Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tahun ke 6

29 Juli 2012   08:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29 123 0
‘Ayah sakit keras. Cepat pulang Will’.

Begitu isi surat yang aku terima kemarin sore. Surat, ya memang surat. Surat itu pendek sekali, seharusnya ia mengirim melalui telegram saja, tak harus surat yang memakan biaya perangko, biaya kirim kilat.  Tapi biarlah ia asyik masyuk dengan kesukaannya membuang buang uang untuk mengirim berita yang kurasa cukup penting itu. Tidak cukup penting, aku tak dikirimi uang tiket bus malam, aku harus membelinya sendiri. Bagus sekali. Kalau begitu untuk menghemat waktu aku harus ke terminal sore ini dan membeli tiket untuk naik bus malam harinya, cukup bisa berhemat, naik bis ekonomi pun tak apa, naik bus ekonomi yang jendelanya dibuka dan kalau dini hari akan terasa sangat dingin menggigit pun tak apa apa. Aku tak keberatan. Demi ayah, demi ayah. Aku sudah lupa pada wajah ayah, kutinggalkan kampung bertahun tahun silam, aku sudah lupa bagaimana suasana dan nuansa, terlebih wajah orang tuaku sendiri. Yang sedikit sedikit kuingat hanya kakak, adik, dan satu pembantu rumah tangga kami, namanya... Ratmi. Kucoba menggali gali memoriku dan sumber mata air kenanganku yang sepertinya sudah tertimbun sampah kota yang hitam lagi busuk, sepertinya agak percuma, aku harus cepat berjalan. Ayah sakit keras.

Setelah memasukkan buku buku ke dalam ransel dan satu kantong tidur yang nanti akan kujinjing, aku duduk lagi di meja makan, sambil berupaya keras memikirkan bagaimana kenangan tentang keluarga dan kampung halamanku bisa hampir tak berbekas, aku tak mampu mengingat detail detail bagaimana wajah ayah, ibu, rumahku di kampung, bebek bebek, kambing kambing, sawah, lampu lampu tua, bajak, kurungan ayam, bubu, muda mudi yang bercinta di saung tengah sawah... hmmm ya ya ya, sedikit lagi, sedikit saja lagi, kalau aku bisa mencapai saklar , aku dapat menyalakan seluruh daya memoriku maka, setidaknya, aku dapat mengingat bagaimana ayah bisa sakit keras. Setahuku, seingatku, walau sekarang aku tak bisa mengingat wajah ayah tapi aku ingin dapat mengenali beliau dari sisi sisi lainnya, detail lainnya, sudut lainnya, pojok lainnya, sehingga sepanjang jalan yang nanti akan kulalui ketika aku pulang kampung akan menjadi menyenangkan, menghirup napas dan mengeluarkannya kembali akan terasa segar tak tergantikan dengan udara di tempat yang sekarang kutinggali. Kotor dan berbau, terlalu banyak manusia yang lalu lalang tak tentu arah, terlalu banyak asap asap yang menggantung di udara sehingga sering juga kepalaku kemasukan asap sampai aku tak bisa berpikir jernih ketika bekerja. Wah, membayangkan itu saja sudah menyenangkan di hati ini sekarang, padahal aku belum lagi angkat kaki untuk berangkat.

‘Will, ini kopi.’  . Kusentuh kopi itu untuk mengukur suhunya, masih terlalu panas untuk lidahku, rupanya. Jahanam benar orang ini memberiku kopi panas, lidahku tak kuat dengan yang begini panas.  ‘Oi, beri aku kopi yang sedikit lebih sejuk! Kau mau buat lidahku hangus, hah!!’ . Tak berjawab. Kemana dia sudah menghilang di balik bus yang berjalan itu. Biarlah, matilah saja kau. Aku tak peduli sebenarnya walaupun aku akan diberi kopi atau tidak setiap pagi, aku bisa membuatnya sendiri, dan kuanggap itu penghargaan yang pantas untukku sendiri. Orang lain, aku tak banyak ambil peduli, sepeduli apa mereka jika  hanya mengambil keuntungan dariku? Apa ada yang benar benar menaruh ketulusan dan kejujuran di atas kepentingan kepentingan? Maka itu bisa dibilang aku menarik diri. Di tempat kerja pun aku hanya memasang muka muka yang, jika sudah waktunya, akan kusetel ekspresi sedemikian rupa. Begitu jika dengan sikap melayani manusia manusia yang harus dilayani, aku bekerja saja dengan menutup kuping, menutup mata dengan menyisakan jari jari untuk sekedar mengintip, respon apa yang mereka yang kulayani, akan hasilkan. Ah, nyatanya aku bisa bertahan cukup lama, sudah instingku untuk hanya menerima apa yang sudah menjadi hakku. Lain tidak, lain biar saja berbicara di belakang punggung punggung mereka yang berwarna hijau kehitaman, yang kukira, berasal dari ludah ludah diantara mereka sendiri.

Kulirik jam kecilku di samping tempat tidur, sudah menjelang siang, kupenuhi ranselku lagi dengan buku buku, dan kuikat lebih kencang kantung tidurku. Kujepit rokok di mulut setelah lelah memuat barang barang demikian, kuhembuskan dan setiap kali kutatap asap asap yang keluar dari mulut, andai saja tubuhku bisa seperti asap, berkerumun lalu menghilang entah kemana. Tubuhku bisa menyalip nyalip diantara roda roda bus dan angkutan umum yang lewat, tubuhku bisa masuk ke dalam mobil mobil itu, tubuhku bisa kuajak bersemayam diantara kepala kepala jenuh para supir. Tubuhku bisa kujejalkan di antara mata mereka yang lelah mengantuk. Tubuhku, yang kini kembali lagi pada diriku, tak akan pergi, memang. Aku hanya berimajinasi andaikata tubuh ini bisa dibebaskan sesuka hati manusia dan dibiarkan bebas melayang layang diantara langit dan bumi yang suatu kali akan runtuh.

‘Dinnnnnn.... tinnnnnn, hoi mas! Maju dikit dongg!!’ ,  ‘Sebentar lagi, tunggu penuh bang!’ . Ribut, makian dan sautan mereka tak sampai disitu saja, mereka masih meneriakkan kata sumpah serapah yang lain, syukurlah mereka tak pernah turun dari mobil mereka untuk membuang waktu melayangkan kemarahan kemarahan diantara mereka sendiri. Pernah terjadi seperti itu, tapi tak sering. Aku takut ketika itu terjadi, pernah terjadi di depan rumahku persis, supir sama supir, meninju muka mereka yang sudah kuyu, membanting tubuh mereka yang sudah lelah dibebat derita, wah mereka bergulat dengan seru, saling tindih, saling piting, saling mengeluarkan hasrat hasrat yang sudah banyak tertunda akibat kerja keras. Aku? Kalau kau tanya bagaimana aku, aku menutup kuping, dan memejamkan mata, sambil gemetaran memunggungi mereka, aku tak dapat berhenti ketika salah seorang, entah siapa, menepukku ‘Will! Kau tak apa apa, sudah tak ada siapa siapa disini, lekas pulang, nanti kau masuk angin, nanti kau mati! Ini rokok.’  Sesudah itu segera saja aku menyambar rokok yang ditawarkan, keadaan waktu itu sudah gelap, hanya lampu lampu penerang, sudah sepi.

Ahhh sia sia saja makanan ini dibuat, sungguh seperti memakan bangkai tikus, bau dan tak sedap, seperti menelan ludah sendiri rasanya. Beberapa hari ini setelah aku selesai bekerja ada yang suka memberiku makanan, lain lain wajah dan sosoknya. Ada yang berwajah ibu ibu memakai jilbab dan senang bergosip: ‘Will, kemarin aku lihat suamiku bertukar sapa dengan perempuan di telepon, aku tak tahu itu siapa, aku hanya melihat dan mendengar bagaimana suamiku bermuka mesra sekaligus mesum! Aku marah dan serasa ingin menggamparnya! Tapi.. kudiskusikan dulu dengan Bu Siska.....’   Lain hari ada lagi bapak bapak dengan kumis bapang dan mata merah membawa bungkusan nasi: ‘Kurang ajar benar itu si Tholip! Berani beraninya kutu kupret itu mengambil lahanku, kau ingat aku sakit dua hari lalu Will? Nah si Tholip yang menyambar saja itu parkiran! Aku dengar dari Buik, dan ia tak menyetor, maka kudatangi saja dan kukepruk mukanya! Lihat, apa ini Will? Bagus kan? Indah kan?’ katanya sambil terkekeh, dan itu adalah telinga. Yang sudah mengering. Bapak itu yang memberiku makanan yang seperti sampah dan berbau busuk itu, belakangan kuketahui makanan itu, salah satu lauk pauknya, lidah. Langsung aku hajar dengan air dingin, tak apa, cukup mengenyangkan perutku yang dimabuk keroncong. Sehari hari, ada saja yang menyempatkan waktu membawakanku makanan, dan itu tak terkecuali, aku tak perlu banyak mengeluarkan uangku, makan sehari satu kali saja sudah lebih dari cukup untuk kugunakan bekerja.
Panggung. Ayah sakit keras. Kampung halaman yang terlupakan. Keberadaan. Eksistensiku. Centang-prenang. Kupejamkan mata dan kutarik semua masuk ke dalam visiku yang lain. Visiku yang tidak kabur, saat ini mengabur karena aku hampir tak pernah mengonsepkannya dalam satu ide yang kokoh, gagasan yang nyata, sebelum aku mendapat surat darinya. Aku lihat saja ke depan, masih ramai, masih riuh, masih meludah disana sini orang orang yang terkena asap dan jelaga. Orang orang yang berteriak menjual di tengah sengat matahari, dianggapnya lalim, dianggapnya dewa agung, karena memberi mereka kehidupan dan kelihaian, untuk terus berteriak teriak.  Sekali lagi aku berpikir tentang ayah, seperti apa sosoknya, aku lagi lagi tak dapat mengingat dan sungguh sakit kepalaku. Otot dan sarafku menegang dan menyemburkan bara panas di dalam. Lebih baik aku bekerja sambilan dulu,  masih cukup waktu sebelum mendapat uang membeli tiket dan berangkat malamnya.

