Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Aku adalah Apa yang Aku Pikirkan

7 Mei 2015   08:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:18 549 1
Itulah kalimat yang berulangkali diucapkan oleh Oktastika Badai Nirmala, seorang motivator asal Surabaya. Kalimat yang ia sebut “mantra” itu ia sampaikan dalam acara Seminar Sehari Menumbuhkan Motivasi Menghadapi Ujian Nasional di SMP TNH Mojokerto pada tanggal 16 April 2015 yang terselenggara berkat kerja sama antara SMP TNH dengan Penerbit Erlangga.

Kak Okta, demikian sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa apa yang terjadi pada diri kita merupakan hasil pikiran kita. Kita akan sukses dan berhasil jika kita berpikir tentang kesuksesan dan keberhasilan. Kata-kata mantra tersebut selalu diulang oleh Kak Okta setiap kali ada jawaban peserta seminar yang agak melenceng dari harapannya. Misalnya ketika ada pertanyaan retoris, “Siapa yang tidak ingin berhasil dalam UN?” Ada yang celometan menanggapi, “Saya.” Kak Okta kemudian bertanya, “Apa mantranya? Ayo ucapkan bersama!” Maksudnya adalah agar para peserta seminar selalu ingat dan sungguh-sungguh menyadari bahwa apa yang mereka pikirkan dan katakan akan betul-betul menjadi kenyataan. Jadi jangan sembarangan berpikir atau berkata.

Meskipun ada beberapa siswa yang kurang memperhatikan isi seminar tersebut, tetapi masih lebih banyak siswa yang memperhatikan. Agaknya para siswa juga terhipnotis dengan cara membawakan seminar yang disampaikan dengan bahasa gaul. Cocok dengan dunia anak-anak. Hanya anak-anak tertentu yang agak jaim saja atau yang bermasalah yang tidak bisa mengikuti seminar ini dengan baik.

Saya pribadi sudah sering mendengar kata-kata itu. Banyak orang yang menyampaikan “mantra” itu baik secara lisan atau pun tertulis. Rhonda Byrne dalam bukunya The Secret mengungkapkan hal serupa sebagai hukum tarik-menarik. Pikiran ibarat sinyal frekuensi yang menarik sinyal-sinyal yang serupa. Kita akan benar-benar bisa mengerjakan soal matematika, apabila kita memiliki keyakinan dapat mengerjakan soal matematika. Alam semesta dan lingkungan kita akan mendukung hal yang telah kita pikirkan itu untuk menjadi sebuah kenyataan. Itulah yang oleh Profesor Yohanes Surya disebut dengan Mestakung (semesta mendukung).

Bob Proctor mengungkapkan, “Jika Anda melihatnya dalam benak, Anda akan menggenggamnya di tangan.” Ingatkah kita akan apa yang dihasilkan oleh para penemu? Manusia bisa terbang, manusia bisa menuju ke bulan, munculnya listrik, lampu, radio televisi dan sebagainya semuanya berawal dari pikiran. Berawal dari pikiran itulah yang kemudian sedikit-demi sedikit diwujudkan dalam dunia nyata.

Anak-anak mungkin belum banyak yang bisa membuktikan tentang kekuatan pikiran ini. Sebenarnya ada satu contoh sederhana yang biasa disampaikan tentang kekuatan pikiran ini, yaitu tentang kegiatan wisata. Acara wisata merupakan kegiatan yang ditunggu-tunggu. Jauh hari sebelumnya biasanya kita sudah mempersiapkan diri. Satu hari sebelum keberangkatan biasanya kita berpikir dan merencanakan bahwa besok pagi saya harus bangun pukul 04.00. Karena keinginan bangun pukul 4 tersebut sudah terprogram di dalam otak kita, biasanya tanpa alarm, tanpa dibangunkan kita bisa bangun tepat di waktu yang kita inginkan.

Contoh lain, ketika saya kuliah dulu, saya punya teman, Sujoko namanya. Di tempat kos biasanya kami mengobrol ngalor ngidul tidak karuan. Salah satunya tentang masa depan kami. Dalam impiannya, dia kadang bilang bahwa nantinya dia setelah kuliah akan pulang kampung. Dia ingin menjadi seorang guru di desa yang hawanya sejuk sambil mengolah lahan pertanian yang ia miliki. Merawat perkebunan salak yang sudah dirintis kedua orang tuanya. Kalau sore duduk di teras sambil membaca koran dan minum teh hangat. Begitu impiannya. Ternyata itu benar-benar terjadi. Sekarang beliau bekerja sebagai guru di daerah Srumbung, Magelang.

Dalam obrolan itu, saya sendiri bilang bahwa saya tidak ingin bekerja di kampung. Terlalu ndeso dan minim fasilitas. Namun, saya juga tidak menginginkan bekerja di kota besar seperti Jakarta, yang kelihatannya ruwet. Saya ingin bekerja di kota kecil yang tidak terlalu sepi tetapi juga tidak terlalu ramai. Kelihatannya pikiran itulah yang menempatkan saya di Kota Mojokerto. Bukan kota besar, melainkan juga bukan sebuah kampung terpencil. Sebuah kota yang sesuai dengan yang ada dalam pikiran saya.

Rupanya hal yang sama juga dipikirkan istri saya. Istri saya pernah pergi ke Jakarta dan di sana mengendarai sepeda motor bersama kakaknya. Berkendara di kota besar di antara ribuan kendaraan di Jakarta menimbulkan trauma tersendiri bagi istri saya. Setelah itu dia tidak punya keinginan untuk hidup di kota besar seperti Jakarta. Kenyataannya sekarang dia tinggal di Mojokerto bersama saya.

Berbeda dengan kita orang dewasa, dalam berpikir anak-anak masih sangat tergantung dan terpengaruh pada lingkungan dan orang dewasa di sekitarnya. Orang tua, guru, dan masyarakat di sekeliling anak-anak harus ikut membentuk munculnya pikiran-pikiran positif, pikiran-pikiran kreatif dalam diri seorang anak. Dengan mendorong munculnya pikiran positif kita berharap masa depan anak-anak juga positif.

Sebagai orang tua atau guru kadang kita salah mengkondisikan pikiran anak-anak. Secara sengaja atau tidak, kita kadang mengatakan kepada anak-anak bahwa mereka itu bandel, pemalas, tidak bisa diatur, lambat, kurang encer berpikir, dan sebagainya. Kalau anak-anak ini tidak bisa menolak label negatif yang kita berikan, tentu kenyataan yang terjadi akan benar-benar negatif seperti itu.

Kita harus selalu menasihati anak-anak agar mereka tidak mau diberi label negatif oleh siapa pun. Kalau ada yang memberi cap atau label negatif, mereka harus membuktikan sebaliknya. Kalau ada yang mengatakan mereka pemalas, mereka harus bertindak sebaliknya: rajin. Kalau ada yang bilang mereka sulit diatur, mereka harus membuktikan sebaliknya agar pikiran negatif itu tidak terwujud dalam diri mereka.

Kita harus selalu ingat. Mantranya adalah, “Aku adalah apa yang aku pikirkan.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun