[caption id="attachment_141180" align="alignnone" width="640" caption="Masjidil Haram yang malamnya selalu penuh (Foto : Irfan Islami)"][/caption] Jam 3 pagi, kami berangkat bersama ke rumah Ustadz Hamdan untuk menikmati santap sahur. Ah, gak terasa, saya bersama teman-teman dari Mesir sudah berada di akhir episode bulan Ramadhan. Setelah kemarin Makkah diramaikan dengan malam 27 Ramadhan, nanti malam menjadi malam puncak kedua, malam khataman al-qur'an. "Siapa teman-teman yang belum dapat jatah ngasih buka puasa di masjidil haram bantu Ustadz Hamdan?". Saya diam saja, teman-teman memandangi saya, sejurus kemudian. "Wah, ente belum kan, ente yaa", kata Adi. Mau gak mau, saya mau. Sore hari, saya ditemani oleh Jazuli dan Thoyib yang pernah belajar di Yaman. Kami membawa beberapa bungkus makanan ringan Indonesia yang sudah dibungkus rapi untuk dibagikan sebagai menu buka puasa di masjidil haram. Saya kebagian membawa dua kotak kurma. Sebelum kami berangkat, Ustadz hamdan memberikan warning terlebih dahulu, "pastikan seluruh makanan tidak ketangkap petugas masjid ya!". Di masjidil haram, selain kurma emang dilarang masuk masjid. Hanya kurma yang boleh lalu lalang masuk masjid untuk menu buka puasa. Kalo gak ketahuan ya gak apa-apa. Seluruh makanan kami bagi menjadi empat ditaruh di tas-tas kecil yang kami bawa, karena kalo dalam satu tas, membutuhkan tas besar dan itu tentu dapat menimbulkan kecurigaan sucurity dan jika diperiksa pasti ketahuan dan bakalan gak bisa mauk. Karena ini malam dua sembilan, kami berangkat lebih pagi, umumnya kalo hari-hari biasa, kami berangkat jam lima sore. Hati mulai waswas sesaat ketika kami berada di pintu tidak terlalu besar sebelah kiri dari dekat pintuk utama malik Abdul Aziz. Tapi kami berusaha tetap tenang. Mata para penjaga selalu siaga, ketika ada barang yang agak mencurigakan, pasti mereka periksa. Saya mendapatkan bagian berjalan paling depan, di dekat saya ada orang arab yang kedapatan membawa susu kaleng besar, pisang dan beberapa buah-buahan, dia dicegat oleh petugas, "mamnu' ya akhi...", gak boleh!. Dia terlihat ngeyel, tapi apa daya, petugasnya banyak, akhirnya dia menyerah dan keluar masjid. Saya terus berjalan dan berhasil, tidak kena periksa. Sudah masuk ke dalam masjid, saya lihat teman-teman juga sukses. Alhamdulillah lolos semua. Kami langsung menuju tangga pertama sebelah kanan dari pintu masuk. Di sinilah langganan para penerima menu buka puasa ala Indonesia, orang-orang yang setia menunggu di tangga menuju lantai dua. Sebulan penuh ustadz Hamdan memberi mereka menu berbuka puasa. Mereka sudah hafal, menu yang diberikan tidak hanya kurma, ada bakwan dan makanan ringan lain. Saya kebagian membagikan kurma kepada setiap orang yang duduk ditangga, beberapa teman ada yang membagikan kopi dan teh. Thoyyib mengambil air zamzam di drum-drum yang berjajar di pinggir jalan tempat orang lewat. Awalnya saya agak kagok dan malu untuk membagikan kurma ke orang-orang yang duduk banyak sekali dan semuanya tidak saya kenal, "tafaddhol ya haj...tafaddlol", silakan...silakan. Mereka seperti sudah hafal, tiap hari kami wajah-wajah Indonesia selalu membagikan makanan di sini, secara bergiliran. Mereka ada yang mau ngambil dan ada yang hanya mengucap kata "Syukron", terimakasih dan tidak mengambilnya. Ada juga yang langsung memungut kurma segenggam. Adzan maghrib berkumandang, kami bersuka cita langsung minum air zamzam yang rasanya sungguh berbeda dengan air biasa. Begitu segar. Di atas kami duduk, ternyata juga banyak orang-orang Indonesia para mukimin yang ada di sana sambil membawa keluarganya, ada beberapa anak kecil mereka yang ramai. Teman-teman menggoda anak perempuan ustadz Hamdan yang masih kecil yang kelihatan lemas seperti baru bangun tidur dan dipaksa untuk ikut ke masjid. Usai shalat, saya ingat sesuatu. Saat kemarin sedang membuka tas, di dalamnya ada charger blackberry, padahal hp blackberry milik saya sudah ter jual bersama dengan chargernya. Saya mengingat-ingat, "itu pasti charger miliknya ustadz anwar yang kebawa oleh saya, tidak salah lagi". Gak mungkin itu saya ambil, karena bukan milik saya. Saya mencoba menelpon ustadz kasman, mengajak janjian ketemuan setelah shalat tarawih usai. "Antum di hotel mana ustadz, ane baru tahu kalo charger ustadz anwar kebawa dan ane sudah sms ustadz anwar, katanya suruh dititipin ke antum", sapa saya lewat telpon. "Kita ketemuan di hotel belakang Hilton saja, saya disitu". Ba'da maghrib, saya menunggu di masjid hingga adzan isya' tiba. Masjid sangat penuh, karena malam ini kemungkinan menjadi malam terakhir tarawih untuk ramadhan tahun ini jika Saudi memutuskan bahwa ramadhan tahun ini 30 hari. Saya memilih pergi ke lantai tiga ketika adzan isya' hendak berkumandang. Sudah banyak orang di sana. Penuh sesak, tapi masih bisa untuk shalat. Tingkat kepenuhan malam dua sembilan masih kalah dengan malam dua tujuh, ketika malam dua tujuh kemarin, saya mesti harus naik lagi ke lantai empat, itupun harus colong-colongan tempat dengan tentara yang berjaga. Sekarang masih ada tempat cukup longgar di lantai tiga kalo hanya untuk shalat satu orang seperti saya. Awalnya saya mengira, doa yang ditunggu-tunggu oleh para jam'aah akan dibacakan syeikh Sudais saat tengah malam nanti usai shalat tahajjud bersama ketika shalat witir yang terakhir sebagaimana malam dua tujuh kemarin. Namun, perkiraan saya meleset, saat rakaat terakhir di shalat tarawih dan kami berdiri dari ruku', seketika doa panjang sekali diucapkan dengan khusyu' oleh beliau. Kami terbawa dalam keseriusan doa seperti kemarin. Padahal, sejak awal saya sudah berencana untuk merekamnya, namun gagal, tempat doa tidak sesuai rencana. Ba'da shalat, saya langsung meluncur ke tempat ustad Kasman. Di depan hotel saya menelpon beliau, tidak diangkat, di lobi hotel kebanyakan bukan orang Indonesia, berbeda dengan tempat menginap kami dulu di abraj el-falah yang di lobi selalu dipenuhi orang Indonesia, di sini saya melihat wajah-wajah Pakistan, Afrika dan Mesir. Hanya ada beberapa orang Indonesia yang duduk di pojokan. Mungkin benar kata ustadz Anwar dulu, "jarang ada orang Indonesia yang mengambil paket umroh akhir ramadhan, mereka lebih memilih bergabung bersama keluarga menikmati persiapan hari raya di tanah air". Melihat seperti itu, masuk akal juga. Tiba-tiba ustadz Kasman sudah muncul dari balik pintu kaca di belakang saya. "Lama menunggu?", beliau bertanya dan kami bersalaman. "Ayo ke atas, sambil makan malam", beliau mengajak saya ke lantai M tepat di atas lantai dasar. Kami sengaja tidak melewati lift, karena di depan pintu masuk lift sudah banyak orang menunggu untuk naik ke lantai atas, lewat tangga yang ada di pojok ruangan dan berbelok ke kanan lebih cepat dan efisien. Banyak orang arab yang ada masih asyik menikmati hidangan di ruang makan. Ruang makan tempat travel Zulindo digabung dengan travel lain karena jama'ahnya yang sedikit, hanya ada sekitar 7 orang. Saya bersama ustadz kasman duduk di deretan kursi yang tidak ada orangnya. Ada seorang yang sedang mengemasi makanan, dia masih muda dan dialah yang mengatur makanan dari travel kami. "Kalo antum gak keberatan, bawa aja semua mas, semua jama'ah udah makan kok", kata mas yang menjaga. Saya melihat dia mengemasi ayam bakar ada satu kresek, bubur kacang yang masih belum tersentuh satu kresek, sayur masih penuh dan beberapa lauk lain yang masih sangat banyak. "Wah, banyak sekali mas". "Udah bawa aja, sebentar lagi menu masakan sahur juga datang dan ini udah gak ada yang makan, dari pada dibuang", kata dia. Bersyukur sekali. Saya menoleh ke ustadz Kasman. "Bawa aja, kasih ke teman-teman di asrama", kata beliau. Mas yang menjaga saya lihat kembali, sepertinya dari raut mukanya dia tulus untuk memberikan semua menu makanan sisa jama'ah yang kebanyakan masih utuh. Dia mengemasi semuanya dan mempersilakan saya untuk membawa. Semuanya dimasukkan dalam satu kresek besar. Saya mencoba mengangkatnya, Duh! berat juga ternyata. Lumayan, sudah lama saya tidak angkat berat seperti ini setelah empat bulan tidak bekerja angkat-angkat karton milik teman-teman mahasiswa yang biasanya seberat 25 sampai 35 kilogram untuk dikirim ke Indonesia. Saya dan ustadz Kasman ngobrol-ngobrol terlebih dahulu sambil menikmati hidangan ayam dan juz lemon di ruang atas. "maaf, gak bisa ke kamar lagi, karena sekarang saya sekamar bareng jama'ah", kata beliau, kami kemarin saat masih ada ustadz Anwar memang sekamar terus, mulai dari Madinah sampai Makkah. "Gak apa-apa ustadz, kalo gitu saya mohon pamit, ini chargernya, kalo menghubungi ustadz anwar salam ya", saya menutup percakapan dan kami turun ke bawah. Saya merasakan berat ketika mengangkat pemberian makanan tadi, tapi saya masih yakin kuat membawanya sampai asrama Rubath. Melewati toko oleh-oleh yang ada di sepanjang jalan menuju jalur Misfalah, saya bergantian tangan kanan dan kiri untuk membawa oleh-oleh makanan yang tidak ringan. Saat di bawah jembatan Misfalah ada mobil toyota hilux bak terbuka belakang yang penumpangnya belum penuh, sekonyong konyong saya menghampiri dan menaikinya. Kondisi lalu lintas masih sangat macet, karena banyak orang yang baru pulang dari masjidil haram. Mobil terisi penuh, satu kresek makanan saya taruh di antara dua kaki saya, saya apit. Tangan kanan saya memegangi pucuk kresek dan tangan kiri saya memegang besi yang ada di belakang mobil. Mobil melaju santai di tengah macetnya arus lalulintas jalur Misfalah yang memang selalu padat. Saat di bawah jembatan, polisi lalu lintas mencegat dan memberikan kesempatan mobil-mobil yang berjalan dari arah yang berlawanan untuk lewat. Saat polisi itu mempersilakan kami lewat, seketika orang-orang yang berdiri di samping saya terpelanting, ada tiga orang yang sampai jatuh ke bawah karena si sopir langsung memencet gas secara mendadak. Anehnya, mereka bukannya marah malah tertawa terbahak-bahak, saya ikutan tertawa. "ya majnun, mahlan...mahlan", hei orang gila...pelan pelan. Mereka meneriaki sopir bersama-sama. Saat mobil berhenti di depan lampu merah dekat bank NGB, saya turun dari mobil dan memberikan uang 5 reyal kepada kernet. "Khamsa reyal", 5 reyal, kata dia. "La, haram 'alaik, 'ady reyalain", gak, gak boleh, biasanya dua reyal. Dia ngasih saya kembalian dua reyal, ya udahlah gak apa-apa, berarti dia mengambil hak saya satu reyal dan saya berjalan meninggalkan mobil, menyeberangi jalan raya menuju asrama Rubath dan mengikhlaskannya. Di kamar asrama Rubbath hanya ada tiga orang dan mereka masih asyik terlelap dalam tidurnya. Saya buka bungkusan kresek dan membangunkan mereka untuk makan. "Ada rezeki banyak nich, ayam bakar satu kresek", iming-iming saya. Laptop saya buka dan membiarkan mereka makan dengan lezatnya. Berlanjut ke kisah berikutnya... Salam Kompasiana Bisyri Ichwan
KEMBALI KE ARTIKEL