Berlakunya konsep labor market felxibility (LMF) di berbagai belahan dunia, "memaksa" pemerintah Indonesia untuk mengadopsi dan memberlakukan konsep tersebut dalam sistem hubungan industrial di Indonesia. Labor market flexibility adalah sebuah konsep di mana hubungan industrial dibangun se-fleksibel mungkin menyesuaikan dengan fluktuasi pasar dan fluktuasi produksi, serta beban labor cost yang rendah. Pengadopsian konsep labor market flexibility di Indonesia ditandai dengan pengakuan sistem kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu--PKWT) dan sistem alih daya (outsourcing) dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di tengah supply dan demand yang tidak seimbang dalam pasar tenaga kerja, tentu berlakunya konsep labor market felxibility sangat tidak menguntungkan buruh. Akhirnya, buruh yang bisa masuk dalam pasar tenaga kerja tidak mempunyai posisi tawar yang baik. Pilihannya hanya: bekerja dan menerima benefit sesuai yang ditawarkan pengusaha, atau menganggur--yang artinya tidak mendapatkan penghasilan. Organisasi buruh/serikat buruh/serikat pekerja yang merupakan manifestasi gerakan buruh, dan sejatinya dibangun sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan buruh pun seakan tak berdaya dan takluk oleh keadaan. Keberadaan UU 21/2000 justru malah menyebabkan kekuatan buruh semakin terpolarisasi dan terfragmentasi secara tajam. Kekuatan buruh menjadi bersatu-satu; bukan bersatu.
Redefinisi Arah Perjuangan Gerakan Buruh dan Revitalisasi Organisasi Buruh
Tumbuh suburnya serikat buruh/serikat pekerja, ternyata tidak membuat posisi kekuatan buruh semakin meningkat. Justru sebaliknya, masing-masing organisasi buruh sibuk dengan agenda internal masing-masing. Bahkan celakanya, sebagian organisasi buruh malah terjebak dengan persoalan yang sifatnya elitis dan menjadi birokratis, jauh dari karakter egaliter dan demokratis yang menjadi penanda gerakan buruh progresif. Bahkan sebagian organisasi buruh justru menjadi sub-ordinat; terkooptasi oleh kekuatan politik praktis yang tidak memandang agenda dan kepentingan buruh. Sehingga, walaupun secara kuantitas besar, posisi kekuatan buruh tidak berubah. Karenanya, diperlukan redefinisi arah perjuangan gerakan buruh, dan juga revitalisasi organisasi buruh.
Harus disadari oleh semesta gerakan buruh Indonesia bahwa kaum buruh sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari rakyat secara umum dan keseluruhan. Kesadaran yang demikian ini menjadi penting untuk menemukan jalan keluar dari arah gerakan buruh yang terjebak pada "jalan buntu" alias gitu-gitu aja. Arah gerakan perjuangan buruh tidak boleh lagi sifatnya sektoral--dari, oleh dan untuk buruh semata--melainkan harus mulai membangun gerakan yang sifatnya multisektoral. Artinya, tujuan gerakan buruh tidak boleh lagi hanya berkutat pada persoalan yang sifatnya "ekonomis sempit"; tidak boleh lagi hanya berkutat pada permasalahan upah dan kesejahteraan dalam pabrik/perusahaan semata.
Memang permasalahan upah (murah) dan rendahnya kesejahteraan masih menjadi permasalahan utama kaum buruh hingga hari ini. Namun itu bukan berarti tuntutan perjuangan buruh harus melulu tentang upah dan kesejahteraan. Gerakan buruh harus mampu melihat makna kesejahteraan bukan hanya dinilai atau terkait nominal upah yang diterima. Percuma nominal upah tinggi, tapi inflasi dan harga barang-barang di pasar juga tinggi. Berangkat dari kesadaran ini, maka tuntutan gerakan buruh harus diarahkan pada terwujudnya kebijakan pemerintah yang pro rakyat miskin seperti kebijakan pembangunan perumahan yang layak dan terjangkau bagi buruh dan masyarakat marjinal lainnya, perbaikan akses dan fasilitas pendidikan serta kesehatan, pembangunan sistem transportasi massal yang aman, nyaman dan terjangkau, juga pengendalian harga barang dan jasa yang sifatnya primer agar tetap terjangkau.
Perubahan arah tuntutan perjuangan dan gerakan buruh Indonesia ini sangat penting untuk melindungi kepentingan buruh itu sendiri dan kepentingan masyarakat umum. Pada konteks ini, revitalisasi organisasi buruh yang independen, tidak terkooptasi dalam bentuk apapun oleh kekuatan politik praktis, adalah keharusan. Mengapa demikian? Jika organisasi buruh terkooptasi oleh kekuatan politik praktis, bisa dipastikan tidak akan sanggup berjuang secara obyektif sesuai kondisi material yang ada. Arah gerakannya akan bias dan disesuaikan dengan kekuatan politik yang mendominasinya. Padahal kepentingan politik yang dominan, tidak selalu sejalan--bahkan seringkali berbenturan dengan kepentingan buruh dan kelompok masyarakat marjinal lainnya.
Organisasi buruh harus dijaga keotentikannya. Baik sebagai alat yang sah untuk memperjuangkan hak dan kepentingan buruh maupun "alat politik" untuk memperjuangkan hak dan kepentingan buruh maupun masyarakat marjinal lainnya di tengah konfigurasi kekuatan sosial dan politik yang ada. Alasan organisasi buruh juga bisa menjadi "alat politik" buruh--bukan dalam definisi alat politik laiknya partai politik--karena secara faktual organisasi buruh mempunyai basis massa riil dan capable untuk mengorganisasikan pemogokan skala massif yang mana itu tentunya akan mempunyai implikasi politik termasuk tingkat negara. Mengingat kebijakan pemerintah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri, tetapi juga geopolitik kawasan maupun internasional, maka kemampuan yang sifatnya politis dari organisasi buruh ini harus dipahami dengan benar agar bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai Tantangan Gerakan Buruh Indonesia
Situasi ke depan yang menjadi tantangan bagi gerakan buruh Indonesia adalah berlakunya MEA yang membawa konsekuensi masuknya pekerja migran dari negara lain semakin besar. Artinya, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat. Buruh Indonesia harus berbagi "jatah" dengan buruh yang berasal dari negara-negara lain di ASEAN. Kondisi yang demikian ini akan semakin mengancam daya tawar buruh yang secara struktural memang lebih lemah dibanding pemilik modal dan bahkan potensial menyebabkan organisasi buruh yang ada saat ini semakin tak berdaya.
Di tengah situasi seperti itu, tugas organisasi buruh semakin berlipat. Di satu sisi pertentangan kepentingan dengan pemilik modal bercorak seperti karakteristik operasi modal dengan kerangka neoliberalisme--yaitu tidak mengenal batasan negara--sedangkan di sisi lain masuknya pekerja migran dari negara lain juga mengancam keberadaan buruh Indonesia sendiri. Jika organisasi buruh Indonesia nantinya hanya fokus pada buruh Indonesia semata, maka kemungkinan besar gesekan dan konflik antara buruh Indonesia dan buruh migran akan terbuka lebar. Jika hal ini terjadi, tentu yang sangat dirugikan adalah buruh Indonesia sendiri karena konflik terjadi di "dalam rumah sendiri". Peristiwa konflik antara buruh Indonesia dengan buruh asal India di PT Dry Dock, Batam yang berujung kerusuhan beberapa tahun lalu hendaknya dijadikan pelajaran. Di sini organisasi buruh diuji dan dituntut untuk membangun gerakan yang cerdas dan sekaligus cerdik.
Kemudian terkait model pengorganisasian dan penjaringan anggota, organisasi buruh ada baiknya mengubah paradigma. Selama ini fokus pengorganisasian serikat buruh/serikat pekerja hanya pada massa buruh. Hal seperti ini tentu tidak salah, tapi penggunaan strategi, taktik dan metode yang sama secara rutin dan terus menerus akan mudah dipatahkan oleh kekuatan pemilik modal yang anti dengan gerakan buruh dalam bentuk apapun. Akibatnya, basis massa dan gerakan buruh itu sendiri tidak berkembang, bahkan lebih jauh lagi organisasi buruh akan mengalami titik jenuh serta diikuti menurunnya semangat dan moral perjuangan.
Model gerakan buruh Indonesia ada baiknya meniru gerakan organisasi buruh di Perancis yang menjangkau dan merangkul gerakan mahasiswa. Hal ini penting mengingat sejatinya mahasiswa setelah lulus nantinya juga akan memasuki pasar tenaga kerja. Selain itu, dengan merangkul gerakan mahasiswa, tentu akan menambah basis massa dan juga pastinya akan menambah kekuatan gerakan buruh itu sendiri. Kesadaran kelas semacam ini harus disuntikkan dalam gerakan mahasiswa agar pemahaman menyesatkan "kelompok mahasiswa lebih baik dan lebih terdidik dibandingkan sektor lain, terutama buruh" dapat dikikis, sehingga ketika mereka memasuki pasar tenaga kerja nantinya telah mempunyai kesadaran dan keberanian untuk berjuang dan berlawan.
Bagaimanapun gerakan buruh Indonesia harus lebih progresif dan kreatif sesuai dengan perkembangan zaman, harus mampu membangun gerakan muktisektoral, namun jangan sampai melupakan, apalagi meninggalkan, tugas-tugas, fungsi dan tujuan asal. Kita tidak bisa memastikan bahwa perubahan akan membawa keadaan menjadi lebih baik, tapi jika ingin lebih baik daripada situasi sekarang, satu hal yang pasti adalah harus ada perubahan. Akhirnya, kepada semesta gerakan buruh, saya ucapkan: Selamat Hari Buruh Sedunia!