya Anggoro dan Anggodo dengan Ary Muladi. Sebagaimana diketahui, Wiliardi Wizar dalam kesaksian di persidangan kemarin hari, mulai mengungkapkan adanya pengkondisian yang dilakukan oleh jajaran penyidik Polri dalam penahanan Antasari Azhar. Ini tentu membuat munculnya missing link sehingga terjadi perlemahan di mata rantai yang kedua dalam kasus Antasari Azhar. Walau motif yang terbangun lewat kesaksian Rani telah demikian rapi dan kuat terbangun, namun tentu pengungkapan Wiliardi Wizar yang mantan Kapolres Jakarta Selatan ini telah membuat tanda tanya besar di kalangan publik. Adakah motif hubungan asmara antara Rani dan Antasari dapat menjadi dasar alasan dan bukti yang kuat di kasus ini jika tak didukung adanya hubungan antara terdakwa dengan perbuatan pembunuhan yang menjadi terputus mata rantainya lantaran kesaksiannya Wiliardi Wizar ?. Selanjutnya, hal yang sama juga dilakukan oleh Ary Muladi. Namun karena pengungkapan missing link yang dilakukan oleh Ary Muladi dilakukannya sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan, tentu dampaknya menjadi lain. Dampak itu menjadi lebih lain lagi ketika pernak-pernik dalam missing link itu ikut menyeruak ke atas permukaan. Pertama, tuduhan adanya uang suap dari Anggodo yang diserahkan ke Ary Muladi selanjutnya ke para pemimpin KPK itu ternyata tak didukung bukti yang kuat dan telak bahwa aliran uang suap itu memang ada. Disamping itu, uang itu ternyata oleh Ary Muladi tak diserahkan langsung kepada para pemimpin KPK, namun melalui perantaraan Yulianto. Dimana penyerahan uang dari Yulianto kepada para pemimpin KPK juga tak didukung adanya bukti yang memadai. Kedua, hubungan antara Yulianto dengan para pemimpin KPK juga merupakan missing link yang merupakan titik lemah dari bukti adanya aliran uang suap yang berawal dari Anggodo kepada para pemimpin KPK. Ketiga, kemisteriusannya sosok Yulianto sebagai perantara uang suap dari Ary Muladi sebagai utusannya Anggodo dalam menyuap para pemimpin KPK, yaitu Bibit dan Chandra serta M Yasin juga Ade Rahardja. Ketiga hal tersebut merupakan berkah bagi Bibit dan Chandra, sehingga Tim Delapan ikut menjadi ragu akan kelayakannya kasus Bibit dan Chandra jika tetap dipaksakan untuk dilimpahkan ke Pengadilan. Berkah selanjutnya, adalah pengungkapan dan pemutaran rekaman sadapan teleponnya Anggodo. Dalam percakapan di telepon itu, ditengarai ikut terlibatnya makelar kasus dan mafia peradilan dalam kasus Bibit Chandra. Ditambah lagi dengan adanya pencatutan nama Presiden secara sepihak oleh Anggodo, serta niatan membunuh Chandra jika yang bersangkutan dimasukkan ke dalam sel tahanan Polri. Semua itu menjadikan wajar jika kemudian akan semakin menambah kuatnya celotehan kecurigaan adanya rekayasa dalam kasus Bibit dan Chandra. Disinilah letak masalahnya yang telah membuat rasa keadilan masyarakat ikut terusik. Inilah letak keberuntungan kedua nasibnya Bibit dan Chandra dibandingkan Antasari Azhar. Momentum ini menjadikan masyarakat sudah tak lagi melihat sosok Bibit dan Chandra, bukan lagi soal empati dan simpati terhadap Bibit dan Chandra secara personal. Namun masyarakat melihat kasus ini sebagai upaya kriminalisasi pimpinan KPK yang dapat berujung kepada perlemahan terhadap peran KPK dalam masa mendatang. Keterusikan rasa keadilan masyarakat telah menimbulkan rasa solidaritas, yang berujung ke penggerakkan daya swakarsa dan swadaya masyarakat, dalam ikut melawan upaya upaya kriminalisasi pimpinan KPK dan perlemahan KPK. Dalam situasi seperti ini, nurani masyarakat ikut terbangkitkan, dimana orang per orang dapat bergerak tanpa digerakkan. Dapat ikut empati dan simpati tanpa tujuan dapatkan pujian dan tepuk tangan. Dapat ikut libatkan diri tanpa harapkan imbalan materi. Namun seperti layaknya yang sudah pernah terjadi di negeri ini. Ada yang Pro dan ada pula yang Kontra. Pernyataan yang saling silang dalam dukung mendukung menjadi konsekuensi lanjutannya. Demo yang menentang upaya upaya kriminalisasi pimpinan KPK dan perlemahan KPK, terjadi di beberapa tempat. Namun,di kubu diseberangnya pun tak kalah ngotot dan bersemangatnya. Demo yang mendukung upaya pihak Polri dan Kejagung untuk tetap meneruskan kasus Bibit dan Chandra juga ikut digelar. Diantaranya adalah demo yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa Nusantara di depan Istana Presiden pada hari Selasa tanggal 10 Nopember 2009. Demo yang diikuti oleh seribu orang itu menuntut pembubaran Tim Delapan. Tak hanya itu, gelombang pendukung Kejagung juga ikut bergerak. Salah satunya dari FBR (Forum Betawi Rempug). FBR terang-terangan menolak Bibit-Chandra dan mendukung Kejagung dengan mengusung spanduk bertuliskan 'Bibit-Chandra Bukan Pahlawan' dan 'Kejagung Jangan Mau Diintervensi Tim 8'. Di kota Yogyakarta pun juga