Kalau bisa disebut kerja, inilah bekerja, karena didasari dengan rasa cinta yang mendalam, diliputi dengan rasa suka yang bercahaya, lembar demi lembar uang yang kudapat dari sini kuanggap sebagai peluruku untuk terus menusuk hati orang orang yang melintas. Aku malah senang ketika mereka meresponku dengan rasa jijik sekaligus penasaran, sambil suaraku tambah kukeraskan!

Saksikanlah !!
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik.


Kubaca patah patah dengan gerakan badan yang menderu deru, kertas itu kulambai lambai dengan semangat, tak sampai mengenai kepala orang. Ketika ada yang benar benar memerhatikanku dengan antusias, dan ketika aku selesai membacakannya, pernah ada seseorang menghampiriku: ‘Mas, puisi sampean sangat indah, mas sendiri yang buat?’ , ‘Sayangnya bukan mas, puisi seindah ini, dibuat dengan darah luka oleh Iwan Simatupang.’  Seseorang itu hanya ber ‘ooo’ . Kemudian ia melenggang pergi lagi, naik angkutan umum, hanya tertinggal bayangannya, aku mau membacakan puisi lagi untuk bayangannya.

orang-orang nonton televisi, palu. nonton kematian yang di-
buka di jalan-jalan, telah bernyanyi bangku-bangku sekolah,
telah bernyanyi di pasar-pasar, anak-anak kematian yang
mau merubah sorga. manusia sunyi yang disimpan waktu.


Dan bayangan itu bertepuk tangan menikmati pertunjukanku.
Aku masih bekerja lagi hingga 2 jam kemudian, oh ya, seseorang yang tadi melihatku memberi uang 10 ribu, lumayanlah untuk beli gorengan. Kembali aku terpikir tentang ayah dan sakit kerasnya. Aku harus cepat mempersiapkan diri jikalau suatu saat aku akan seperti ayah yang sakit keras, apakah aku bisa berjalan jalan lagi? Setidaknya akan kulepaskan jiwaku untuk berjalan jalan mencari tubuh tubuh yang sunyi, di lingkunganku sepertinya banyak tubuh yang sunyi atau tubuh yang rusak tanpa jiwa, biarlah kusinggahi walau ragaku tak lagi merekah, seperti ayah sekarang. Tapi aku tak ingin begitu, biarlah aku berjalan dan terus berjalan sambil membawa kertas kertas berisi Iwan, Afrizal, Chairil, Nietzsche,  Whitman, Beckett, Kafka, dan semuanya yang gila. Biar aku menjadi lakon untuk panggungku sendiri, biar aku menjadi orang brengsek, orang wanita, orang yang imbisil, orang lumpuh, orang buta, nenek dan kakek tua, dan macamnya lagi. Aku tak keberatan. Banyak orang orang yang tak sadar peran yang mereka mainkan sendiri, mereka sungguh aktor dan aktris pertunjukan yang baik, akting mereka layak diacungi jempol, sejatinya dunia adalah lembaga pelatihan yang baik untuk menempa aktor calon pemain drama yang menuntut improvisasi. Sebab kehidupan senantiasa butuh kegesitan ditengah sengkarut yang melumurinya.  Wah, uang segini sudah cukup untuk beli tiket sepertinya, sudah dulu ah. Keringatku basah menempel pada dahi, tapi aku puas, selalu puas, senang menghantam muka muka mereka yang lewat, muka muka rata mereka, hati hati mereka yang kering akan siraman kata kata magis yang sering kubacakan.

Kubawa satu saja baju, yang penting adalah buku buku. Peralatan mandi, tak perlu sama sekali, aku tak akan membawanya, mereka di kampung tak memakai sabun atau shampoo untuk membersihkan dirinya. Desaku, sejauh ingatan menapak,  berhasil kulalui samar samar, menyediakan segalanya untuk kebersihan. Tasku sudah cukup berat, celana dan kaos sudah kukenakan, sepatu sudah kuikat dengan rapi, topi pet, mantel yang kusampirkan di bahu, kantong tidur yang kujinjing. Aku menuju loket bus malam PO.Baru Klinting, memesan tiket menuju desa kewangen, sepertinya daerah Purworejo, maka aku bilang Purworejo kepada tante yang tak kukenal di balik loket. Berangkat jam 7 malam, aku menunggu di tempat duduk, menghisap rokokku yang sekarang berwarna putih.

Tertidur. Rupanya aku tertidur, sekarang pas jam 7, berarti sudah 2 jam aku tertidur. Buru buru aku menuju bus malamku, kuinjak tangga kecil untuk naik, kukembangkan senyumku yang cukup masam, jika kulihat sendiri di cermin, dan ketika itu sebuah tangan mengembang, menghentikan langkahku. ‘Will, maaf, sampai disini saja, sudah cukup, turun kau.’ Nada yang diucapkan dingin saja, aku memandang matanya sejenak, tampak acuh tak acuh dan cukup sejuk. Tapi aku tak bisa terima, sudut mulutku sedikit bergetar, mataku semakin nyalang memandang, dan hampir saja tinjuku mengepal, dan ia sudah mendorongku dengan kasar: ‘Turun!!! Dan ini untukmu!’ , aku terjerembab jatuh dan ia melempar sebuah benda tipis dengan kasar ke mukaku, tapi karena benda itu tak punya berat  maka melayang layang dulu selama beberapa menit di udara, kuperhatikan gerakannya yang mengagumkan, mendayu dayu  tertiup angin. Dan akhirnya jatuh ke ke atas hidungku, kuambil dan kubaca.

Perih. Perih, terkena pisau tajam memotong urat nadi perasaanku, terpaku pada satu kata: meninggal. Apa kata kernet tadi? ‘Pulanglah, tapi jangan bersamaku, aku tak sudi. ‘ Jadi ayah sudah meninggal? Kenapa ayah meninggal? Kenapa ayah tak mau menungguku, kenapa ayah langsung menyerah pada nasibnya, kenapa kenapa kenapa kenapa kenapa. Tiba tiba hitam.

‘Sudah tahun ke berapa ini?’

‘Tahun keenam, pak’

‘Dan ia masih seperti ini saja, sungguh sungguh manusia tragis’

‘Ya pak, lihat saja punggung tangan Sarmat sudah jadi hitam sekali karena setahun sekali harus memukuli Will’

‘Suruh ia berobat, seperti biasa’

‘Baik pak’

‘Mana Buntar? Ia ada di tempat Will kah?’

‘Ya pak, ia masih di sana, mengikat Will’

‘Aku mau kesana’

‘Saya antar pak’

‘Tidak usah, aku tahu tempat kandang babi itu, di dekat wc masjid kan.’

.....

‘Will belum sadar, Tar?’

‘Wah sadar bagaimana Pak, Sarmat itu kalau sudah memukul orang keras sekali, Will sekalipun yang tiap tahun dipukuli pingsan dua hari tak akan bangun bangun, hahaha’

‘Ah benar juga kau’

‘Kira kira bapak bisa memprediksi sampai kapan Will singgah dan menggila disini?’

‘Tak tahu aku, rumah sakit jiwa yang kuhubungi tak pernah mau menerimanya, mereka bilang Will masih sanggup mengenali lingkungan sekitarnya dan berinteraksi, tak pernah menganggu orang.’

