[caption id="attachment_139988" align="alignnone" width="640" caption="Kebanyakan mobil mewah itu adalah taxi di Balad, Jeddah, Saudi (Foto : Bisyri)"][/caption] "Bangun! udah hampir jam 3, sebentar lagi ashar", saya benar-benar terlelap dalam tidur panjang dan ternyata bukan hanya saya, di samping kanan kiri juga ada beberapa teman yang masih asyik dengan tidurnya. Baru kali ini saya mengakhirkan shalat dhuhur berjama'ah di asrama Rubath dan setelah shalat langsung shalat lagi untuk waktu ashar. "Setelah shalat kita langsung berangkat ke Jeddah", ajak mas irfan yang sudah siap. "Faiq gimana?", tanya yang lain. "Dia ada di kamar samping, katanya nanti mau berangkat sendiri, dia udah tau tempatnya". Saat banyak orang berbondong-bondong pergi ke Masjidil haram di Makkah, kami malah hendak keluar dari Makkah dan mencari musa'adah di Jeddah. Maklumlah, sejak awal saya sudah menuliskan, kami berangkat umroh secara nekat. Dengan uang saku yang sangat pas-pasan, sehingga saya menyebutnya dengan umroh koboy dan saat ini, saat terakhir di bulan ramadhan, kami sudah hampir kehabisan bekal untuk bisa bertahan sampai pulang nanti setelah hari raya idul fitri. Saya sendiri sudah 4 bulan tidak bekerja sejak Mesir pecah gara-gara revolusi, sehingga tidak ada income sama sekali, uang saku yang saya punya hanya cukup untuk mendanai berangkat dan pulang umroh, urusan biaya hidup, ternyata alhamdulillah, sudah 15 hari ini ada yang nanggung ketika bersama ustadz anwar. Tapi anehnya, ketika saya bilang "gak punya uang", gak ada teman-teman yang percaya dengan ucapan saya. "Gak mungkin ente gak punya uang". Hmm. Sebisa mungkin saya tidak akan mengeluh dengan keadaan yang sedang saya alami kepada orang lain. Kalo ngeluh ke yang ngasih rizki saja. Kami berangkat dan mencegat taksi di jalan depan asrama Rubbath. Di seberang jalan ada tempat penginapan, saya bisa dengan jelas melihatnya, rupanya itu adalah tempat penginapan haji untuk umat islam China, makanya di pengumumannya semua tertulis dengan bahasa China dan bendera merah yang ada bintangnya. "Jeddah, Jeddah...", setiap kendaraan kami cegat, apa saja. Ya, di Saudi tidak ada ketentuan khusus harus naik kendaraan yang tertulis taxi, tidak ada peraturan, kendaraan pribadipun bisa dijadikan taxi, bahkan kendaraan mewah sekelas prado, toyota fortuner, GMC pun bisa dibuat taxi oleh mereka. Entahlah, saya sampai merasakan, sepertinya di sini gak ada kendaraan mewah, semuanya seperti sama saja. Sebagaimana halnya yang pernah saya rasakan ketika berada di Dubai, banyak kendaraan mewah dibuat taxi. Mungkin, disebut mewah, itu bagi saya, bagi mereka sudah biasa, bukan mewah lagi. Setiap kendaraan yang kami cegat gak ada yang mau. "Kita ke jalan depan aja yuk, di depan Bank NGB", ajak teman-teman. Jalur di depan asrama Rubath memang bukan jalan utama, walaupun kadang ramai juga. Untuk menuju jalan utama, kami mesti jalan kaki lagi, dekat kok, hanya sekitar 20 meter saja dan di sanalah keramaian lalu lintas begitu terasa. Untungnya di Saudi termasuk Makkah, lampu lalu lintasnya banyak yang berfungsi, seandainya keadaannya hampir sama dengan Cairo yang lampu lalulintasnya banyak yang tidak berfungsi, entah seperti apa ruwetnya. Jalur Misfalah yang selalu melakukan sistem buka tutup saja, mereka yang bawa mobil banyak yang marah-marah, karena pas giliran dia lewat, kok pas ditutup dan harus putar haluan mencari jalur jalan bawah tanah melewati bawah masjidil haram. Ada taksi putih toyota Camry berhenti, "Kita ke jembatan Misfalah dulu aja ya, nanti mencari kendaraannya di sana aja, di sana banyak", mas irfan memberikan opsi. "Sipplah, ngikut aja", jawab kami. "Misfalah?", "ta'al", ayo sini, dia membukakan pintu depan mobil taxinya. Tanpa tawar menawar kami langsung naik karena jalur Misfalah dari tempat kami berdiri di sekitar asrama Rubath memang tidak terlalu jauh, kalo jalan kaki palingan hanya 10 menit. Kami berlima, sehingga kursi belakang di isi oleh empat orang. Beruntunglah menjadi orang Indonesia, karena badannya kecil-kecil dan satu mobil yang seharusnya kalo untuk orang arab hanya bisa diisi tiga orang, untuk kami bisa lebih, seperti sekarang ini. Kami berhenti tepat di bawah jembatan, macet, ya, kalo gak macet, namanya bukan jalur Misfalah, ada banyak polisi yang mengatur lalu lintas di sana, ada yang diperbolehkan lewat masuk ke dalam jalan Ibrahim el Khalil dan ada yang mereka larang. Peraturan di Saudi kadang kala emang tergantung moodnya polisi yang mengatur, kalo lagi moodnya baik, ya silakan lewat, kalo lagi gak mood, ya maaf saja, lewat jalan yang lain, itu yang pernah diceritakan oleh ustadz anwar kepada saya. Saya rasa, di Mesir pun juga sama. Entah kalo di Indonesia. "Jeddah...Jeddah", ada orang arab menghampiri kami menawari. Dia membawa mobil kijang innova yang masih lumayan mulus, kelihatan baru. "Kam nafar?", ada berapa orang. "Khamsah", 5. "yallah, ta'al", ayo, silakan masuk. "Bikam ya haj?", biayanya berapa pak?", "'ady, asyrah reyal", seperti biasanya saja, 10 reyal. Tanpa berfikir, kami langsung mengiyakan, disamping karena sudah lama kami menunggu, juga untuk mengejar waktu, targetnya kami harus sudah sampai Jeddah sebelum maghrib tiba. Kami berangkat ketika ditambah dengan satu penumpang lagi yang orang arab, sehingga satu mobil diisi enam penumpang. Entah dia arabnya dari mana, yang jelas dari logatnya, dia seperti orang Saudi. Teman-teman ngobrol banyak dengan sopirnya, saya memilih diam dan asyik mendengarkan musik lewat hp. Rupanya, si sopir bukan orang Saudi. Saya gak bisa membedakan, karena dari caranya bicara, cara berpakaian, dia sangat mirip dengan orang Saudi. Dia berasal dari Yaman, tepatnya Hadra Maut dan di Saudi hanya bekerja. Ada satu teman kami yang bernama Toyib, dia sudah dua tahun di Yaman, sehingga obrolan kami nyambung. Kami bercerita banyak tentang kehidupan di Yaman, tentang universitas islam Shan'a yang di sana banyak mahasiswa Indonesia, tentang gaya pendidikan di Hadra Maut yang hampir sama sistemnya dengan pendidikan pesantren-pesantren di Indonesia, karena dulunya walisongo secara nasab memang dari Hadra Maut, Yaman. Bahkan, ketika saya dulu kursus bahasa arab di salah satu lembaga di Mesir, oleh guru saya pernah ditanya, "Saya lama tugas di Yaman, saya amat-amati, gaya berpakaian orang Yaman kok hampir sama dengan gaya berpakaian orang Indonesia, yakni yang laki-laki suka pakai "Izar", sarung. Apakah kedua negara mempunyai hubungan pada masa lalunya?", tanya beliau. "Ya Ustadz, para penyebar agama islam di Indonesia, dulunya kebanyakan berasal dari Yaman, walaupun ada juga yang mengatakan banyak yang dari Gujarat, India. Namun, sampai sekarang yang paling terkenal dan sistem yang masih eksis adalah sistem ma'had (pesantren) seperti yang ada di Yaman". Beliau akhirnya tahu. "Dilwa'ti ana 'arif", sekarang saya baru mengerti, kata beliau. Kami diturunkan di Bab Makkah, Jeddah dan harus mencari taksi lagi yang mengantarkan ke tempat markaznya teman-teman gelombang pertama yang sudah di sana. Berarti saya sudah dua kali ke Jeddah, yang pertama kemarin saat mengantarkan rombongan ustadz anwar dan yang kedua saat ini. Namun, Jeddah masih asing buat saya. Semua dari kami, belum ada yang pernah ke tempat yang hendak kami tuju di Jeddah, jadi sama-sama bingung. Kami mencari taksi saja yang akan mengantarkan ke sana. Mas Irfan mulai menelpon seorang teman untuk tanya arah-arahnya ke mana dan turun di mana, "turun di dekat Albaik di daerah Balad". Ada beberapa taxi menawari. "Kam?", berapa. "Khamsata asyar", 15. Ya udah, kami berlima langsung naik. Kami muter-muter entah melewati jalan mana, karena sebagaimana di kota besar, Jeddah sore hari begitu macet, sehingga memaksa sopir taksi mencari jalur-jalur alternatif yang tidak kami tahu. Setelah melewati jalan yang ramai, kami diturunkan di dekat Albaik, Albaik adalah pesaing berat KFC di Saudi. Bahkan, konon pelanggannya lebih banyak dari pada KFC dan lebih diminta oleh rakyat Saudi. Kami mesti tanya lagi di masjid ke orang-orangnya yang sedang mempersiapkan menu untuk berbuka puasa bersama. Saya mengamati wajah orang-orang yang lalu lalang, seperti bukan di Jeddah, karena wajah mereka adalah Pakistan, India, Bangladesh dan Indonesia, begitu banyak pendatang untuk mencari pekerjaan dan uang. Kami terus mencari. Mas Irfan terus kontak-kontak dengan teman yang sudah di Jeddah. Dia tidak mendatangi kami dan menyuruh untuk mencari sendiri. "Dari Albaik itu udah dekat kok, dari situ masuk ke kanan dan di sana ada pasar pakaian-pakaian, nanti aku jemput di sana", jawab seorang teman di balik sambungan telpon. Kami terus jalan dan mencarinya lagi. Berlanjut ke catatan berikutnya. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan
KEMBALI KE ARTIKEL