Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bayangan Wajah Nenek

2 April 2023   12:10 Diperbarui: 2 April 2023   18:49 110 0

Bismillahirrahmaanirrahiim...
                       

"Ting nong... ting nong..."

"Aku saja yang buka, Ummi."

Setelah aku putar handle dan daun pintu terbuka, "Assalamu'alaikum."

Seperti mimpi, namun ini nyata."Wa'alaikumussalam warahmatullah," saking bahagianya mataku sampai berkaca-kaca, "Nenek..." kuraih tangannya yang agak keriput itu sembari menciumnya takzim, "Kakek...," begitu pula dengan beliau.

Kakek tersenyum,"Ni hao ma?"

"Hen hao, xixie." Semoga saja nada ucapanku benar. Bahasa Mandarin, salah pengucapan nada bisa jadi beda arti. "Kok nggak bilang-bilang mau datang, nanti kan kita siap-siap jemput. Mari masuk, biar kopernya aku yang bawa."

"Tadinya mau kasih kabar, tapi ndak boleh sama Nenek."

"Wah, ceritanya kejutan nih."

Selang tiga tahun kematian suaminya, nenek menikah lagi dengan pria keturunan Cina-Jawa itu.Ya, lelaki yang kini bersamanya, kakek Yusuf Ma Dexin. Mereka memutuskan untuk menetap di negeri Tirai Bambu setelah Ummi melahirkan anak pertamanya, aku. Mereka jarang berkunjung ke Indonesia, namun kami tetap menjalin komunikasi dengan baik, saling bertukar kabar via email, maupun sambungan telepon
                                                             
Sungguh momen yang sangat berharga sekaligus kesempatan langka, dapat berkumpul menghabiskan detik-detik akhir perjuangan Ramadan bersama orang-orang tercinta.

Untuk menu tambahan buka puasa nenek akan membuat kue bulan, kue khas Cina. Sebenarnya aku belum pernah mencicipi rasanya, tapi melihat bahan-bahan yang dipergunakan, sepertinya enak.

"Sudah khatam berapa kali toh, Ra?" seraya mengaduk-aduk adonan. Ummi yang sedang mengangkat kue bawang dari minyak panas hanya tersenyum mendengar pertanyaan nenek.

Aku menunduk malu, "Hehe," perlahan kuberanikan diri menoleh ke arahnya,  "Belum Nek, baru sampai pertengahan juz 28."

Tersenyum. Tatapannya begitu hangat. "Ramadan itu bulan penuh berkah,  mbok yo jangan disia-siakan."

"Iya Nek, insyallah bisa khatam."

"Sebetulnya ndak sekadar khatam, baca al-Qur'an sambil meresapi maknanya itu lebih utama, Nduk."

"Mushafku terjemahan kok, Nek. Kalau penasaran sama artinya, tinggal nyontek aja. Tapi seringnya aku belum begitu paham sama maksudnya, hehe."

"Ndak apa-apa."

"Kalau bulan puasa itu rasanya beda yah, Nek. Suasananya kayak adem ayem gimana... gitu, eh, gak kerasa bentar lagi mau selesai."

"Itu istimewanya. Ramadan yo bulan pilihan, bulan di mana diturunkannya al-Qur'an, semua pintu surga dibuka, semua pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu. Nenek ndak tahu bisa bertemu Ramadan lagi atau ndak. Nanti kalau memang waktu Nenek ndak sampai yo ndak apa-apa. Bisa menikmati yang sekarang saja Nenek sudah senang, apalagi bisa dipertemukan denganmu, Nduk."
                                                                       
Keindahan selat Bosphorus yang membiru kini mulai terbiaskan cahaya jingga. Berdiri di jembatan Galata ditemani belaian angin yang berembus, sapaan burung camar yang beterbangan serta pemandangan gedung-gedung bersejarah di Old City rupanya cukup menghibur, melepas penat yang entah mengapa ia datang tanpa diminta kehadirannya.

Nenek. Sungguh, bersamamu adalah kenangan terindahku. Takdir Tuhan terlalu agung untuk dipertanyakan, namun sang waktulah yang Ia perkenankan mengungkap segala rahasia-Nya. Dan nampaknya kata-kata itu adalah isyarat akan kepergianmu enam tahun silam.

Nyanyian rindu, perbedaan ruang dan waktu kerap kali menghadirkan lagu itu. Liriknya begitu dramatis. Kalbu ini berdenyut tak beraturan dibuatnya. Jiwa pun seakan ingin berteriak, memanggil pujaan nan jauh di sana.

Rasanya baru kemarin burung besi membawaku terbang menuju negeri impian. Kali pertama kurasakan nikmatnya berada di udara, memandang keindahan negeri nenek moyang dari ketinggian, subhanallah. Namun itu hanya sebentar karena beberapa menit kemudian  yang ada hanyalah pesona gumpalan-gumpalan putih, mengingatkanku sedang berada di atas awan.                          

Kupejamkan mata seraya menarik napas dalam-dalam, lalu kuembuskan ke udara. Sedikit lebih ringan. Terpaan angin melambai-lambaikan jilbab bergo hijau muda yang kukenakan.

Padahal hari sudah semakin sore, tapi para pemancing yang bertengger di atas jembatan dua tingkat yang mengagumkan ini seolah tak mau bergeser sedikit pun. Begitu pula dengan selat Boshporus, masih saja disibukkan dengan pemandangan aktivitas kapal yang hilir mudik.

Seseorang menepuk pundakku dari belakang, "Rara!" ternyata Aisyah, "Dicari kemana-mana juga... eh, ada di sini."

"Hehe, lagi iseng. Barang kali aja ada camar yang bawa aku pulang."

"Ehem!! Camar apa camer..." Novi sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.

Aisyah senyam-senyum."Camer kali tuh."

"Baru tahun pertama juga, ngomongnya yang kayak begituan." Kami pelajar pendatang, masih anak baru. Ya, baru kemaren sore lah, istilahnya. 

"Nih Ra," ia sodorkan sebuah ponsel, "Punyamu." Yassalam. Lupa aku, tadi kan nitip ke dia. 

"Balik ke asrama bentar yuk, Ra, Nov. Udah sore."

"Skuyy, habis itu kita siap-siap piknik deh." Entah sejak kapan agenda berbuka puasa bersama di pelataran Masjid Hagia Shopia menjadi tradisi yang menyenangkan di Turki.

"Jadi kangen suasana bukber di pondok," seraya mengangkat sebelah alis, "Mesti istighasah dulu di masjid sebelum buka, ya, Ra." Ah, nostalgia. Aku dan Aisyah satu pondok pesantren semasa Aliyah dulu. Kami hanya teman sekelas biasa, pas sampai sini, baru deh, kita jadi bestie. 

Ramadan bulan suci dan agung, tetapi tidak bisa menyucikan manusia, kecuali jika kita mau menyucikan diri dengan ibadah dan takwa kepada-Nya. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin, berusaha agar puasa kita tidak sia-sia.

Seperti pesan almarhum almaghfurlaha nenek, "Ra, banyak orang yang menjalankan puasa tapi mereka ndak mendapatkan apa-apa kecuali haus dan lapar. Mereka berbuat tapi ndak didasari pemahaman terhadap hikmahnya. Kemuliaan dan kebesaran Ramadan yo diperuntukkan bagi yang memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas keikhlasan, pendekatan diri dengan Gusti Allah, kesungguhan dalam melaksanakan perintah dan menjauhkan segala apa yang dilarang-Nya, Nduk."

Kata-kata Abah pun masih tersimpan dalam memoriku, "Anak-anakku, buat Ummi juga nih, Abah mau sedikit berbagi. Didengar baik-baik ya." kala itu kami tersenyum serempak seraya mengangguk. Alhamdulillah, kompak sekali. 

"Seorang mukmin itu siap mengorbankan apa yang dicintai demi Allah, siap menahan melakukan apapun meski ia sangat menginginkannya kalau Allah memerintahkan meninggalkannya. Inilah ibadah yang hakiki, melaksanakan perintah dan meninggalkan yang dilarang. Ibadah kepada Allah bukan pada bulan Ramadan saja, tetapi Allah mengetahui bahwa iman manusia sangat fluktuatif, naik turun tidak menentu, maka dari itu Allah merahmati manusia dengan adanya musim peningkatan ibadah. Semua muslimin dalam nuansa ibadah yang sama, sehingga puasa, shadaqah dan ibadah lainnya menjadi hal yang dinikmati kemudian dapat dilakukan sepanjang tahun."

Pada malam-malam ganjil terakhir di bulan suci, Abah biasa mengajak keluarganya mendirikan qiyamul lail bersama, dilanjutkan dengan siraman rohani dan setelah itu kami menikmati santap sahur.

Begitulah, puasa adalah simbol kesiapan untuk meninggalkan apa yang paling disukai oleh nafsu demi mencari keridhaan Allah Swt.

Ramadan, oh Ramadan, kami akan terus berusaha melakukan yang terbaik dan tidak menyia-nyiakanmu. Karena kami tak tahu sampai kapan Ia memberi kesempatan berjumpa denganmu.


Glossary_____
Ni hao ma          : How are you?
Hen hao, xixie  : Very well, thank you^^



Remember

Note -June 2013-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun