Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Titip Pak Jokowi di DKI

5 Juli 2012   20:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:15 13646 24

*Surat untuk Muji

Muji, piyé kabarmu? Semoga kamu sekeluarga selalu sehat, tanpa kurang suatu apa. Soal kesehatan, aku yakin kamu pasti sehat. Masih sering badminton dengan Paklik dan tetangga-tetangganya di Ciputat, kan?

Ji... Katanya kamu pindah kerjaan di Tebet, ya? Gimana suasana di sana? Lebih enak dibanding Pejompongan atau sebaliknya? Piyé suasana kampanye di Jakarta? Kira-kira, Pak Jokowi menang nggak, ya? Mbok tulung, teman, tetangga dan kenalanmu dikasih tahu, supaya ikut menyumbangkan suaranya untuk Pak Jokowi.

Kalau tetangga, teman, kenalan atau ada orang yang bertanya tentang Pak Jokowi, ceritakan saja apa adanya. Jangan mengurangi, jangan pula menambahi. Bahwa dulu Pak Jokowi sukses menata kota, karena dia mau mengajak para pedagang kakilima bareng-bareng memikirkan nasib diri dan keluarganya. Pak Jokowi hanya menjadi lantaran semata, hanya alat Tuhan untuk sebuah perbaikan. Pak Jokowi bukan orang hebat. Dia sama seperti kita, masih suka wedangan, atau jajan lesehan walaupun jabatannya sebagai Walikota Solo. Kadang-kadang, ia juga pingin seperti kita, bisa jalan-jalan ke mana saja, tanpa sopir dan ajudan yang mendampinginya.

Mas Didik, pedagang akik, pernah cerita, kalau dia menjumpai Pak Jokowi naik Honda Astrea, memboncengkan istri dan anaknya. Waktu itu, kebetulan hari libur, dan dia ingin makan soto kesukaannya. Katanya, ketika memarkir sepeda motornya dan membuka helm, tukang parkirnya kaget. Pemilik warung soto, yang tempat berdagangnya hanya dengan tenda seadanya di bawah pohon waru juga, kaget ketika salah satu orang yang jajan adalah walikotanya.

Beritahu saja apa adanya, jangan ditambahi, biar kamu tidak dikira tim suksesnya. Kabarkan kepada tetangga, kenalan, atau siapa saja, bahwa Pak Jokowi sering memindahkan orang dari bantaran Bengawan Solo. Yang dipindahkan pun sukarela, sebab diajak berembuk mengenai lokasi barunya, di kawasan Mojosongo. Pemerintah menyediakan bantuan kepindahan dan ongkos pembangunan rumah sederhana.

Memang tak banyak orang. Hanya belasan keluarga. Tapi, dalam keluarga itu ada anggotanya, termasuk anak-anak. Kepada para kepala keluarga, Pak Jokowi mengajak berembuk, dan ngobrolnya santai seperti ketika kita ngobrol bareng Sola, Danang atau Tjahjono. Santai, tapi serius.

Para kepala keluarga diminta merancang sendiri desain rumah dan penataan ruangnya. Kata Pak Jokowi, pemerintah tidak ingin mendikte bahwa rumah di atas tanah tak seberapa luas itu dibangun seragam, termasuk letak ruang keluarga, kamar tidur, dapur dan kamar mandinya. Setiap keluarga, pasti ingin punya ruangan yang ideal. Anak lelaki dan perempuan, apalagi jika sudah remaja atau dewasa, pasti butuh kamar sendiri. Oleh sebab itu, Pak Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada mereka.

Intinya, pemerintah hanya memfasilitasi yang terbaik untuk warganya, termasuk memberikan kredit ringan pembangunan rumah. Ia meminta masing-masing membentuk kelompok sendiri, bisa tujuh atau sepuluh kepala keluarga dalam satu kelompok. Para anggota kelompok itulah yang akan saling mengingatkan jika ada yang lupa atau terlambat membayar cicilan.

Mereka senang, pemerintah pun tenang. Tak perlu repot mengawasi atau memarahi jika ada yang menunggak cicilan, cukup menanyakan kepada penanggung jawabnya saja, untuk memantau perkembangannya. Pak Jokowi itu orang yang tidak mau masuk terlalu dalam ke wilayah pribadi, sebab setiap orang/keluarga, pasti punya problem yang berbeda-beda.

Apalagi jika diingat, Pak Jokowi itu juga wong cilik, dulunya. Ia pernah merasakan kepedihan keluarganya, ketika rumah mereka digusur dari bantaran kali, tanpa pesangon, pada tahun 1970an. Dia tak mau warga miskin menderita seperti yang dirasakannya. Makanya, ia mengeluarkan kartu sehat dan kartu pendidikan bagi warga miskin. Kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap warga negara, yang harus diperhatikan oleh negara. Sebagai Walikota Solo, dia menggunakan kekuasaanya mengatur keuangan daerah, untuk keperluan memenuhi hak setiap warga negara itu.

Makin miskin, pelayanan yang diberikan pemerintahnya kian banyak. Seperti dalam pendidikan, orang termiskin diberi kartu platinum, sehingga semua kebutuhan pokok untuk pendidikannya dipenuhi oleh pemerintah, sehingga diberikan seragam, sepatu, buku dan alat tulis, hingga pembebasan biaya pendidikan. Bagi Pak Jokowi, orang kaya bisa memilih jenis pendidikan karena punya biaya.

Begitu pula soal berobat atau pemenuhan hak atas kesehatan. Maka, orang miskin pun diberi kartu masing-masing orang dalam satu keluarga. Kartunya bisa dipakai di Puskesmas dan rumah sakit, dari sakit perut hingga operasi, tanpa perlu membawa surat keterangan miskin dari RT, RW hingga Kelurahan. Orang sakit perlu pertolongan cepat, sementara kerepotan mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang memakan waktu, bisa-bisa meminta nyawa si penderita.

Pak Jokowi tahu, pada dasarnya, watak orang Indonesia itu malu dianggap, apalagi disuruh mengaku miskin. Karena itu, ia tak mau orang kesusahan dibuat makin susah ketika harus menghadap Pak Lurah atau Bu Lurah, hanya untuk mengatakan dirinya miskin.

Muji yang baik, katakan kepada siapa saja: Pak Jokowi tidak sedang memperbaiki nasib dengan nyalon jadi Gubernur DKI. Dia pernah miskin, sebab pernah jadi pekerja rendahan di pabrik mebel pamannya, hingga ia mampu punya perusahaan sendiri. Ia sudah merasa kaya dari usahanya, sehingga tak merasa perlu mengambil gaji bulanannya sebagai walikota. Toh, semua keperluan hidup sekeluarganya ditanggung oleh negara. Pak Jokowi juga sudah punya gaji sendiri, yang jauh lebih gede dari gaji walikota. Sebagai komisaris perusahaan, ia sudah mendapat gaji bulanan.

Asal tahu saja, perusahaan ekspor mebelnya punya beberapa workshop/gudang. Beberapa malah sudah dijualnya di periode pertama jabatannya. Ia tidak lebih kaya ketika menjadi walikota. Biarkan orang menyimpulkan sendiri, apa itu artinya.

Kalau ada temanmu yang membawa-bawa nama Prabowo, diamkan saja. Itu bukan urusan kita, bahkan urusan Pak Jokowi. Ke Jakarta, ia hanya menjalankan amanah partainya. Karena di Solo bisa sukses, ia ‘dipromosikan’ partainya mengulang suksesnya di Jakarta. Keputusan koalisi PDI Perjuangan dengan Partai Gerindra, itu urusan orang-orang petinggi partai, bukan kemauan atau pilihan Pak Jokowi.

Ada orang yang lantaran takut kalah bersaing, lantas seenaknya membuat fitnah, atau menjelek-jelekkan pak Jokowi. Biarkan saja. Kelak, mereka akan kelelahan sendiri. Kalau memang Pak Jokowi buruk, tak mungkin dia bisa memiliki kemenangan hingga 90 persen pemilih di Solo. Padahal, dia diusung PDI Perjuangan, sementara Partai Demokrat yang punya banyak kursi di DPRD memiliki calonnya sendiri. PKS pun punya fraksi sendiri di DPRD Solo. Tapi, kenapa suara Pak Jokowi bisa memiliki dukungan sedemikian besar dari semua pemilih partai selain PDIP?

Aku yakin, soal memilih calon kepala daerah, orang sekarang tak lagi tergantung suara partainya. Mereka punya hitung-hitungannya sendiri, bisa mengukur seseorang dengan kemantaban dan referensinya sendiri. Coba perhatikan, siapa yang memfitnah Pak Jokowi sebagai orang Kristen dan antek Yahudi? Mereka adalah orang-orang yang mengaku lebih suci, bahkan merasa diri lebih tahu dari Tuhan yang katanya mereka sembah dan taati perintahNya. Aneh, bukan?

Begitulah, politik. Kamu kan juga mengenal nama Heru, Margiono, Gunawan dan banyak lagi. Mereka pinter, cerdas, hebat dan lebih berbudaya. Tapi apa yang terjadi dengan ucapan-ucapan mereka? Dulu, mereka mengaku segan dan kagum pada prestasi Pak Jokowi, tapi kini lebih banyak mencaci, mencibir, dan menghalangi kemenangan Pak Jokowi di DKI lantaran mereka punya calo sendiri, yang dianggapnya lebih baik. Yang begitu memang sah dalam politik. Tapi yang tak pantas dilakukan mereka adalah, melampiaskan kebenciannya kepada Prabowo kepada Pak Jokowi, padahal sudah jelas, Gerindra dan PDI Perjuangan-lah yang memutuskan berkoalisi. Kenapa mereka hanya memojokkan Pak Jokowi? Anggap saja mereka tak bernyali, atau kuatir calonnya tak jadi Gubernur DKI. Begitulah mereka.

Kalau boleh memilih, Pak Jokowi, Faisal Basri, Fauzi Bowo, Alex Noerdin, Hidayat Nurwahid dan Hendarji, pasti ingin yang paling sempurna. Tanyakan kembali, apakah semua keinginan ideal bisa diwujudkan sendiri, tanpa dipengaruhi orang lain atau faktor-faktor selain dirinya?

Muji, jangan ragu mengatakan kepada teman, sahabat, atau siapa saja untuk memilih Pak Jokowi. Dia seorang haji, dia rendah hati, mau mendengar orang lain daripada banyak bicara kepada orang lain. Suruh orang mencari tahu, dari mana saja, pernahkah Pak Jokowi berpidato panjang, apalagi berjam-jam seperti kebanyakan pejabat yang hanya mau semua kalimat dan perintahnya didengarkan?

Jika terlambat atau sebuah acara ada banyak sambutan, Pak Jokowi memilih tak memberikan sambutan atau pidato. Itu karena dia tahu, siapa saja, apalagi rakyat, sudah bosan mendengar pidato-pidato pejabat yang pasti isinya serba baik semata. Ada paparan data dan angka, padahal itu hanya demi menarik simpati orang, seolah-olah seseorang yang berpidato menguasai masalah. Padahal, kebanyakan naskah pidato disusun oleh tim ahli, ajudan atau staf khusus lainnya.

Muji, aku titip Pak Jokowi di DKI, ya.....

Solo, 6 Juli 2012

-Kancamu-

*) Catatan: tulisan ini juga diposting di personal blog. Surat keduanya, silakan baca di sini.

Baca juga referensi terkait Pak Jokowi:

- Jokowi Ngaji -   Jokowi dan Kesenian - Jokowi dan Cak Udin - Mengharap Jokowi di DKI

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun