CLIFF
Pertemuanku kembali dengan Arintha sungguh tak terduga. Mungkinkah ini pertanda bahwa kami memang berjodoh? Aku sungguh tak tahu, yang kuyakini bahwa aku merasa bahagia saat bersamanya. Perasaan yang tak pernah ada saat bersama Clara. Aku hanya menganggapnya semata sahabat, tak lebih, tak ada cinta. Karena itu aku merasa bahwa pernikahanku dengannya adalah sebuah kesalahan. Pasti perceraian ini akan menyakitkannya, tapi harus kulakukan. Aku akan berbicara padanya secara perlahan dan mudah-mudahan dia mau mengerti, tekadku.
********
Malam itu selepas makan malam aku pun menyampaikan apa yang selama ini kupendam dalam hati,
“Clara ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu”
“Apa itu Cliff?”, tanyanya.
Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba mengumpulkan keberanianku,
“Aku tahu selama ini bahwa rasa cintamu padaku teramat dalam”
“Lalu?”, ujarnya setelah menungguku lama terdiam.
“Tapi aku tak mencintaimu Clara, kurasa pernikahan ini adalah sebuah kesalahan”
Raut wajahnya seketika berubah, untuk selanjutnya suaranya terdengar kering dan tajam saat berkata,
“Jadi? Apa maumu? Kamu ingin menceraikanku? Mengapa Cliff? Karena kebohonganku tempo hari? Bukankah aku sudah meminta maaf padamu?”
“Aku…bukan itu Clara”, tergagap aku berkata.
“Oh aku tahu, karena ada wanita lain kan? Siapa namanya? Arintha? Ya….Arintha. Wanita yang begitu kamu idam-idamkan hingga namanya kamu sebut dalam mimpimu?”
Aku terhenyak mendengar penuturannya. Jadi Clara telah mengetahuinya? Mungkinkah aku pernah menyebut nama Arintha dalam mimpi? Tapi jika tidak, darimana ia mengetahuinya? Aku tak pernah memperkenalkan mereka berdua. Aku masih berusaha menyanggahnya,
“Bukan Clara. Tak ada wanita lain, seperti pernah kukatakan aku hanya merasa pernikahan seharusnya dijalani dua orang yang saling mencintai. Aku tak mencintaimu”
“Baik, aku tak peduli apapun alasanmu. Yang penting aku tak mau dan tak akan bercerai darimu. Jika kamu menceraikanku, aku akan mengakhiri hidupku”, ujarnya seraya tiba-tiba meraih pisau yang tergeletak di meja dan menempelkannya ke pergelangan tangannya.
Betapa aku terkejut melihat reaksinya. Tak ingin sesuatu terjadi aku pun segera merenggut pisau itu dari tangannya,
“Jangan main-main Clara. Itu sangat berbahaya”
“Aku tak main-main Cliff, hidupku hanya untuk mencintaimu dan bersamamu selamanya. Jika tak bisa, apa artinya aku hidup? Lebih baik aku mati”, teriakan histerisnya segera berubah menjadi isak tangis.
Kuletakkan pisau itu perlahan dan merengkuhnya dalam pelukanku. Batinku tersaput kegalauan. Untuk kesekian kalinya hatiku menjadi goyah kembali, kusadari betapa rasa cinta wanita ini padaku telah berubah menjadi obsesi. Bagaimana caraku untuk berpisah dengannya? Bagaimana caraku untuk bersanding dengan Arintha? Begitu banyak pertanyaan pelik yang tiada sanggup kutahu jawabnya.
********
CLARA
Dia berbohong, aku tahu itu. Sekian lama aku mengenalnya, aku tahu segala perasaan yang ada di hatinya. Dia tak pernah bisa menyembunyikan apapun dariku, binar mata itu, rona wajah itu selalu ada saat dia tengah jatuh cinta. Untuk sementara ancaman itu akan mampu meredakannya, tapi itu tak cukup, aku harus bertindak lebih jauh lagi. Aku harus melenyapkannya agar Cliff tak dapat bersamanya lagi dan kami akan bersatu selamanya, tekadku.
********
CLIFF
Aku masih bertemu dengan Arintha pada hari-hari selanjutnya. Dengan tanpa sepengetahuan Clara tentu saja, karena aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika Clara memergokiku. Dia akan berbuat nekat, aku yakin itu. Aku terlalu mengenalnya untuk mengetahui sifat-sifatnya. Hari itu aku mengajak Arintha untuk bertemu sambil makan siang dan aku menceritakan reaksi Clara malam itu,
“Dia telah mengetahui tentangmu Arin….tanpa sengaja aku mengigau dan menyebut namamu dalam mimpi. Tapi dia bersikukuh tak ingin bercerai dariku dan mengancam bunuh diri”
“Begitu rupanya. Dia sangat mencintaimu, jangan tinggalkan dia Cliff. Aku memahami perasaannya, karena aku juga wanita”
“Kamu tak mengerti, aku tak mencintainya. Bisakah kamu menjalani pernikahan tanpa cinta?”
Pertanyaan retorisku membuatnya terdiam, seakan menyadari kebenarannya. Situasi sulit yang kami alami, saling mencintai namun tiada dapat bersatu. Aku menggenggam tangannya dan mencoba memberi kekuatan padanya. Sungguhpun sulit namun entah mengapa aku yakin Tuhan akan memberikan jalan keluar bagi kami berdua.
********
CLARA
Dari kejauhan aku mengamati sepasang pria dan wanita yang tengah bercengkrama dalam kafe itu. Salah satunya adalah Cliff suamiku. Ya, aku membuntutinya sedari tadi. Seraya meyakinkan hatiku untuk melakukan rencana yang selama ini mengendap dalam batinku. Kutunggu hingga mereka berdua berjalan meninggalkan kafe itu. Kunyalakan mesin mobilku dan menjalankan mobilku perlahan.
********
ARINTHA
Aku berjalan disamping Cliff meninggalkan kafe itu sambil bersenda gurau, tak terbayang sedikitpun olehku akan musibah yang akan menimpaku sejenak lagi. Bahkan saat kudengar dari arah belakang suara mobil menderum keras,
“Arintha, awas….”kudengar suara Cliff berteriak namun segalanya terlambat.
Kurasakan sebuah benda keras menghantam tubuhku dan aku terpelanting ke tanah sebelum kemudian kusadari mobil yang telah menabrakku tetap melaju dengan kencangnya. Masih kutatap wajah Cliff sebelum kemudian kurasakan pandanganku berputar-putar dan segalanya menjadi gelap.
********
Aku membuka mataku perlahan, masih bingung dengan apa yang terjadi. Kuedarkan pandang dan segera kusadari aku tengah berada di rumah sakit. Cliff berdiri di samping tempat tidurku sambil menggenggam tanganku,
“Arin…Arin kamu sudah sadar sayang?”, ucapnya lembut.
Mulutku terlalu lemah untuk berbicara. Sesaat kemudian aku mengingat semuanya, walaupun yang masih tak kumengerti mengapa mobil itu menabrakku. Siapa pengemudinya? Mengapa begitu tega mencelakaiku? Kurasa itu bukanlah sebuah ketidaksengajaan. Kepalaku terasa berat dan tak mampu untuk berpikir. Segera aku terlelap kembali akibat pengaruh obat bius.
********
CLIFF
“Bagaimana keadaannya Dok?”, tanyaku pada dokter yang menangani Arintha.
Pria paruh baya itu menatapku sejenak sambil menghela nafas untuk sejurus kemudian berkata,
“Pasien bernama nona Arintha cukup beruntung tidak mengalami gegar otak ataupun amnesia akibat benturan keras di kepalanya, akan tetapi….”, dia terdiam sejenak.
“Tapi apa Dok?”, ucapku tak sabar.
“Tapi benturan itu menyebabkan pembuluh darah di otaknya rusak dan mempengaruhi saraf sistem gerak kakinya, akibatnya dia bisa terancam lumpuh”
Walaupun diucapkan perlahan namun terasa bagai petir menyambar di telingaku. Ya Tuhan, Arinthaku lumpuh? Gadis yang kucintai? Tapi mengapa Tuhan, mengapa begitu tega Kautimpakan cobaan ini padanya?
“Kami akan berusaha keras menyembuhkannya, namun semuanya tergantung pada Yang Mahakuasa”
“Baik Dok, terimakasih”, suaraku terdengar lemah tanpa daya.
Masih kuberharap seutas keajaiban terjadi pada Arintha. Saat kakiku melangkah meninggalkan rumah sakit itu segala doa kuucapkan pada Tuhan agar Dia berkenan memberikan kesembuhan pada wanita yang kucintai itu.
(Bersambung)