Dari pencarian arti kata “pameo” di Google, saya mendapatkan beberapa terjemahan dalam beberapa bahasa, yaitu antara lain allusion, sindiran dan slogan. Dari sedikit pengertian tentang pameo tersebut, maka kalimat “melapor hilang kambing, malah hilang sapi” adalah sebuah kalimat yang bukan bermakna sebagaimana adanya, melainkan sindiran yang telah menjadi slogan dalam kehidupan bermasyarakat di negara ini. Siapa yang disindir? Tentu saja orang atau suatu organisasi yang “dilapori” atau menjadi tempat melapor, siapa lagi kalau bukan Polisi? Apa sebenarnya arti dari sindiran itu? Secara umum sebagaimana pengertian masyarakat kebanyakan, kurang lebih kalimat itu mempunyai makna bahwa bila seseorang telah menjadi salah satu korban kejahatan dengan nilai kehilangan kecil maka saat melapor atau setelah melapor di kepolisian, akan mengalami kerugian yang lebih besar dibandingkan nilai yang dilaporkan.
Benarkah pameo tersebut? Pameo itu mungkin dulu benar-benar terjadi, tetapi bagaimana dengan kondisi sekarang? Melalui ilustrasi peristiwa di bawah ini, sedikit banyak akan dapat menjawab masihkan pameo itu relevan dengan situasi saat ini.
Ilustrasi :
Pada suatu hari, ada seorang lelaki bernama A datang ke Polsek “X” untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya, yaitu ; pada malam sebelumnya telah kecurian 1 (satu) unit sepeda motor di rumahnya yang baru dia cicil dari dealer 2 bulan berjalan dengan DP sekitar Rp. 700.000,- (Tujuh ratus ribu rupiah). Setelah sedikit bercerita di ruang penjagaan Polsek, selanjutnya si A dimintai keterangan untuk dibuatkan Laporan Polisi (LP), beruntung petugas yang menerima laporan saat itu “X10″ tidak memintai “uang kertas” kepada si A karena kebetulan Kapolseknya “X1″ sudah menyerahkan dana ATK (alat tulis kantor) beberapa hari sebelumnya, sehingga si A dapat dibuatkan Laporan Polisi berikut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) nya. Walaupun begitu, karena kebetulan hari itu Minggu, Kapolsek X1 tidak berada di kantor sehingga pengawasan agak kurang, sebelum menyuruh pulang si A, anggota X10 ternyata masih sempat meminta “uang ngetik” dari si A buat mengganti rokok yang dihisapnya selama membuat laporan, dan karena kebetulan di dompet si A tidak ada uang pas untuk membeli sebungkus rokok maka oleh si A diberilah X10 uang sejumlah Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
Selang 2 dua hari berikutnya, si A datang ke kantor Polsek dengan maksud yang pertama untuk menanyakan proses laporan polisinya dan yang kedua untuk mengurus asuransi, karena sepeda motor yang dibelinya dengan cara kredit mendapat “fasilitas” asuransi dari lembaga pembiayaan. Di polsek, si A ingin mendapatkan segala surat menyurat yang berkaitan dengan proses asuransinya, dan karena berkas kasusnya sudah didisposisi oleh Kapolsek X1 untuk diproses oleh Unit Reskrim maka si A harus menemui Kanit Res X3. Setelah bertemu Kanit Res X3, si A diarahkan kepada penyidik kasusnya yaitu X7. Setelah menyatakan kehendaknya kepada X7, ternyata dia dimintai uang oleh X7 sebagai “biaya pengurusan asuransi” sebesar Rp. 150.000,- (seratus limapuluh ribu rupiah). Pikir si A, dari pada dia tidak dapat “asuransi” dan masih tetap harus membayar cicilan tiap bulan, mendingan dia keluarkan uang sejumlah itu untuk X7, dan selesailah semua surat-menyurat itu.
Beberapa minggu berselang, suatu hari si A ditelepon oleh X7 bahwa hasil penyelidikan tentang kasus curanmor itu ada hasilnya sehingga si A diminta untuk datang ke Polsek. Di polsek, setelah diberitahu oleh X7 tentang keberadaan motornya yang menurut informasi berada di wilayah Kabupaten lain selanjutnya si A kembali dimintai “ongkos jalan” untuk mengambil sepeda motornya sejumlah Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) karena yang berangkat 3 sampai 4 anggota Polsek dan sekaligus untuk biaya “angkut” sepeda motor. Pusing juga si A memikirkan cara untuk mendapatkan uang sejumlah itu, karena kabar dari dealer dan lembaga pembiayaan menyangkut asuransinya tidak kunjung datang. Akhirnya si A dengan bersusah payah mendapatkan uang sejumlah Rp. 500.000,- untuk ongkos jalan para petugas polsek mengambil sepeda motor berikut menangkap pelakunya. Sampai di rumah, si A menghitung-hitung uang yang selama ini telah dikeluarkan dalam rangka mengurusi sepeda motornya yang hilang. Total yang dikeluarkan untuk “biaya” di polsek ternyata Rp. 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah), sama dengan biaya DP sepeda motornya 2 bulan yang lalu, dan ternyata si A belum menghitung ongkos “kesana-kemari” selama mengurusi sepeda motornya, paling tidak untuk ongkos naik angkot sekitar Rp. 50.000,- (limapuluh ribu rupiah). Jadi total keseluruhannya adalah Rp. 750.000,- (tujuh ratus limapuluh ribu rupiah). Jumlah yang lumayan besar bagi seorang tukang ojek seperti si A.
Ilustrasi yang disampaikan di atas bukan hanya sekedar cerita belaka, tapi hal ini mungkin nyata terjadi pada kita, anda maupun saudara dan orang-orang di sekeliling kita. Yang menjadi persoalan adalah mengapa hal itu bisa terjadi sehingga pameo “melapor hilang kambing malah hilang sapi” itu sampai sekarang masih relevan? Walaupun sebenarnya ilustrasi di atas bukan melapor hilang kambing malah hilang sapi, tetapi “melapor hilang 1 kambing malah hilang lagi 1 kambing tambah seekor ayam”.
Apa yang dilakukan oleh X10 yang meminta “ongkos ngetik”, dan X7 yang meminta “biaya pengurusan asuransi” kepada si A jelas tidak masuk akal serta mengada-ada! Anggaran tiap bulan untuk keperluan ATK setiap kantor kepolisian sudah ada dan bisa digunakan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tinggal “perilaku” dari masing-masing anggota saja yang harus mendapat pengawasan lebih dari atasannya. Namun bagaimana dengan “ongkos jalan” yang diminta oleh X7 kepada si A untuk menangkap pelaku dan sekaligus mengambil sepeda motor di wilayah Kabupaten lain yang memang benar-benar membutuhkan biaya? Adakah biaya dari dinas untuk itu? Ada! tetapi berapa jumlahnya? dan untuk berapa kasus setiap tahunnya? apakah kasus curanmornya si A mendapatkan jatah dari anggaran dinas itu?
Ternyata, setelah Kapolsek X1 menganalisa, hasilnya seperti ini : Kejadian atau kasus yang dilaporkan pada Polsek X per bulan rata-rata 20 (duapuluh) kasus, sehingga rata-rata per tahun adalah 240 (duaratus empat puluh) kasus. Sedangkan dinas (negara) hanya memberikan biaya untuk penyelesaian kasus sebanyak 4 kasus tiap bulan, itupun dibagi berdasar kriteria kasus ( berat, sedang, dan ringan ). Jadi bersyukur bagi masyarakat (korban) yang kasusnya termasuk dalam kategori 4 kasus tiap bulan yang “dibiayai negara” tersebut sehingga “mungkin” tidak perlu mengeluarkan biaya di kepolisian untuk mengurusi kasusnya. Bagaimana dengan kasus si A? Ternyata si A termasuk masyarakat (korban) yang kurang beruntung, karena kasusnya masuk pada kategori 16 kasus yang “tidak dibiayai negara“. Hasil analisa Kapolsek X1 telah menjawab pameo itu, dan selanjutnya Kapolsek X1 membayangkan suatu impian untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya dan menghapus pameo itu.
Impian Kapolsek X1 :
Indah sekali jika membandingkan dan memimpikan seperti “institusi samping” sesama penegak hukum, yang biaya dari negara untuk tugas penyelidikan dan penyidikannya “UNLIMITED“, pastilah tidak akan ada lagi istilah “ongkos ketik”, “ongkos jalan” apalagi pameo melapor hilang kambing malah hilang sapi”, akan lenyap dari bumi ini!
Salah siapa semua ini? Tidak perlu mencari kambing hitam dalam “hilang kambing malah hilang sapi ini”, siapa yang salah atau yang harus bertanggung jawab. Yang terpenting untuk saat ini, kita semua perlu memahami demikian kondisi kepolisian kita, sehingga dengan memahaminya tentu kita harus mencari solusi terbaik demi pelayanan prima kepada masyarakat yang selalu digembar-gemborkan oleh institusi ini! Bravo kepolisian kita!
Demikian dan terimakasih.