Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Presiden Malioboro

5 April 2011   04:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:07 897 2
“tidak peduli segala gelar, HIDUP adalah PUISI”

Dia adalah Umbu Landu Paranggi—penyair yang bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi, masih terhitung sebagai cucu salah seorang raja Sumba. Dia dilahirkan di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1945. Di daerah yang dikenal dengan kuda dan kayu cendananya ini, Umbu adalah sebutan nama depan untuk anak lelaki dan Rambu nama depan untuk wanita, khusus yang berdarah ningrat. Meski lahir di Sumba, Umbu selalu menganggap Yogyakarta adalah tempat kelahiran keduanya. “Yogya pernah membuat saya jatuh hati, rata dengan tanah,” ujarnya.

Lulus SMP, Umbu merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di Taman Siswa, karena terkesan dengan model pengajaran Ki Hajar Dewantara. Tapi sayangnya, dia terlambat mendaftar. Akhirnya, dia sekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Pada masa-masa SMA itulah “racun” puisi menjalari jiwanya, dan seringkali menelantarkan pelajaran lainnya. Saat itu pula dia menemukan seorang guru yang memengaruhi jalan hidupnya, Ibu Lasiah Sutanto, guru Bahasa Inggris, yang kemudian menjadi Menteri Peranan Wanita Pertama Republik Indonesia.

Setiap kali ada pelajaran Bahasa Inggris, Umbu diam-diam menulis puisi. Umbu pun sering ditegur karena dianggap mengganggu proses belajar mengajar. Karena jengkel dengan ulah Umbu, kawan-kawannya mendesak Ibu Lasiah agar menghukumnya dengan cara membaca puisi di depan kelas. Ibu guru yang bijak itu tidak menghukum Umbu, melainkan menyarankan Umbu agar mengirimkan puisi-puisinya ke koran. Dan jika dimuat, teman-teman kelasnya wajib mengritik puisi-puisinya. Ibu Lasiah kemudian menahan puisi-puisi Umbu di laci mejanya, namun diam-diam membacanya, mungkin penasaran dengan apa yang ditulis Umbu. Sejak itu, Umbu makin rajin menulis puisi dan mengirimkannya ke koran.

“Saat itu saya berpikir Ibu Lasiah menyukai puisi-puisi saya. Itu yang membuat saya tambah semangat menulis puisi. Semestinya saya pantas dihukum karena sudah beberapa kali melanggar aturan kelas,” kenangnya.

Setamat SMA, ibunya menyarankan Umbu melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan. Tapi dia menolak dengan alasan lemah dalam pelajaran Ilmu Alam. Dia kemudian mengambil jurusan Ilmu Sosiatri di Fisipol UGM dan Sosiologi di Universitas Janabadra, namun tak satu pun yang diselesaikannya. (Wayan Sunarta, Jurnal Bali, November 2010)

Selama bermukim di Yogyakarta (1959-1978), Umbu memainkan peran penting dalam pertumbuhan sastra di daerah itu ketika menjadi redaktur sastra pada mingguan “Pelopor” Yogya (1966-1975). Selain mendorong publikasi karya-karya penyair dan penulis pemula di ruang “Persada” pada mingguan tersebut, Umbu bersama tujuh orang temannya antara lain Iman Budi Santoso, Teguh Ranusastra Asmara dan Ragil Suwarna Pragolapati (penyair kelahiran Pati yang konon 'hilang' di Gua Langse, pantai Laut Selatan) juga mendirikan kelompok apresiasi sastra Persada Studi Klub (1969). Sementara setelah hijrah ke Bali, Umbu juga melakukan hal yang sama dengan menjadi redaktur ruang “Apresiasi”, halaman khusus sastra di harian Bali Post edisi Minggu yang terbit di Denpasar serta dengan memperkenalkan kegiatan apresiasi sastra keliling daerah dan sekolah, Umbu juga mendorong tumbuhnya bibit-bibit penyair dan sastrawan muda di daerah ini.

Menurutnya, di Pulau Dewata—ia sudah menemukan rahasia bertahan manusia. Lelaki nyentrik yang selalu bertopi dan dikenal sebagai guru dari banyak penyair ini menyebut seluruh semesta raya Bali ada dalam lontar-lontar yang ditulis para pujangga pada masa lalu. ”Lontar itu menyangkut keimanan, sebuah simpul saraf manusia Bali,” katanya (Kompas, 28 November 2009).

Penyair ini selain dikenal nyentrik, misterius dan jarang mau tampil di muka umum, namun muridnya banyak yang berhasil, seperti budayawan Emha Ainun Najib, mendiang Linus Suryadi AG—penyair, dan penyanyi Ebiet G Ade. Berikut ini sajak-sajaknya yang dikutif dari berbagai sumber:

Ibunda Tercinta

Perempuan tua itu senantiasa bernama:

duka derita dan senyum yang abadi

tertulis dan terbaca, jelas kata-kata puisi

dari ujung rambut sampai telapak kakinya

Perempuan tua itu senantiasa bernama:

korban, terima kasih, restu dan ampunan

dengan tulus setia telah melahirkan

berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia

Perempuan tua itu senantiasa bernama:

cinta kasih sayang, tiga patah kata purba

di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri

menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya

Umbu Landu Paranggi

1965

akoe yang kini jauh di rantau masih kepikiran seorang yang telah melahirkan akoe. mengasuh, mendidik dan menghajarkan bagaimana menghormati ke sesama manusia.

akoe yang jauh di rantau masih kepikiran sosok seorang wonderwomen akoe. tanpa lelah, tanpa mengeluh , dan tiada tempat pengaduan yang bisa dia sandarkan terkecuali air mata.

kini

di sini

di kota ini

akoe ingin mendedikasihkan sebuah puisi untukmu perempuan tua ku

Sajak Kecil (I)

dengan mencintai

puisi-puisi ini

sukma dari sukmaku

terbukalah medan laga

sekaligus kubu

hidup takkan pernah aman

kapan dan di manapun

selamanya terancam bahaya

dan kebenaran sunyi itu

penawar duka bersahaja

selalu risau mengembara

mustahil seperti misteri

bayang-bayang rahasia

bayang-bayang bersilangan

bayang lintas bayang

pelintasanku

Sajak Kecil (II)

dengan mempercayai

kata kata kata

yang kutulis ini

jiwa dari jiwaku

jadilah raja diraja

sekaligus budak belian

sebuah kerajaan

purbani

lebih dari napasku

bernama senantiasa

nasibmu

umbu landu paranggi

Melodia

cintalah yang membuat diriku betah untuk sesekali bertahan

karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan

baiknya mengenal suara sendiri dalam

mengarungi suara-suara luar sana

sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja

karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati mengembara

dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya

membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari tergesa berlalu

meniup seluruh usia, mengitar jarak dalam gempuran waktu

takkan jemu nafas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi

dalam kerja berlumur suka duka, hikmah rahasia melipur damai

begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan

selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan

rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana

di rumah kecil papa, tapi gairah bergelora hidup kehidupan dan berjiwa

kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian

yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan

Di Sebuah Gereja Gunung

lonceng kecil yang bertalu, memanggil-manggil belainya

di tengah kesunyian, minggu pagi yang cerah

mereka pun berduyunlah ke sana: warga petani dan gembala

dalam dandanan sederhana, bangkit dari kampung, lembah

bukit dan padang-padang sepi

hidup dan kehidupan mereka di tanah warisan, telah terpanggil

dan lonceng gereja lalang di lereng gunung itu menuntun setia

dalam galau kesibukan mereka sehari-hari tak pernah lupa

panggilan minggu: di sini mereka, dalam gereja lalang dan bambu

—berpadu memanjatkan doa dan terima kasih bagi kehidupan

—bagi kebutuhan hari ini, hari depan datanglah ketentraman

—di antara sesama, pada malapetaka yang menimpa dunia ini

—pertikaian peperangan, damailah di sorga di bumi ini: masmur mereka

keyakinan yang telah terpatri, bersemi, tak terikat ruang dan waktu

juga dalam gereja lalang ini, terpencil jauh dan sunyi

jauh dari genteng, kegaduhan listrik serta derum oto

tak mengenal surat kabar, jam radio ataupun televisi

tapi keyakinan, pegangan mereka adalah harapan dan kerinduan yang sama

mentari dan bulan yang bersinar di mana pun—

dan tuhan mendengar seru doa mereka

Dari Pura Tanah Lot

inilah bunga angin dan tirta air kelapa muda

para peladang yang membalik balik tanah dengan tugal

agar bermuka muka langit tinggal serta dalamku

bercocok tanam mengidungkan musik dwitunggal

dan seruling tidur ayam di dangau pinggir tegalan

atau sepanjang pematang sampai kebatang air

duduklah bersila di atas tumpukan

batu batu karang ini lakon-lakon

rumput dan sayur laut mengirimkan gurau ombak

seraya uap air memercik pedihku

beribu para aku sebrang sana datang

mengabadikanmu pasang naik pasang surut

dan kini giliran asal bunyi sunyiku menggapai puncak meru

kegunung gunung agung tengadah mataku mengail ufuk

tak teduh mengairi kasihku

Mantra Pengantar

ucapan melati

dimekarkan matahari

udara bakti

disemburkan matahati

maka para pengisap sezarrah

gelombang lengang

menanam ini sembahyang dialog

sawah ladang

maka adalah cuka duka

lupa luka

jantung hari

bahagia beta

alpa sendiri

bikin bikin puisi

ucapan melati

pergelaran matahari

udara bakti

persembahan matahati

Lagu Tujuh Patah Kata

(ini versi lain dari sajak “DOA”)

sunyi

bekerjalah

kau

bagi

nyawaku

risau

sunyi bekerjalah

kau bagi

nyawaku risau

sunyi bekerjalah kau

bagi nyawaku risau

sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku risau

risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi

risau nyawaku bagi

kau bekerjalah sunyi

risau nyawaku

bagi kau

bekerjalah sunyi

risau

nyawaku

bagi

kau

bekerjalah

sunyi

kauku

Solitude

dalam tanganmu sunyi

jam dinding masih bermimpi

di luar siang menguap jadi malam

tiba-tiba musim mengkristal rindu dendam

dalam detak-detik, dalam genggaman usia

mengombak suaramu jauh bergema

menggigilkan jemari, hati pada kenangan

bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kekinian

seberkas cahaya dari menara waktu

menembus tapisan untung malang nasibmu

di luar tiba-tiba angin, lalu gerimis berderai

dalam gaung kumandang bait demi bait puisi

Upacara XXXIII

jadi kau merasa payah sejatiku

pukul rata tanahlah

baca bacalah aku sejatimu

di liang liang gua tapamu

di sentil-sentil ujung heningmu

jadi sajak bilang apa saja pada kau

jadi buang diri kau

ALHAMDULILLAH begitu rupa kau

jadi pengembara ...

Terakhir ini adalah kutipan dari bait ketiga sajak Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi itu mengalun syahdu di gedung Ksirarnawa, Art Centre, Denpasar, setahun silam yang diaransemen oleh empat remaja dari Teater SMU 3 Denpasar menjadi musikalisasi memikat diiringi petikan gitar yang memainkan nada-nada Stairway to Heaven milik kelompok musik Led Zeppelin.

Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan

sepi yang lalu dingin gumam berhantam di buritan

Juluran lidah nampak di bawah kerjap mata menggoda

dalam lagu siul, di mana-mana menghadang cakrawala



Ternyata, catatan ini masih perlu sebuah titik. Baiklah saya tutup dengan kata-kata entah milik siapa, “Aku tidak terharu oleh apa pun dan siapa pun, kecuali pada orang yang bertakwa.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun