[caption id="attachment_140196" align="alignnone" width="640" caption="Ekspresi kesal di depan madrasah Nashiriyah, Jeddah, Saudi (Foto : Irfan Islami)"][/caption] Sepertinya teman-teman masih sangat asyik menikmati pemandangan indah dan makanan nikmat di sekitar Qornish. Sementara saya sudah pengen istirahat. Ulin dan 2 orang teman hendak meninggalkan Qornish, "ane ikut ya", "ayo bareng", ajak mereka. Malam hari, suasana Qornish malah tambah ramai saja, apalagi banyak para pekerja wanita Filipina yang secara postur dan wajah, saya akui tidak kalah ama orang arab. Kami mencegat taksi. Ulin duduk di kursi depan. Kami berjalan menyusuri jalanan Jeddah. Katanya, di kota inilah paling banyak tenaga kerja Indonesia berada. Saat kami melewati sebuah jalan layang, ulin memberikan informasi, disitulah dulu banyak orang dari Indonesia mengungsi, sampai akhirnya Muhaimin Iskandar membuat sebuah proyek memulangkan mereka. Ya, itu adalah jembatan Kandara, yang dulu dibuat mengungsi para pekerja Indonesia yang melarikan diri dari majikan atau yang memiliki kasus-kasus lain yang sudah komplek di Saudi. Namun, ketika kami melewati jalan itu, terlihat sepi, sudah tidak ada apa-apa lagi. Berarti, semuanya telah dipulangkan. Tapi, apa kasus-kasus yang menimpa tenaga kerja dari negara tercinta itu sudah selesai?!. sepertinya tidak semudah perkiraan saya. Sopir taxinya orang Pakistan, saya tahunya ketika Ulin sedang asyik ngobrol dengan dia, ada satu bahasa Pakistan yang saya mengerti, pas ketika kami baru datang di Jeddah kemarin, teman saya bernama Ari menyapa dia dengan kata "Kiyahalhe?", sopirnya menjawab dengan bahasa Pakistan banyak sekali dan kami hanya terbengong-beong, "ngomong opo iku?". Saya nanya Ari, Kiyahalhhe apa artinya : apa kabar, katanya. Ya ini saja yang saya tahu. Kami diberhentikan di dekat mustausyaf dekat madrasah Nashiriyah miliknya NU. Ulin lupa, hadeh, sementara semua dari kami belum pernah ke sini. "Seingat saya dekat mustasyfa (rumah sakit) ini". "Tapi itu bukan mustasyfa, itu mustausyaf", sangkal saya. Hanya beda tulisan saja, walaupun namanya mustausyaf, bangunan itu juga rumah sakit. Lagi-lagi melihat semua orang yang lalu lalang, melihat toko-toko yang ramai para penjual dan pembeli, kawasan ini seperti bukan wilayah dari negeri Arab. Orang-orangnya dipenuhi dengan golongan Banggali. Lama kelamaan, seluruh negara arab akan dijajah oleh mereka kali yaa. Ternyata bukan China saja yang melakukan eksodus besar-besaran kepada rakyatnya untuk mencari pekerjaan layak di negara lain. Berjalan menyusuri jalur tikus antara pertokoan, kami bertemu dengan seseorang, Dari wajahnya sih seperti orang Indonesia, ulin menyapanya, "Orang Indonesia ya pak?". "Ya, mas". "Maaf pak, madrasah Nashiriyah mana ya", "ayo ikut saya saja, kebetulan satu jalur kok". Kami mengikuti si bapak dan menyeberangi jalan raya. "Itu masuk sekitar 10 meter, di sisi kiri ada tulisannya. Saya pamit dulu ya dek, dari mana?". "Makasih pak, dari Mesir". "Oia, ini, saya ingat", kata ulin. Halah! udah terlambat. Udah ketemu bangunannya baru bilang ingat. Pintu gerbang berwarna hijau terkunci. Saya melihat dari luar, bangunannya sangat tua dan gelap. Seperti terlihat angker, tapi saya gak tau, apa karena ini malam hari menjelang pagi, makanya terlihat angker. Apartemennya adalah bangunan tua, terlihat dari bentuk jendelanya dan tembok-temboknya. Ulin mencoba menelpon bapak tukang kebun yang menjaga gedung. Beberapa kali ditelpon, akhirnya diangkat juga oleh beliau. Kami menunggu, pintu gerbang dibuka. Duh! benar seperti yang dikatakan teman-teman, tidak ada senyum, dingin, cuek, seperti itulah ekspresi bapak