‘Dalih mereka selalu seperti itu, pak’

‘Ini terus menerus menjadi urusan kita Tar, setiap tahun kita harus berpura pura mengirimkan surat dari –entah-siapa- yang dikirim dari kampungnya, dan ia selalu datang pada hari ini dan menaiki bus yang sama. Aku hanya tak tahu sampai kapan aku akan menulis surat palsu itu, ini membuatku selalu bimbang.’
‘

Yang penting Sarmat selalu berbaik hati meminjamkan tempat ini untuk kita, setidaknya kita selalu bisa mengawasinya ketika ia datang untuk menaiki bus malam itu dan mengacau, seharinya ia  hanya membaca puisi puisi di terminal dan merokok di pojok situ, tak perlu dikuatirkan secara berlebih.’

‘Ya, kau benar , Tar’

‘Pak, berdoa saja setelah ini Will tak mengacau lagi di terminal kita, jangan sampai peristiwa 6 tahun lalu itu terulang lagi pak.’

‘Ya, dan memang mengerikan betul anak itu. Entah apa yang dia racaukan di dalam bus itu sehingga terjungkal.

Mulutku rasanya asin dan getir sekaligus, kepalaku pusing dan sakit sekali, tapi aku mengingat sakit ini, sakit yang kualami tahunan, rasanya tak pernah berubah, rasanya yang dari setahun lalu masih membekas kini menorehkan rasa yang baru lagi tetapi sama. Aku diikat, tak terlalu kencang , aku bisa melepasnya, tentu saja, ini tempatku, mereka tak mampu memenjarakanku. Tempatku yang kudiami 6 tahun, tempatku menunggu. Menunggu... apa? Setiap kali sehabis dihantam aku jadi mengingat jelas semuanya, ayahku sakit keras karena aku. Aku menggagahi Ratmi, pembantu rumah tangga kami di kampung. Aku diusir oleh ayah dan tak lama ia sakit keras karena shock , aku disuruhnya pulang. Aku tak mau pulang jika mendapat dirinya masih hidup dan bergerak walau hanya tergolek tak dapat bangun di tempat tidur, aku tak sudi melihat mukanya yang sudah berkerut itu, membayangkan mukanya waktu mengusirku sungguh menjijikan. Kini, ia sudah mati. M-A-T-I. Aku menunggu tua bangka itu mati, tua bangka yang menghanguskan harga diriku. Aahh... Aku kini bisa mengingat jelas, tidak seperti tahun tahun lalu ketika dihantam aku tak mendapatkan buah pikiran yang baru. Kini pikiranku segar sekali, sekarang segalanya telah normal, ingatanku sudah pulih benar. Aku tak perlu singgah dan menunggu lagi disini, di terminal busuk ini. Dulu kupilih terminal ini karena dari sinilah aku pertama kali ingin pulang, dan sebelum bus berangkat aku menatap langit dan merenung, tepatkah keputusanku untuk pulang? Setelah dihina dengan keji? Dan ia mengusirku? Harga dirinya sendiri telah mati karena menarik kembali ucapannya, lemah ia karena sakit. Di tengah perjalanan, batinku begitu kuat berucap dalam hati, dan harus kugemakan di dalam sini. Dengan suara nyaring aku berteriak menuntut pembebasan dari lingkaran setan penghinaan dan kuingin dia mati. Dan, mulai saat itu, kubuat orang orang di dalamnya morat marit terjungkal. Akan kugegarkan orang orang yang datang dan pergi di terminal ini, kubisiki melalui sukma mereka, bahwa kematian dan balas dendam adalah prinsipku. Sampai hari ini keinginanku yang utama akhirnya datang. Sekarang aku mau pulang, menuju pusara ayahku.

‘Ayah sakit keras Cepat pulang, Will’ (11 Januari 2000. Will terus menyimpan surat ini, dan setiap tahunnya, jika harinya tiba, ia pasti membaca surat ini.)

‘Ayah sudah sehat, kau tak perlu datang kesini’ (Setiap tahun dikirim kepala terminal, surat palsu, untuk mencegah Will menaiki bus PO. Baru Klinthing)

‘Ayah sudah sekarat. Mengapa kau belum datang juga, Will? (23 Juni 2005, Will tak pernah menerima surat ini)

‘Ayah meninggal, Will’  (31 Maret 2006, dibawa dari kampung dengan perantara kakaknya, yg menjadi kernet bus malam PO.Baru Klinthing. Will tak ingat wajah kakaknya saat berkata ‘Pulanglah, tapi jangan bersamaku, aku tak sudi.)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun