Matahari pagi masih bersinar malas, saat Sumiati mengemaskan aneka peralatan di dapurnya yang sederhana, Rabu (3/10) lalu. Parang, arit, cangkir seng, piring, hingga dandang untuk memasak air, disusunnya dengan rapi dalam sebuah karung. Bungkusan kresek berisi beras, gula, dan kopi bubuk, disimpannya di tumpukan paling atas.
Selesai berkemas, karung itu diserahkan kepada Jamin, suaminya, yang langsung diangkut ke depan rumah, untuk diikat di kursi belakang sepeda. Perlahan, sepeda mini itu dikayuh Jamin pelan-pelan, menuju lokasi sawah mereka di kampung Pak Ona, yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah.
Ibu tiga anak berusia 40-an tahun itu kembali ke dapur usai melepas keberangkatan suaminya, yang sudah tidak terlihat, saat berbelok ke persimpangan jalan kampung yang berada tak jauh dari Puskesmas Toho.
Wajah Sumiati terlihat sangat sumringah. Hari itu bagaikan hari besar dalam hidupnya, karena akan melakukan panen padi. Ia segera mandi untuk bersiap menyusul serta suaminya ke sawah. Usai mandi, ia mengenakan pakaian yang biasa dipakainya saat berjibaku dengan lumpur, dan membangunkan putra bungsunya yang berusia 3 tahun, yang masih terlelap pulas di kasur kamar.
Mau tak mau Sumiati harus membawa putranya ke sawah. Mengingat, tidak ada yang menjaga si bungsu di rumah. Putri sulungnya yang sudah lulus SMA turut membantu memanen padi usai berkemas di rumah, sedangkan putri keduanya yang duduk di kelas VI, harus sekolah.
Ia membasuh wajah putranya dengan sedikit air, dan dilapnya kering dengan handuk kecil berwarna putih. Setelah sedikit terlihat segar, ia mengenakan jaket pada sang putra, lalu mendekapnya dalam gendongan. Ia mengambil tas berisi pakaian ganti putranya dari sofa merah di ruang tengah yang terlihat banyak koyakan, digantungkan di bahunya, dan melangkah perlahan menembus embun pagi.Ia harus datang ke sawah lebih awal dari biasanya. Karena, harus memasak makanan santap siang dan air minum untuk para petani lain yang akan membantu memanen. Memasak dilakukannya menggunakan satu tungku, di sebuah pondok kecil yang sengaja dibangun di pinggir sawahnya.
Jumlah petani lain yang akan membantu berkisar 50 orang. Petani yang hidup di Kecamatan Toho itu sebagian besar bersuku Dayak Kanayant, yang memiliki cara khusus dalam bergotong royong dan sudah dilakukan turun temurun yang disebut Ba’lale, yakni saling berbalas untuk membantu berkerja di sawah. Misal bila hari ini si A seharian membantu si B di sawahnya, harus dibalas pula oleh si B dengan hari yang sudah disepakati bersama.
Sumiati merupakan satu perempuan yang mewakili kaum hawa di Indonesia yang berkerja sebagai petani. Profesi yang sering dipandang sebelah mata di negara agraris ini, dan sering ‘dicekik’ lehernya dengan harga pupuk yang sulit dibeli. Padahal, merekalah pahlawan penjaga ketahanan pangan di Indonesia. Dari tangan mereka benih padi yang dirawat dengan baik selama tiga bulan di sawah, siap panen dengan bulirnya yang menguning. Bulir yang menjadi kebutuhan pokok sehari-hari penduduk negeri ini.
Panen di sawah Sumiati mulai dilakukan sekitar pukul 13.00 WIB, usai santap siang bersama dengan lauk seadanya. Peserta Ba’lale perempuan kebanyakan bertugas untuk mengarit batang padi dan bulirnya, peserta Ba’lale laki-laki ada yang bertugas untuk mengangkut karung berisi padi dari sawah dan dibawa ke mesin pemisah bulir padi dari batangnya, yang berada tak jauh dari pondok.
Hasil panen di sawah Sumiati hari itu hanya 23 karung. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan hasil panen masa tanam sebelumnya, yang mencapai 30 karung. Meski tekor tujuh karung, Sumiati masih tetap bersyukur bisa panen. Menurutnya, kemarau dan tidak adanya suplai air yang mengairi sawah, sempat membuat ia khawatir akan gagal panen. Dari hasil tersebut, beberapa karung padi akan dijual kepada penampung, untuk dana simpanan membeli pupuk musim tanam berikutnya.
Penduduk asal Kalimantan Barat itu mengatakan bahwa sebagai petani mereka tetap bertahan meski harga pupuk mahal dan kurangnya suplai air. Itu semua dilakukan untuk membantu ketersediaan pasokan beras di tengah krisis ketahanan pangan yang terjadi di Indonesia. Meski hanya menjual sedikit hasil panen, setidaknya ia turut membantu bangsa ini untuk tetap ‘berdenyut nadinya’ dari gempuran impor beras negara lain.