terjadi serupa. Forum Masyarakat Cinta NKRI yang terdiri dari gabungan masyarakat di sekitar Malioboro, Stasiun Tugu dan Pasar Kembang yang berprofesi sebagai buruh, sopir becak, andong, tukang parkir, dan lain-lain. Gerakan massa ini melakukan longmarch di Jalan Malioboro menuju simpang empat Kantor Pos Besar ini mengusung poster bertuliskan “Selamatkan institusi penegak hukum, Polri, Kejaksaan dan KPK”. Semua itu menjadi memungkinkan timbulnya kemungkinan terjadinya konflik horizontal antar dua kubu, yang Pro dan yang Kontra. Apakah kemudian kubu yang menentang upaya upaya kriminalisasi pimpinan KPK dan perlemahan KPK harus menyerah saja untuk sebuah kepentingan nasional yang lebih besar yaitu meminimalisir kemungkinan konflik horizontal itu ?. Sebuah solusi yang patut dipikirkan, mengingat bukan tak mungkin kubu penentang upaya upaya kriminalisasi pimpinan KPK dan perlemahan KPK akan menjadi korban tuduhan tindak kekerasan dan kriminal. Mengingat pada peristiwa yang lalu-lalu hal itu pernah terjadi. Dimana pada kasus Ahmadiyah, kubu FPI sebagai penentang Ahmadiyah menjadi korban tuduhan tindak kekerasan dan kriminal. Kubu yang menentang upaya kriminalisasi pimpinan KPK dan perlemahan KPK harus berfikir ulang sejuta kali agar tak di-FPI-kan. Semua tergantung dari kelapangan hati dan kebesaran jiwa dari kubu yang menentang upaya upaya kriminalisasi pimpinan KPK dan perlemahan KPK, demi menghindarkan konflik horizontal itu dan demi kepentingan nasinal yang lebih besar serta kemakmuran kesejahteraan rakyat Indonesia maka maukah untuk menghentikan aktivitas gerakannya ?. Selain itu, sebenarnya ada juga solusi lainnya yang ditempuh. Solusi tersebut yaitu dengan memendekkan waktu terjadinya Pro dan Kontra. Solusi itu dapat ditempuh dengan pilihan dua cara. Cara yang pertama adalah mempercepat pelimpahan berkas perkaranya ke pengadilan. Sedangkan cara kedua yang dapat ditempuh adalah dengan menghentikan kasus ini. Kedua cara itu, suka tidak suka, tak terhindarkan, tergantung kepada kebijakan dan putusan tegas yang hanya dapat diambil oleh Presiden Republik Indonesia, selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Polri dan Kejagung sebagai institusi yang secara hirarki dan kendali berada dibawahnya Presiden, dapat diperintahkannya untuk tetap memproses kasus Bibit dan Chandra ini dengan memperhatikan rekomendasi Tim Delapan namun dipercepat proses pelimpahan berkas perkaranya ke pengadilan. Pada cara pertama ini diyakini akan meredakan terjadinya Pro dan Kontra, lantaran kasusnya sudah menjadi sangat teknis sekali. Sehingga diharapkan perhatian masyarakat pun menjadi tak akan sebesar jika kasus ini belum dilimpahkan ke pengadilan. Namun, tentu ini akan menuai kecaman, yaitu memaksakan agar suatu kasus segera dilimpahkan ke pengadilan tanpa memperdulikan kelayakan kasus itu, termasuk kelayakan bukti-buktinya, merupakan suatu tindakan yang tak patut, jika tak boleh dikatakan sebagai tindakan zolim yang menganiaya. Akan tetapi kecaman itu paling-paling hanya akan berputar di seputar polemic di media massa saja, tidak melibatkan pergerakan massa di dunia nyata. Sehingga tak akan membahayakan keamanan dan stabilitas nasional. Sebuah cara yang patut dipertimbangkan untuk dapat segera dijalankan oleh Polri maupun Kejagung. Secepatnya menyelesaikan pemberkasan perkaranya dan segera melimpahkannya ke depan pengadilan. Atau, sebaliknya, Polri dan Kejagung sebagai institusi yang secara hirarki dan kendali berada dibawahnya Presiden, dapat diperintahkannya untuk segera mengeluarkan SP3 bagi kasus Bibit dan Chandra ini. Namun, lagi-lagi, cara ini pun tentu juga akan mengundang kecaman pula. Paling tidak protes bahwa Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan telah melakukan tindakan intervensi terhadap sesuatu yang menjadi kewenangannya Kapolri dan Jaksa Agung. Ini tentu bukan pilihan yang mudah bagi Presiden. Namun seluruh rakyat Indonesia haqqul yakin bahwa Presiden SBY selaku negarawan besar bangsa Indonesia sekaligus selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan akan bertindak arif bijaksana, demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Semoga begitu adanya. Wallahualambishshawab. *

Referensi Artikel Terkait :

  • Bibit Chandra Secepatnya Diadili ?” , klik disini atau disini
  • Keberhasilan Upaya Mengganti Pimpinan KPK”, klik disini atau disini
  • Kemana Muara Kasus Kriminalisasi KPK ?”, klik disini atau disini
  • Chandra Samad pun akhirnya akan Tamat”, klik disini atau disini
  • Rekomendasi Tim 8 kepada Presiden SBY”, klik disini atau disini
  • Komisi III dan Suara Rakyat Pemilih”, klik disini atau disini
  • Kriminalisasi KPK : Puisi Republik Mimpi Buruk”, klik disini atau disini
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun