Media dengan kezalimannya mempunyai agenda besar untuk menghancurkan umat Islam yang sedang bangkit (Zein, 2013). Media, ketika zaman Orde Lama menjadi alat kekusaan untuk menguatkan rezim yang berkuasa, media diam dan menjadi mandul. Kondisi tersebut berlanjut ketika media yang lebih modern hadir pada era Orde Baru, media tetap menjadi alat legimitasi kekuasaan. Media tidak menyuarakan suara keadilan (suara Islam), ketika ada media massa yang berani menyuarakannya maka akan mengalami pembredelan secara sepihak dari pemerintah. Pada saat rezim Orde Baru tumbang oleh gerakan yang dinamakan aktivis 98, media mendapatkan kemerdekaanya. Kondisi tersebut disambut euforia oleh berbagai kalangan, khusunya pengusaha dalam bidang media. Kebebasan bagi institusi media ternyata tidak berubah dan cenderung menjadi sangat liberal. Media yang dulu menjadi corong pemerintah untuk menghancurkan umat Islam, ketika masa transisi (reformasi), ternyata tidak berubah.
Media massa yang hadir saat ini hendak mengahancurkan umat Islam dengan berbagai pemberitaan yang telah dikonstruksi sedemikian rupa (Zein, 2013). Media arus utama (televisi) khususnya, sangat jor-joran membuat berita yang tidak berpihak terhadap umat Islam, berita dikonstruksi dalam pertarungan politik untuk menghancurkan umat Islam. Media menampilkan berita-berita yang bias tentang umat Islam, lengkap dengan berbagai keperpihakanya. Fakta yang sebenarnya disembunyikan (Bungin, 2009), kemudian diganti dengan berita yang sesuai dengan sudut pandang berorientasi liberal. Media secara gotong royong hendak menimbulkan situasi yang chaos (kacau), mengutip pendapat Dahlan Iskan ketika sebuah partai Islam yang disebut sebagai “Masa Santun Dalam Negeri Yang Bergetah” menjadi target penghancuran melalui konstruksi pemberitaan.
Media yang sejatinya menjadi alat edukasi bagi masyarakat, sebagai alat komunikasi kebudayaan, dan menjadi alat pendidikan politik bagi masyarakat, kini menjadi institusi bisnis yang terus mengumbar budaya polos tengah. Kenapa disebut budaya polos tengah? hal tersebut disebabkan media lebih banyak mempertontokan pusar wanita yang seharusnya ditutupi. Media massa arus utama (televisi) menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi terselenggarany a pratanta sosial yang diadobsi dari Budaya Barat. Pranata sosial yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia yang identik dengan ajaran Islam, hendak dihancurkan lewat komunikasi media massa. Media massa tetap mengusung jargonnya bad news good news, artinya hal-hal yang memuat nilai kebenaran (nilai Ajaran Islam), bagi pekerja media adalah sudah kuno dan tidak layak ditampilkan di media.