Paket berisi pelajaran filsafat kemudian secara teratur dikirimkan kepadanya. Ia pun kini; bukan hanya sekedar murid sekolah biasa tetapi juga menjadi anak didik dari seorang filsuf setengah abad yang nantinya diketahui bernama “Alberto Knox”. Alberto mengajarkan tentang sejarah filosofi dengan bahasa yang mudah dipahami dan selalu dimulai dengan pertanyaan. Filosofi menurutnya sangat relevan dengan kehidupan dan apabila kita tidak mempertanyakan dan merenungkan eksistensi manusia maka kita sebenarnya tidak “hidup”.
*
“The only thing we required to be a good philosophers is the faculty of wonder.”
Alberto menjelaskan sebenarnya pertanyaan filosofis itu tidaklah banyak, tetapi ada banyak cara untuk menjawabnya. Kehidupan itu seperti trik sulap, dan para filsuf selalu berusaha untuk mengamatinya dengan penuh keingintahuan, selayaknya bayi dan anak-anak yang memandang setiap kejadian sebagai sesuatu yang mengagumkan. Akan tetapi, kebanyakan orang seiring dengan berjalannya waktu, menganggap hidup adalah sesuatu yang biasa tak lebih dari sekedar “ Berapa harga tomat?” atau “ Berapa yang kita dapat dari saham yang naik hari ini?”.., yang lalu memilih merangkak lebih dalam menyelami zona kenyamanan lalu menjadi kehilangan kemampuan untuk bertanya tentang kehidupan.
The myths.
Sophie melanjutkan pelajaran ke permulaan filsafat barat. Manusia di-awalnya menjelaskan kehidupan melalui mitos-mitos, cerita tentang dewa-dewi; yang kemudian dipertanyakan oleh para filsuf yunani. Mereka mulai mencari penjelasan lain yang lebih alamiah -ketimbang gaib- mengapa kehidupan adalah seperti demikian?. Sophie memikirkannya dan menyadari bahwa membuat cerita untuk menjelaskan bagaimana alam bekerja tidaklah terlalu dibuat-buat, karena ia pun sendiri akan melakukan hal yang sama jika tidak memiliki penjelasan yang lain. Tetapi yang lebih penting adalah mencoba menjelaskan dengan nalar daripada mengarang cerita. Dengannya kita mungkin bisa lebih mengerti tentang dunia.
The Natural Philosphers – Pre Socratic
Alberto; di surat berikutnya menekankan pentingnya -ketika mempelajari setiap filsuf- apakah yang menjadi minatnya? – pertanyaan apa yang ingin dijawabnya? Karena yang satu mungkin berminat mengetahui bagaimana tumbuhan dan hewan bisa hidup dan yang lainnya mungkin bertanya-tanya apakah Tuhan itu ada atau benarkah manusia memiliki jiwa yang tidak bisa mati?.
Sophie belajar bahwa para filsuf yunani kuno (natural philosphers) percaya bahwa dunia adalah abadi. Mereka percaya bahwa ada satu zat (substance) yang menjadi dasar dari segala sesuatu. Ada yang berpendapat itu air (Thales), atau udara (Anaximenes – c.570-526 B.C), tetapi semua tetap meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab: bagaimana perubahan itu terjadi?. Parmenides (c.540-480 B.C) yang adalah rationalist pertama[orang yang percaya bahwa nalar manusia adalah sumber utama pengetahuan dunia] percaya bahwa tidak ada yang berubah, tetap berpegang pada nalar walaupun kenyataannya berbeda dengan yang dirasakan panca inderanya. Berkebalikan dengannya, Heraclitus (c.549-480 BC) percaya pada sense-nya dan menurutnya tidak ada yang tidak berubah. Adalah Empedocles (c.490-430 BC) yang kemudian menjawabnya dengan teori bahwa ada empat zat dasar (udara, api, air, tanah) dan perubahan itu terjadi akibat dari pembauran keempatnya. Dia pula yang melakukan pembedaan antara “ zat” (substance) dan “force”. Anaxagoras dari Athena percaya bahwa alam terbentuk dari partikel-partikel yang kecil sekali tetapi setiapnya adalah bagian dari segalanya. Diakhirnya, Sophie lalu berfikir bahwa seseorang tidak bisa mempelajari filsafat, tetapi seseorang hanya bisa belajar untuk berfikir layaknya seorang filsuf.
Democritus