Berikut 2 artikel saya sebelumnya terkait kasus tersebut :
1. Kerugian yang tidak berdasar. http://hukum.kompasiana.com/2014/09/10/kerugian-yang-tidak-berdasar-673633.html
2. Kesalahan yang tidak berdasar. http://hukum.kompasiana.com/2014/09/22/kesalahan-yang-tidak-berdasar-675772.html
Disana saya mencoba menduga-duga kemungkinan putusan persidangan akan seperti apa. Dan ternyata dugaan saya ada yang benar namun ada juga yang salah/belum benar.
Dugaan saya setelah mengikuti perkembangan kasus tersebut bahwa memang tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut memang terbukti. Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan menyatakan tenaga ahli PLN yang dijadikan terdakwa dalam perkara peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2), tidak terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 2 UU Tipikor.
Menurut Hutagalung, dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Dengan menggunakan Pasal 2 tersebut, jaksa menuduh terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang dapat merugikan negara dan memperkaya orang lain atau suatu korporasi seperti dakwaan primer Jaksa.
Saya tidak terkejut karena sudah memprediksi hal ini sebelumnya. Pada saat saya ikut persidangan beberapa saat yang lalu memang terlihat jelas dari keterangan para saksi dan terdakwa bahwa tidak ada kerugian negara seperti yang dituduhkan.
Tapi yang membuat saya tidak habis pikir adalah kenapa para terdakwa tetap divonis hukum penjara dan denda. Padahal tuntutan primer dari kejaksaan tidak terbukti dan salah alamat. Katanya, Majelis Hakim tetap memutus bersalah terdakwa yang dianggap lalai dalam hal pembayaran tahap dua dan tiga kepada Mapna Co. karena tidak melaksanakan formalitas yang diatur.
Cuma karena melakukan kelalaian yang tidak menciptakan kerugian apapun dari segala pihak kenapa harus dijadikan alasan untuk memvonis hukum para terdakwa?. Saya melihat dengan mata saya sendiri salah satu terdakwa meneteskan air matanya sambil memberikan keterangan bahwa ia tidak bersalah. Ia menjelaskan bahwa semua prosedur yang ia lakukan semata-mata untuk optimalisasi daya listrik PLN yang dibutuhkan untuk menjaga pasokan listrik di Sumatera Utara.
Bayangkan apabila beliau tidak melakukan inisiatif tersebut mungkin kondisi listrik di Sumatera Utara khususnya akan semakin parah. Saya bisa melihat di raut muka beliau memang bekerja untuk pengabdian bukan untuk memeperkaya diri sendiri ataupun pihak lain.
Bahkan keuntungan negara yang didapat juga terbukti. Hutagalung mengutip kesaksian Dr. Tri Yuswidjajanto, ahli Sistem Pembangkit Daya dan Perawatan Mesin ITB, yang menegaskan, dalam perkara LTE ini, tidak ada kerugian negara. Sebaliknya, negara dan PLN justru bisa berhemat dan malah untung.
Hal ini bisa di jabarkan sebagai berikut :
Dengan asumsi harga solar non subsidi Rp 12.000/liter, sementara harga Solar subsidi Rp 5.500/liter, maka negara memberi subsidi Rp 6.500/liter. Untuk turbin gas dengan daya 132 MW dan konsumsi Solar subsidi 0,31 liter/kwh, maka beban subsidi Rp 184 juta per jam.
Bila dihitung untuk 309 hari dan dianggap bekerja terus menerus, butuh subsidi Rp 1,365 triliun.
Sementara untuk mengoperasikan dalam jangka waktu tersebut diperlukan biaya BBM sebesar Rp 1,365 triliun dan biaya operasi serta pemeliharaan Rp 819 miliar.
Dengan kata lain tidak beroperasinya unit tersebut ada penghematan sebesar Rp 2,184 triliun di PLN. Jika ini dibandingkan dengan pendapatan PLN yang tidak terealisir menurut perhitungan BPKP sebesar Rp 2,007 triliun, justru terjadi penghematan Rp 177,6 milyar.
Putusan ini masih sulit untuk dimengerti. Saya masih butuh penjelasan dan dasar hukum yang lebih masuk akal apakah alasan para terdakwa hingga masih divonis bersalah. Dituduh merugikan ternyata tidak terbukti, justru yang terbukti malah menguntungkan negara.
Sedikit kesal juga kasus ini terlihat seperti pemaksaan hukuman buat para terdakwa. Bayangkan derita fisik dan mental yang diterima para terdakwa apabila harus menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara padahal tidak melakukan kesalahan. Belum lagi efek psikologis untuk lingkungan korporate sendiri. Dengan segampang itu seseorang dijadikan objek kriminalisasi, akan tumbuh budaya takut pada semua karyawan khususnya pengambil keputusan karena takut dikriminalkan. Bahkan optimalisasi pasokan listrik di Sumatera Utara menjadi semakin terbengkalai karena kriminalisasi ini.
Pak hakim, apabila hati nurani saja anda abaikan, kemana lagi kita akan meminta keadilan.
Referensi:
http://m.tribunnews.com/regional/2014/10/02/hakim-tipikor-medan-putuskan-terdakwa-lte-pln-tak-korupsi