ARINTHA
Segala harapanku agar Cliff menjadi pengganti Daniel seolah punah seiring pengakuannya malam itu. Hingga hari ini kata-katanya masih terngiang di kepalaku…aku selalu mencintaimu, kumohon tunggulah aku…Syukurlah aku mengetahui kenyataannya sebelum terlambat dan aku mengalami nasib yang sama seperti Clara. Aku tak dapat membayangkan reaksi kedua orangtuaku jika mereka mengetahui anaknya mengandung tanpa seorang suami. Aku harus menjauhinya dan berlalu selamanya dari kehidupannya, tekadku.
********
CLIFF
Sejak pertemuanku yang terakhir malam itu dengan Arintha dia seolah menghilang ditelan bumi. Segala upayaku meneleponnya untuk memberikan penjelasan berujung sia-sia belaka. Bisa kupahami alasannya dia bersikap seperti itu. Tindakanku memang tak dapat dibenarkan. Awalnya kupikir hatinya akan menjadi luluh seiring pengakuanku yang memang mencintainya. Aku bertekad tak ingin mempermainkan hatinya ataupun merahasiakan rencana pernikahanku dengan Clara. Namun aku memang bersungguh-sungguh dengan niatku untuk menceraikan Clara dan menikah dengan Arintha. Kini semuanya sudah terlambat dan aku harus melanjutkan persiapan pernikahanku apapun yang terjadi, sungguh pun aku tak pernah menginginkannya.
********
“Cliff, kapan kamu akan membawa kedua orangtuamu ke rumahku untuk menyampaikan lamaran pada orangtuaku?”, hari itu Clara bertanya padaku.
“Aku belum tahu Clara. Maafkan aku, hari-hari ini aku tengah disibukkan dengan pekerjaanku”, jawabku mencoba mencari alasan untuk menunda dan jikalau mungkin membatalkan pernikahan ini.
“Apa? Kamu harus melakukannya secepatnya, sebelum kandunganku ini membesar dan mereka mengetahui semuanya”, teriak gadis itu setengah histeris.
“Aku tahu Clara. Beri aku waktu untuk memberitahu kedua orangtuaku”
Demikianlah akhirnya malam itu aku menyampaikan rencana pernikahanku pada kedua orangtuaku. Mulanya mereka tak dapat menyembunyikan rasa terkejut karena tak mengira aku memiliki hubungan spesial dengan Clara namun akhirnya mereka menyetujuinya karena telah lama mengenal Clara sebagai temanku semasa kuliah. Pun ketika Clara meminta pernikahan dilangsungkan secepatnya.
“Sesungguhnya kami telah lama saling mencintai, Oom dan Tante. Karena itu kami tak perlu terlalu lama berpacaran dan menunda pernikahan ini. Selain itu papa saya yang tengah menderita penyakit kritis ingin menyaksikan pernikahan saya sebelum beliau meninggal”, ujar Clara.
“Baiklah jikalau memang demikian adanya. Oom dan Tante hanya dapat mendoakan yang terbaik bagi kebahagiaan kalian”
Aku hanya mampu terduduk diam dan terpekur lesu mendengar perbincangan mereka. Rasa bersalah membelit hatiku akibat kebohonganku pada orangtuaku, namun tak ada pilihan lain. Mungkin memang aku harus membunuh rasa cintaku pada Arintha dan belajar menyayangi Clara sepenuh hati.
********
Proses persiapan pernikahanku dengan Clara berlangsung cepat. Acara lamaran, tunangan hingga akhirnya tibalah hari yang telah ditentukan itu. Harus kuakui aku tak pernah membayangkan akan menikah dengan Clara. Dia memang cantik tapi aku tak pernah bisa mencintainya. Adakah cinta dapat dipaksa? Namun dapat kurasakan bahwa sepenuh hati dia mencintaiku. Rona bahagia terukir di wajah nya saat bersanding denganku di pelaminan. Seharusnya ini juga menjadi hari bahagiaku dan aku pun tak ingin mengusik kebahagiaannya, maka kupaksakan seulas senyum di bibirku. Walaupun sejujurnya aku lebih menginginkan Arintha yang ada di sampingku.
********
Tiga bulan pernikahan kami berjalan dan hari demi hari aku kian merasakan keanehan demi keanehan terjadi. Perut Clara tak terlihat membesar, dan tak nampak gejala mual muntah yang lazim dialami wanita yang tengah hamil muda. Dan kecurigaanku memuncak saat suatu hari aku melihat pembalut bekas pakai di tong sampah. Bukankah dia tengah hamil?, pikirku. Wanita hamil tak mungkin…..
Bak disambar petir aku menyadari kenyataan ini. Mungkinkah sesungguhnya Clara tak hamil? Mungkinkah sebenarnya Clara hanya berpura-pura hamil? Tapi untuk apa? Aku harus mencari tahu kebenarannya pada Clara untuk memastikan segalanya, batinku.
********
Malam itu tak dapat kusembunyikan kegelisahanku, sedangkan istriku terlihat bersikap seperti biasa. Awalnya dia tak menyadarinya namun akhirnya aku mengungkapkan beban yang memenuhi batinku,
“Clara, katakan sejujurnya padaku. Sebenarnya kamu tak sedang hamil ‘kan?”
Wajah cantiknya seketika memucat mendengar ucapanku.
“Apa maksudmu Cliff? Aku…aku hamil”, jawabnya gugup.
“Bohong….mengapa perutmu tak membesar? Dan aku juga melihat bekas pembalutmu di tong sampah. Kamu mendustaiku”
“Aku memang sempat hamil Cliff, tapi aku keguguran”
“Oh ya? Lalu mengapa kamu tak memberitahuku? Selaku suamimu tidakkah kamu pikir aku wajib mengetahuinya?”, cecarku lebih lanjut.
Menyadari semuanya telah terbongkar dan tak mungkin menyangkal serta menghindar lagi, akhirnya Clara pun mengakui semuanya.
“Oke…oke aku akan mengakui segalanya. Memang aku tak hamil, memang aku hanya berpura-pura hamil. Kamu tahu kenapa? Karena hanya dengan cara itu kamu mau menikah denganku. Aku mencintaimu Cliff…..aku mencintaimu. Tak pernahkah terbayang olehmu hari-hariku yang penuh penderitaan? Tak pernahkah terlintas dalam benakmu rasa perih yang kurasakan saat melihatmu bersama wanita lain sejak masa kuliah?”
Aku hanya terdiam mendengar ucapannya. Dan masih terdiam kala dia melanjutkan ucapannya,
“Aku menjalani hari demi hari serupa orang yang kalah Cliff, saat melihatmu bermesraan dengan wanita lain. Hatiku tak bisa menerimanya, aku mencintaimu dan harus memilikimu apapun caranya. Dan hanya inilah caranya, apa bedanya aku hamil sekarang ataupun nanti? Yang terpenting kini aku menang….hahaha”, tawanya terdengar histeris dan untuk sesaat aku merasa tengah berhadapan dengan wanita yang kurang waras.
“Kamu gila Clara, kamu mempertaruhkan kebahagiaanmu sendiri. Pernikahan seharusnya dijalani sepasang pria dan wanita yang saling mencintai. Sedangkan aku tak mencintaimu”
“Apa? Apa aku tidak salah dengar? Kamu tidak mencintaiku? Benarkah itu? Ternyata selama ini aku salah sangka. Kalau begitu bagaimana caranya agar kamu mencintaiku? Tak bisakah kamu membawaku selalu dalam hatimu?”, kini tawanya berganti perlahan menjadi isak tangis.
Aku masih saja terdiam, perlahan aku bangkit dan menghampiri seraya merengkuhnya dalam pelukanku. Entah mengapa mendadak timbul rasa iba dalam hatiku. Clara yang kukenal sebagai putri tunggal keluarga kaya ternyata begitu mendambakan cinta dariku dalam hidupnya. Sebegitu dalamkah rasa cintanya padaku hingga dia berbuat begitu? Lalu bagaimana caraku membalas rasa cintanya? Lalu bagaimana dengan rencanaku untuk menceraikannya? Tegakah aku? Berjuta pertanyaan berpendar memenuhi sanubariku tanpa terjawab.
(Bersambung)