penjaga kebun itu. Beliau langsung menyuruh kami ke atas. "Maaf pak, ada satu teman yang sedang cari air sebentar". "Ya, ente ke atas saja, saya tunggu dia", kata dia dengan jawaban dingin. Kami langsung ke atas, istirahat di salah satu ruangan kelas. Kebetulan, saat 10 terakhir di bulan ramadhan, madrasah libur, sehingga di madrasah ini ada teman yang juga ikut tinggal hingga beberapa hari. Saat saya ke kamar mandi. Duh, hawanya gak enak banget. Ada hawa gimana gitu di perasaan saya. Mungkin karena bentuk bangunannya yang tidak muda lagi. Kami langsung istirahat. Sekitar jam 1, ada telpon dari teman-teman yang juga datang ke madrasah ini dan katanya sudah di bawah depan gerbang madrasah yang terkunci. "Cepat, minta tukang kebun untuk membukakan pintu, kita udah telpon seratus kali gak diangkat-angkat oleh dia!!", kata salah satu teman. "Lagi tidur kali, saya akan temui", ulin menjawab seperti terlihat santai. Ulin ke lantai paling atas, tempat tukang kebun bertempat tinggal dan pintu tertutup, terkunci dari dalam. Dia memanggil-manggil dan tidak ada jawaban. Mereka terus berusaha menghubungi, sampai-sampai pintu gerbang digedor-gedor oleh teman yang bernama Toyib karena merasa marah menunggu lama. Mereka menuggu lama sekali, sepertinya bapak tukang kebun malas untuk membukakan pintu. Entahlah, kami juga tidak tahu, kenapa dia begitu dingin dan seperti ada kebencian ketika melihat kami. Para teman yang ada di depan gerbang terus menunggu dan terus mencoba menghubungi, saya, ulin dan teman yang sudah ada di dalam madrasah juga berusaha membantu. Namun, semua usaha kami gagal. Si tukang kebun tetap tidak mau tahu. Mau loncat dari pagar, jelas gak mungkin, karena sangat tinggi sekali. Mau didobrak juga gak mungkin, karena pintunya besi. Kasihan teman-teman. Mereka terlantar di depan gerbang di pinggir jalan raya sampai pagi hari. Mereka bermalam di pinggir jalan raya. Mereka marah. Tapi, mau gimana lagi, kami yang ada di dalam gedung juga tidak bisa keluar, karena pintu digembok dan dikunci dari dalam dan kuncinya dipegang tukang kebun. Tega sekali dia. Siang hari, setelah shalat dhuhur, Ulin ke atas, dia bertemu dengan seorang ibu, hmm, rupanya itu adalah istri dari si tukang kebun. Ulin menumpahkan seluruh unek-unek kejadian tadi malam. Entah seperti apa reaksi wajah dari ibu itu, saya hanya mendengar percakapan mereka berdua dan tidak melihat orangnya. Ibu itu memberikan kunci kepada ulin dan ulin ke bawah membuka pintu sendiri. Teman-teman masuk ke dalam gedung masih dalam keadaan marah. Mereka mulai bercerita apa yang terjadi tadi malam dan dimana akhirnya mereka istirahat setelah semalaman sampai subuh menjadi gelandangan di negara orang akibat korban dari ulah saudara dari negara sendiri. Tega sekali dia, pak tukang kebun itu yang sampai saat ini saya tidak tahu namanya. Mereka bercerita, ketika hampir subuh, mereka putus asa menunggu. Kasihan teman-teman yang lain, ada diantara mereka yang tertidur di trotoar, samping mobil parkir dan di depan gerbang, karena mereka memang capek setelah kemarin seharian muter-muter di Jeddah untuk mencari musa'aadah dan belum istirahat. Mereka mencoba berjalan bersama di sekitar Nashiriyah untuk mencari masjid, sekalian shalat subuh. Ada masjid di sana, setelah shalat selesai, Jazuli menjadi perwakilan mereka untuk minta izin istirahat di dalam masjid sebentar, mereka bercerita ke pengurus masjidnya tentang apa yang terjadi sehingga dengan terpaksa harus menginap di dalam masjid. Namun, apa jawaban dari pengurus masjid itu, "Ana ma fi mamnu', hukumah mamnu'", dengan bahasa arab sebisa dia, karena dia memang bukan arab. Dia berasal dari Bangladesh. "Saya tidak melarang, tapi pemerintah Saudi yang melarang". Dia tidak berani ada orang yang nginap di dalam masjid, karena kalau ketahuan oleh pihak yang berwajib, pasti akan bermasalah. Orang Banggali itu mengulang terus kata itu, "Ana ma fi mamnu', hukumah mamnu'", setiap kali teman-teman memohon untuk bisa istirahat sebentar di dalam masjid, paling tidak sampai datang waktu dhuha dan bisa ke madrasah nashiriyah setelah dibuka. Tapi tetap saja, pengurus masjid itu takut, takut dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Saudi. Mereka tidak putus asa. Keluar dari masjid setelah shalat subuh dan mencari masjid lain. Ketemu masjid lagi dan teman-teman meminta izin untuk menginap di situ. Kali ini pengurus masjidnya orang arab. Awalnya dia takut ketika teman-teman ingin menginap di masjid itu, tapi setelah diceritakan seluruh kronologi kejadiannya, dia mau mengerti dan mempersilakan, tapi dengan syarat. "Antum yastarih fid dakhil, ana i'fil min barrah", kalian semua tidur di dalam dan saya kunci dari luar. Pengurus masjid itu juga bilang, nanti dhuhur dia ke sini lagi untuk membuka kuncinya, dia mengambil keputusan seperti itu untuk menghindari kecurigaan kalo ada pemeriksaan dari pemerintah Saudi. Alhamdulillah, teman-teman senang dan berterimakasih atas kebaikan orang arab itu. "Orang asing saja memiliki rasa belas kasihan, orang kita sendiri malah setega itu, membiarkan saudaranya terlantar menjadi gelandangan di pinggir jalan raya, di negara orang lagi!", kata mereka jengkel ketika bercerita ke kami di dalam gedung madrasah Nashiriyah. Sejak kedatangan teman-teman setelah shalat dhuhur, bapak tukang kebun sama sekali tidak kelihatan. Ketika ulin bertanya ke ibu yang katanya istrinya itu, dia sedang keluar, entah ke mana, mungkin malu atau lari dari masalah. Entahlah. Yang jelas teman-teman masih marah kepada dia. "Ini yang pertama dan terakhir, besok kalo ke Jeddah gak usah ke sini lagi!", celetuk beberapa teman. Kami langsung mohon pamit pada ibu itu dan rencananya mau mengunjungi beberapa tempat untuk melanjutkan aksi kemarin, pergi ke beberapa kantor perusahaan untuk mencari musa'adah. "Laporin aja ke pak Fuad, biar dibuat perhitungan", kata teman yang lain. Pak Fuad adalah pimpian NU di Saudi. Segala apa yang terjadi dilaporkan ke pak Fuad, saya tidak tahu, apa reaksi pak Fuad atas kejadian yang menimpa kami ini. Mas Faiq yang bersama kami akhirnya membuka sedikit kartu kenapa tukang kebun itu seperti ada dendam kepada kami. "Dulu di madrasah ini ada 100 teman-teman Mesir yang takhaluf (tinggal di Saudi sampai datang musim haji), bayangkan, 100 orang tinggal bareng di sini, ada kemungkinan, mereka pernah membuat kesalahan dengan tukang kebun yang ada di sini, sehingga dia masih dendam setiap ada teman-teman dari Mesir berkunjung ke sini, itu perkiraan saya, tapi ya wallahu a'lam, siapa yang tahu isi hati manusia, kita doakan saja, semoga lekas diberikan kesadaran", kata mas faiq mantap. Kami pamitan keluar gedung jalan kaki bersama, karena kata bang hadi, tempat yang pertama hendak kami kunjungi ini tidak terlalu jauh. Saya manut saja, mereka lebih berpengalaman dan lebih tahu. Ya, kalo seperti ini kejadian-kejadian yang dilalui, pantas saja kalo saya menyebut perjalanan ini sebagai umroh koboy, mesti berpetualang dulu sebelum mendapatkan hasil manisnya. Kesusahan jika nanti dikenang, akan membuat kita menertawakannya, sebaliknya, kebahagiaan jika kita nanti mengingatnya, akan malah membuat sedih. Seperti itulah siklus kehidupan di dunia. Berlanjut ke catatan berikutnya. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan
KEMBALI KE ARTIKEL