[caption id="attachment_259018" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Malam sebelum petualangan backpacker usai di Kuching, Sabtu (11/9), saya bertemu rekan backpacker dari Selangor bernama Nick, yang menelusuri keindahan taman Bako, Kuching, dan menginap di hostel yang sama, B&B Inn. Rekan tersebut ternyata jurnalis foto yang bekerja di satu koran ternama di Kuala Lumpur. Pertemuan dan diskusi kecil di dapur hostel saat menyeduh secangkir kopi penuh cream, berisi tentang pengalamannya bertugas meliput di Indonesia dan memanasnya hubungan dua negara. Nick mengatakan, dirinya pernah membidikkan kamera saat terjadi Tsunami di Aceh, 2004 silam. "Indonesian peoples are nice," ujarnya. Pernyataan tersebut ia ucapkan berdasarkan pengalamannya ketika itu. Masuk ke lokasi bencana yang menewaskan banyak jiwa, ia lakukan dengan naik ojek (saya lupa nama daerah yang disebutkannya). Menurutnya, pengendara ojek yang mengantarkannya sangat baik. Nick diantarkan hingga lokasi kejadian, dibantu selama menjepretkan kamera, dan menjadi juru bicara saat menggali informasi tentang bencana tersebut kepada warga yang selamat. Teringat akan pengalamannya tersebut, Nick yakin ada pihak tak bertanggungjawab yang bersembunyi dibalik memanasnya hubungan Indonesia-Malaysia. Ia sangat menyayangkan terjadinya sedikit kericuhan antar dua negara. Menurutnya, banyak kesamaan yang dimiliki negara dengan wilayah saling berdekatan secara geografis, bahasa, hingga latar belakang budaya. "Seperti percintaan mata uang di wilayah perbatasan," ujarnya memberi perumpamaan. ‘Kisah percintaan Rupiah-Ringgit' juga dialami Sonny, rekan saya menjelajah Brunai-Kota Kinabalu-Kuching. Saking mengejar jadwal keberangkatan bis pukul 07.30 waktu Malaysia dan ada pengeluaran Ringgit tak terduga, ia lupa menarik uang Ringgit di mesin ATM saat menuju terminal. Hanya duit Rupiah yang tersisa di dompet. Apesnya, tidak ditemukan satupun ATM di sekitar terminal bis ekspres Kuching dan penunjuk waktu mengarah ke angka 07.20, kurang sepuluh menit lagi waktu keberangkatan. Panik mendominasi. Usaha terakhir yang bisa dilakukan adalah bertanya pada penjual tiket, apakah bisa mendapatkan satu tempat duduk di bis menggunakan Rupiah. Kepanikan kehabisan Ringgit untuk membeli tiket bis Kuching-Pontianak, sirna saat penjual tiket mengatakan bisa menggunakan Rupiah di terminal. Akhirnya, Rupiah yang tersimpan di dompetnya bisa digunakan juga. "Kalau beli tiket pakai Ringgit, harganya RM 45. Tapi, kalau pakai Rupiah, 160 ribu," ujar lelaki tua berkaca mata penjual tiket dengan logat Melayu Malaysia yang kental. Kelegaan dirasakan teman saya itu. Ternyata, membeli tiket tanpa Ringgit di Kuching, tidak menjadi soal. Toh, Rupiah bisa menjadi belahan jiwa pengganti Ringgit. Percintaan mata uang yang saling dibutuhkan satu sama lain, baik oleh penjual tiket di Kuching, Malaysia, maupun pembeli tiket bis menuju Indonesia. Sama-sama dibutuhkan, sama-sama diuntungkan. Indahnya kebersamaan.
KEMBALI KE ARTIKEL