Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Sendiri Susuri Jogja-Sumbawa-Jogja dengan Onthel (Ringkasan)

9 Oktober 2011   19:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:09 596 0
[caption id="attachment_134820" align="alignleft" width="300" caption="Bersama anak muda Asembagus di TN Baluran, Situbondo-Jawa Timur"][/caption] Pegal dan lelah, dua kata itulah yang kurasakan setelah dua hari lebih mengayuh sepeda. Kini aku telah tiba di Kota Nganjuk, kota Adipura. Hari ini aku mulai perjalanan lebih pagi daripada biasa. Dingin angin pagi, tidak menggangguku menikmati panorama sawah di kiri dan kanan jalan sejak POM Bensin Moneng (tidak jauh dari pintu gerbang masuk kabupaten Madiun) pada jam 5.20 tadi. Pondok-pondok kecil dengan latar belakang permadani hijau sawah, serta siluet matahari pagi sungguh terlihat indah. Kadang ada burung Sriti bermain diatas tumpukan jerami yang kering Aku sudah beristirahat sebanyak dua kali sejak start, dan di warnet ini adalah istirahat yang ketiga. Jam 10 siang, saat aku tiba di Kota Adipura ini. Suasananya bersih dan terkesan rapi, walaupun lalu lintasnya tidak terlalu ramah untuk pengendara sepeda, apalagi dalam suasana mudik seperti sekarang Hari sebelumnya, Jumat-26 Agustus 2011 aku mulai start jam 6.40 pagi. Sejak mulai jalan dari POM Bensin di depan pasar Jaka Tingkir, Sragen, sampai berhenti untuk istirahat malam di POM Bensin Moneng, Kab. Madiun tak terhitung berapa kali aku istirahat. Hari Jumat lalu aku singgah di Posko Lebaran gabungan antara Polres Sragen, Puskesmas Sragen, Pramuka, Dinas Perhubungan Sragen, dan TNI. Disana aku minta Peta Jawa tengah dan sekalian cek kesehatan. Ternyata tensi darahku turun sampai 100, kata Dokter aku kurang istirahat, lalu aku diberi beberapa multivitamin dan pereda lelah. Sambutan dari semua petugas posko cukup meriah. Mereka antusias bertanya sehingga membuatku makin semangat. "Semangatnya pantas ditiru" Ujar Pak Polisi petugas posko lebaran itu. Kata-kata itu membuatku terharu dan makin semangat. Hari pertama, Kamis 25 Agustus 2011 aku start pada jam delapan. Mundur dua jam dari waktu yang sudah kurencanakan. Padahal awalnya akan ada pelepasan dari depan kampus oleh teman-temanku, tetapi karena jadwalnya mundur, maka acara pelepasan itu ditiadakan. Jam satu malam, tanggal 26 Agustus, aku masih mengayuh sepeda. Aku sudah sampai di Sragen, dan bermaksud ke Polres Sragen untuk membuat Surat Jalan dari Kepolisian. Hari pertama itu sangat melelahkan. Akhirnya aku beristirahat malam pada jam 02.00 WIB setelah bersantai sejenak di alun-alun kota Sragen. Perjalanan yang ibarat mimpi ini akhirnya kulaksanakan juga. Setengah bulan yang lalu aku mulai merancang dan mempersiapkannya. Berbagai usaha kulakukan. Berbagai tanggapan juga kuterima. Kini, tiba-tiba aku sudah ada di Kota Nganjuk dalam rangka mengunjungi Sumbawa, sebagai tempat persinggahan terjauhnya. Hampir disetiap posko yang kusinggahi, ketika kujelaskan maksud dan asal-usulku ke posko itu, petugas selalu menanyakan apa motivasi atau tujuanku mengunjungi Sumbawa. Padahal kampung halamanku di Jambi, dan sekarang saatnya mudik, mengapa aku tak memilih mudik ke Jambi saja? Dan Jawabanku selalu itu-itu saja, terlalu sederhana. Kukatakan aku hanya ingin melihat Indonesia lebih luas lagi. Melihat masyarakatnya, keindahan alamnya, sosio-kulturalnya, kebudayaannya. Sumbawa dan Lombok yang memiliki pantai-pantai yang indah, kata banyak orang lebih indah daripada pantai-pantai di Bali. Aku ingin melihatnya langsung, begitu jawabku. Kini sudah sudah dua hari lebih perjalananku menuju Sumbawa. Masih ada sekian hari lagi di depan. Barangkali aku akan berlebaran di Bali atau di Banyuwangi dan sekitarnya (jika tidak ada penyeberangan ke Bali pada H-1 ID). Pada teman-teman, sanak saudara semua, dan keluargaku. Selamat merayakan Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin M2 Net Nganjuk-Jawa Timur Sabtu, 27 Agustus 2011 10.34 Am ****************************** [caption id="attachment_134821" align="alignleft" width="300" caption="Di Pantai Pasir Putih, Situbondo-Jawa Timur"][/caption] Setelah menempuh perjalanan selama 18 hari sejak tanggal 25 Agustus lalu, akhirnya kini tanggal 12 September aku sudah tiba kembali di Pulau Jawa. aku ada di Kecamatan Kraksaan, Probolinggo, dalam perjalanan pulang ke Jogja. Sebelumnya saat berangkat aku telah mencapai Gilimanuk, Bali pada tanggal 31 Agustus pada pukul 12.55 WITA,  Pelabuhan Lembar, Lombok pada tanggal 02 September pukul 21.00 WITA, dan Poto Tano, Pulau Sumbawa pada tanggal 03 September 21.15 WITA. Perjalanan pulang kembali ke Jogja aku mulai pada tanggal 05 September 2011 dari Dompu. Sampai di Pelabuhan Kahyangan, Lombok pada tanggal  06 September pukul 19.48 WITA, Tiba di pelabuhan Padang Bai, Bali pada tanggal 08 September pukul 22.43 WITA, dan tiba di Pelabuhan Ketapang, Jawa Timur pada tanggal 12 September pukul 19.30 WIB. Perjalanan di Pulau Sumbawa tidak sepenuhnya ku lakukan dengan bersepeda. Hal ini karena aku akan menemui teman di dompu, yang akan kembali ke Jogja pada tanggal 05 September. Jika perjalanan ke Dompu itu ku tempuh dengan sepeda, kemungkinan aku akan sampai di Dompu pada 07 september 2011, karena jalan ke Dompu dalam keadaan rusak akibat perbaikan dan juga tanjakan yang begitu banyak, jadi tidak mungkin perjalanan kesana akan selesai dalam sehari. Alhasil, sepeda ku titipkan di rumah penduduk di daerah Utan, Sumbawa Barat dan aku pergi ke Dompu dengan Bus (Bodohnya, aku bahkan tidak kenal dan tidak tanya siapa nama bapak yang ku titipi sepeda itu. Untungnya aku ingat lokasinya). Pulang dari Dompu, aku sempat bersepeda ke Taliwang dan bertemu dengan teman disana, setelah itu perjalanan ku lanjutkan ke Pelabuhan Tano. Alam Sumbawa terlihat sangat eksotik. Dengan warna coklat gersang yang dominan. Maklum saat itu disana sedang musim kemarau, jadi hampir semua tanaman di bukit-bukit mengalami kekeringan. Tapi justru itulah kunci utama keindahannya. Sumbawa, menurutku punya kelebihan dalam hal pariwisata. Sumbawa punya dua pemandangan yang ebrbeda di waktu yang berbeda. Kita dapat mengunjunginya kapan saja jika mau. [caption id="attachment_134822" align="alignright" width="300" caption="Di Pantai Gili Trawangan, Lombok"][/caption] Banyak sekali cerita suka dan duka dalam perjalanan bersepeda ini. Mulai dari melihat tempat-tempat wisata seperti situs dan museum Trowulan di Mojokerto, Melihat pantai-pantai yang indah seperti Pasir Putih dan Watu Dodol di Jawa Timur, Merasakan terik dan dinginnya Hutan di Taman Nasional Baluran saat siang dan malam, berwisata dan berjemur di pantai yang terkenal seperti Pantai Kute, Bali dan Pulau Gili Trawangan di Lombok, Menyaksikan ramainya lebaran Ketupat di Narmada dan Senggigi, Lombok, Menyaksikan banyaknya sapi dan kuda di Sumbawa, Melihat orang menambang dan mengolah emas di Taliwang, Sumbawa Barat, Menempuh jalan dengan terik matahari luar biasa di pulau Sumbawa ditemani bukit-bukitnya yang eksotik, panas, dan kaya akan mineral bernilai tinggi. Ada suka tentu ada duka. Duka ini termasuk tantangan dan ujian untuk kesabaran selama perjalanan.Tetapi, menurutku pribadi, kedukaan itu bukanlah untuk membuat sedih. Tetapi melecut semangat untuk tidak menyia-nyiakan perjalanan tersebut. Aku harus dapat menggali sebanyak-banyaknya makna dari perjalanan ini dan membuatnya menjadi bermanfaat bagi orang banyak. Di Bali, Aku kehilangan kamera pocket saat beres-beres setelah tidur di Pantai Kute pada tanggal 02 September pukul 05.45 WITA. Aku mencoba melaporkan pada petugas keamanan, tetapi hasilnya nihil. Maklum pengunjung pagi itu sudah lumayan banyak. Pada perjalanan pulang,sekali lagii aku kehilangan plastik (kresek) berisi oleh-oleh yang ku beli di Narmada, Lombok. Kehilangan itu baru kusadari saat sampai di Gilimanuk saat ingin menyeberang ke Ketapang pada tanggal 11 September pukul 17.30 WITA. Aku sempat berpikir untuk menyusuri jalan sebelumnya. Tapi kuurungkan segera karena rasanya mustahil untuk menemukan bungkusan itu lagi. Duka yang paling besar mungkin adalah lebaran jauh dari keluarga. Pada tanggal 31 Agustus saat sebagian besar umat Islam di Indonesia merayakan Lebaran Idul fitri bersama keluarganya. Saat itu aku sedang berjuang menaklukan meter demi meter hutan di Taman Nasional Baluran. Ketika itu aku bangun jam 6 pagi, agak kesiangan dari rencana sebelumnya. Aku tidur di Pos Waru III milik Dinas Kehutanan di TN Baluran itu. Aku sampai di perkampungan terdekat di daerah Alas Rejo, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, ketika masyarakat disana baru saja selesai Shalat Idul Fitri di Mesjid. Saat itu mereka sedang menyalakan petasan tanda perayaan Lebaran. Sayang sekali, aku tidak sempat Shalat Idul Fitri di Mesjid terdekat. Alhasil, aku pergi ke POM Bensin terdekat dan mandi disana. Malam-malam sebelum tanggal 31 Agustus itu, di setiap kota di Jawa Timur sangat terlihat nuansa bulan Ramadhan. Sholawat, takbir dan suara tadarusan bergema dimana-mana. Orang-orang hilir mudik dengan berpakaian khas umat Islam. Sebagai pemeluk agama Islam, walaupun bukan pemeluk yang taat, aku juga merasakan nuansa yang sama. Aku juga menginginkan hal yang sama, yaitu dapat merayakan bulan penuh berkah itu di dekat keluarga dan teman-teman terdekat, serta orang-orang yang dicintai. Tapi apa daya, aku sedang di jalan. Jadinya aku harus puas menikmatinya bersama sepedaonthel yang setia dan orang-orang baik yang ku temui di jalan.Orang-orang baik itu salah satunya adalah Pak Sei dan Pak Rendy. Mereka berdua itu adalah penjaga di pos Waru III., salah satu dari lima pos jaga di jalan raya TN Baluran, Situbondo. Sejak jam delapan malam tanggal 30 Agustus 2011 itu aku menginap di PosWaru III untuk beristirahat. Sebelumnya sejak jam lima sore aku sudah bermandi peluh, menahan dingin malam, melewati tanjakan berteman bintang di Jalan Raya yang sangat sepi itu. Tiga jam kulalui untuk sampai di pos Waru III. Tidak ada rumah penduduk satu pun selain lima buah pos itu. [caption id="attachment_134831" align="alignright" width="300" caption="Jalan Raya TN Baluran, 20 Km hanya hutan tanpa pemukiman"][/caption] Mereka menyambut dengan ramah. Mengajak bicara, menghidangkan makanan yang ada dan makan bersama. Kami bertiga menikmati malam-malam yang sepi dimana hanya ada suara daun yang bergesek dengan angin dan sesekali suara kendaraan melintas. Di Pos itulah pertama kali aku makan kue lebaran. Roti Khong Guan kalengan, sama persis seperti yang sering ku makan jika pulang kampung. Pak Sei dan Pak Rendy adalah salah satu dari sekian banyak pengabdi negeri ini. Anak istri mereka tinggal di kampung dan malam itu mereka masih harus tetap kerja menjaga pos di TN Baluran. Aku bangga bisa bertemu dengan orang sesederhana mereka itu. Mereka tampak polos dan bersahaja. Selain cerita suka dan duka, juga ada cerita yang menurutku konyol tapi seru. Di Bali, aku dua kali di kejar anjing Kintamani saat melakukan jalan malam. Dua tempat itu adalah di Tabanan sebelum desa Rambut Siwi dari arah barat, dan di Jalan By Pass antara Klungkung-Gianyar pada saat perjalanan dari Padang Bai ke Denpasar. Di Jalur By Pass itu dua ekor anjing mengejar sambil menggonggong sampai sekitar 300 meter. Mereka begitu bersemangat mengejarku, sama halnya denganku yang begitu cepatnya mengayuh sepeda. Aku Hampir menabrak pembatas jalan karena konsentrasi pada jalan agak buyar akibat ketakutan yang luar biasa. Mendengar getaran yang berlebihan itu barulah dua ekor anjing sialan itu berhenti mengejar, namun sampai aku jauh mereka masih menggonggong. Sementara di Tabanan, Kejaran dan gonggongan anjing menyebabkan ban depanku terperosok ke lubang dan mengakibatkan rantai sepeda lepas. Perlahan sepeda berhenti di depan anjing-anjing lain yang ikut-ikutan menggonggong. Matilah aku, ujarku dalam hati sambil mata melirik anjing-anjing itu. Syukurlah, mereka perlahan malah mulai diam. Saat aku pelan-pelan menjauh, mereka juga kembali ke depan rumah tuannya masing-masing. "Sudah cukup perkenalannya" mungkin seperti itu yang ingin dikatakan anjing-anjing itu Cerita konyol dan lucu lainnya adalah saat aku menyeberang ke Pulau Gili Trawangan, Lombok. Aku menyeberang dengan bantuan POL AIR, oleh sebab itu aku bisa menyeberang tanpa bayar tiket. Lumayan menghemat dua puluh ribu. Karena gratis itu, aku secara sukarela duduk paling depan, dekat haluan dan tidak memakai bangku. "Dapat menyeberang gratis saja sudah syukur" begitu pikirku. Ternyata ditengah perjalanan, posisi dudukku itu membawa malapetaka bagi diriku dan sepedaku. Di tengah selat antara Lombok dan Gili Trawangan ternyata ombaknya sangat besar. Maklum saat itu sudah siang, jadi wajar arus dan ombaknya besar. Speedboat kecil itu terombang-ambing oleh ombak yang kadang sama tinggi dengan badan speedboat. Beberapa penumpang perempuan yang ketakutan berteriak-teriak histeris. "La ilaha illallah Muhammdarrasulullah...." seru penumpang perempuan berjilbab yang ketakutan. Aku melihat wajahnya, begitu cemas, sambil memegang sisi speedboat yang hampir menyentuh air. Perempuan yang lain bershalawat "Allahumma shalli ala muhammad....." teriaknya dengan keras. Sampai aku yang duduk paling depan ikut memandang kepadanya, sambil mengimbangi gerakan speedboad yang kadang miring ke kiri lalu dengan cepat berbalik miring ke kanan. Beberapa saat di Speedboat itu diriuhkan oleh suara takbir dan shalawat dan orang-orang yang menyebut nama Tuhannya keras-keras. Tak lebih dari dua puluh menit, dua penumpang yang ketakutan itu tertidur. Entah kenapa. Aku tertawa dalam hati, ada rasa takut dan lucu yang bercampur aduk. [caption id="attachment_134835" align="alignleft" width="300" caption="Sepeda Onthel ikut menyeberang ke Gili Trawangan"][/caption] Selanjutnya adalah jatahku. Ombak yang semakin besar membuat haluan terhempas berulang-ulang. Akibat dari hempasan itu adalah air laut yang muncrat sampai ke bagian dalam speedboat, terutama bagian depan. Kali ini aku harus rela disiram oleh ombak selat Lombok-Gili Trawangan itu dengan air asin. Mau mengelak kemana? didalam sudah penuh dengan penumpang dan barang. Satu-satunya jalan adalah mengatur posisi sebaik mungkin, mengamankan barang-barang yang rentan terhadap air dan berharap ombak besar tidak datang lagi. Namun ternyata doaku tidak makbul siang itu. Ombak besar berkali-kali menghantam haluan speedboat. Air laut berkali-kali muncrat ke dalam speedboat sampai aku dan satu roang lai yang duduk di depan basah kuyup. Betul-betul basah sampai ke celana dalam sekalipun. Tak terbayang sepedaku yang juga ikut mandi air asin itu, pastilah nanti menderita karena karat. Aku, sepeda, satu orang yang duduk didepanku, satu orang kernet speedboat didepan dan satu lagi yang berdiri disampingku harus rela kebasahan karena air asin karena memang tidak ada lagi tempat untuk berlindung. Sampai di Pantai Gili Trawangan, aku merasa sangat lega. Tempat pertama yang kucari bukanlah penginapan atau tempat makan, tetapi pantai yang terbuka untuk menjemur pakaianku yang basah. Sampai di pantai, segera ku turunkan sepeda dari Speedboat dan kubereskan barang-barangku. Sambil menikmati indahnya Gili Trawangan itu, aku menyusuri jalan. Singgah di pos polisi untuk ganti pakaian, namun apa mau dikata, semua pakaian termasuk yang didalam tas juga basah. Aku terus berjalan dibibir pantai, melihat  kanan jalan, mencari-cari tempat paling panas dan pas untuk berjemur. Dua puluh menit mengayuh sepeda diatas jalan pasir, akhirnya tempat itu kutemukan. Aku menjemur pakaian dan buku yang basah di depan sebuah cafe yang mewah, menghadap kearah laut dengan laguna yang tampak berwarna biru kehijauan. Disana ada beberapa bule sedang menyelam di perairan dangkal mencari-cari karang, ada bule yang berjemur diterik matahari sambil membaca buku, ada yang lalu lalang dengan sepeda sewaannya dan ada pula yang bersantai di cafe yang terlindung oleh gazebo dengan atap daun kelapa.  Sementara aku tampak sibuk membentangkan pakaianku diatas pasir. Membentangkan matras, menjemur kertas, dompet, tas, sepeda, dan semua yang basah, kecuali celana dalam. "Bule menjemur badan, aku menjemur pakaian" ujarku menghibur diri dengan lelucon. Beberapa bule memandangiku. meihat kelakuanku yang aneh dipantai itu. Begitu juga dengan beberapa petugas cafe yang terlihat asli Lombok. Yaahh..bukan mereka saja yang merasa aneh dengan hal itu. Aku sendiri juga merasakan hal yang sama. Tapi itulah yang bisa kulakukan saat itu. Dua orang bule perempuan yang lewat dengan sepeda menyapaku dengan peragaan juga. Dia bertanya sesuatu, tapi dalam bahasanya sendiri. Aku tak paham bahasanya. Mirip bahasa Spanyol (latin) yagn sering kudengar di TV waktu kecil. Ku coba artikan dari gerakan tangannya dan gerakan tubuhnya. "Apa yang terjadi dengan pakaianmu, apa kamu disiram ombak disana?" mungkin begitu maksudnya. Aku hanya tersenyum saja sampai dia pun berlalu dengan tersenyum juga. Sungguh bodoh...!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun