Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Umroh 2011 : Berburu Musa'adah Jeddah (32)

8 Oktober 2011   00:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:13 287 1
[caption id="attachment_140228" align="alignnone" width="640" caption="Masjid ukkaz, sebelum perburuan di Jeddah (Foto : irfan islami)"][/caption] Melewati trotoar-trotoar depan toko, kami berjalan bersama. Dandanan kami santai saja, malah terlihat seperti santri, santri yang nyasar sampai ke luar negeri, di Saudi. Dengan kaos, jeans di bawah dan memakai kopiah bundar putih. Walaupun kendaraan ramai, jarang ada orang lewat di trotoarnya, mungkin karena puasa, makanya malas, tapi orang arab emang malas jalan kaki, itu setahu saya. Kami sudah tidak peduli ketika ada orang memandang dari dalam tokonya. Mungkin, mereka berfikir, "dari mana kita dan akan ke mana, siang-siang berjama'ah jalan kaki, orang asing pula". Lumayan jauh ternyata, tapi gak boleh minum dan makan. Eman, ini sudah masuk 10 akhir di bulan ramadhan. Pahalanya udah berlipat-lipat jika bisa istiqamah tetap dalam ibadah. Saat ada gedung bertuliskan "trading centre", kami berhenti. Rupanya gedung ini memang tujuannya. Bang Hadi meminta satu persatu pasport yang kami bawa. Ya, untuk bisa mendapatkan musa'adah (bantuan), kami mesti menunjukkan pasport, tanpa ini, jangan berharap bisa cair, termasuk ketika ditanya, "siapa anda?", jawabnya : mahasiswa, namun lucunya, kami gak pernah membuka kartu kalo dari al-azhar, malu lah, masak al-azhar minta-minta. Saya bersama yang lain menunggu di luar walaupun udaranya panas. Bang Hadi dan dua orang masuk ke dalam gedung dan langsung berjalan bersama orang-orang arab menuju ke dalam lift, saya gak tahu mereka mau naik ke lantai berapa. "Masuk yuk, di dalam sepertinya nyaman", hendar mengajak saya. Kursinya seperti tidak terurus, padahal ini adalah kantor pusat dagang. Di dekat pintu masuk ada yang jaga, ada dua orang. Mereka cuek saja saat kami bersama memasuki gedung. "Coba, ada wifinya gak?", saya membuka blackberry dan coba cari gratisan internet lewat wifi. Namun, terkunci dan saya tidak bisa membukanya. Tiba-tiba, di samping saya ada orang arab hendak merebut hp saya, saya kaget, karena memang tidak tahu. Ah! dia tersenyum, mungkin sekedar untuk bercanda saja. Setelah itu dia berlalu dan duduk di sebelah kanan saya, di kursi yang agak jauh. Mungkin, dia melihat saya terlalu serius, sehingga dia kerjain. Di atas meja ada sesuatu yang menarik perhatian saya, saya buka, ternyata buku belanja dan daftar harga-harga barang supermarket. Hmm, mahal-mahal juga ternyata. Hampir setengah jam kami nunggu. Entah apa yang diobrolin oleh bang hadi, dkk yang ada di lantai atas. Memang, untuk bisa mendapatkan bantuan, kami mesti melobi dahulu, maklumlah, tidak semudah membalikkan telapak tangan, mesti ada perjuangan, harus selalu melakukan "mujamalah", bermanis-manis kata, terlebih dahulu, baru bisa diterima dan keluar duitnya. Lift terbuka, mereka keluar dengan ekspresi wajah biasa saja. Kami mengikuti mereka keluar ruangan. "Wah, gak cair, katanya suruh ke sini lagi nanti tanggal 29 ramadhan. Dilobi tetap tidak tembus", kata bang hadi yang diselingi dengan penjelasan mas faiq. Ya udahlah, berarti belum rejekinya. Kami berlima belas, berarti harus 3 taxi, setiap taxi diisi lima orang. Di depan gedung trade center, beberapa taxi selalu berhenti menawari kami, yang kami butuhkan cuma 3, tapi taxi yang berhenti ada lima, mereka berebut untuk mencari penumpang, tetap saja, sopirnya bukan orang arab. "Asyrah", 10, teman-teman menawar sepuluh riyal. Sopir oke, taxi yang lain juga oke. Kami jalan beriringan. Katanya sih menuju tempat berikutnya. Di salah satu kantor pos di wilayah Jeddah. Rupanya, kantor pos di sini juga memberikan bantuan. Bang hadi tetap menjadi orang nomor satu yang memberikan informasi dan menjadi guide perjalanan kali ini, sehari berburu bantuan di Jeddah. Di sebuah gang dan sepi, kami berhenti. Semuanya turun dan membayar taxi masing-masing. Hampir semua bangunan di wilayah Jeddah memang tertutup. Apartemen-apartemennya di kelilingi dengan pagar tinggi, sehingga kehidupan di dalam tidak ada yang tahu, konon, ini juga yang menjadi salah satu penyebab kenapa KDRT jarang terungkap. Termasuk tempat yang kami datangi juga dikelilingi dengan pagar dan dari luar tidak tahu kalo itu adalah kantor pos. Seluruh pasport kami ditunjukkan ke petugas di dalam kantor pos. Entah apa saja yang dikatakan bang hadi kepada mereka. Saya dan teman-teman yang lain, duduk menunggu di dekat pintu gerbang. Banyak kipas angin besar di sana, tapi wong udaranya panas, walaupun kipas anginnya jumbo, tetap saja terasa panas di kulit dan terasa menyengat. "Zul, minta tolong, pijat sebentar dong, kakiku sakit banget!", saya memanggil Jazuli. Tadi siang, ketika saya turun dari tangga di madrasah NU Nashiriyah, kaki saya terpeleset dari tangga dan sampai saat ini masih terasa sakitnya, sepertinya terkilir. Sambil menunggu dalam kepanasan, kaki saya dipijitin oleh teman saya, Jazuli, dia baik hati dan tidak sombong, kalo suka menabungnya saya tidak tahu. hehe. Setiap dari kami dipanggil. Satu persatu disuruh tanda tangan dan pasportnya dilihat oleh petugasnya. Dia mencocokkan, sama gak wajah aslinya dengan yang ada di pasport, ketika mantap, setiap dari kami dikasih uang 50 reyal. Masalahnya, ada beberapa teman yang nitip pasport dan orangnya gak ikut, teman-teman mencari cara gimana uang tetap cair dan tidak terjadi masalah. Kami tertawa di belakang atas ulah teman-teman. Untuk yang hanya nitip pasport, teman-teman membuat akal-akalan. Setelah dia mengambil uang, dia langsung lari ke belakang, ganti baju, surban dan penutup kepala, wajahnya sedikit ditutup dengan surban. Ketika nama teman yang tidak ikut dipanggil, dia maju dan tanda tangan lagi, sekaligus mengambil uang. "Orang arab memang sulit membedakan wajah kita, orang asia, kata mereka mirip-mirip", kata teman-teman di belakang. Seluruh pasprort yang dititipkan uangnya cair, kecuali satu pasport, karena dia cewek dan gak boleh. Saya masih menertawakan aksi teman-teman yang nemu aja idenya gimana bisa membantu teman yang lain yang tidak ikut, tapi mereka tetap bisa mendapatkan bantuan. Urusan kayak gini, mereka emang kreatif. :-) "Mulai saat ini, seluruh biaya naik taxi, kita ambilkan dari uang teman-teman yang gak ikut jalan", kata bang hadi. Ya, mesti adil, mereka hanya nitip pasport, sehingga mesti ikhlas kalo bantuannya kami potong untuk biaya naik taxi. Baru jalan saja, hari sudah hampir sore dan hendak memasuki waktu ashar. Kami ingin istirahat dahulu, kembali ke masjid 'Ukkaz. "Kita shalat ashar di masjid Ukkaz, setelah ashar, nanti biar diantar oleh khairan untuk menunjukkan tempat teman-teman gelombang pertama kemarin yang dapat bantuan", kata bang hadi. Kami mencegat 3 taxi, seperti yang pertama, setiap taxi diisi lima orang dan kami kembali ke markaz awal, sudah malas untuk ke madrasah Nashiriyah lagi, masih trauma dengan kejadian gelandangan tadi malam. "Langsung aja yuk", mas faiq langsung mengajak kami jalan ketika kami berhenti di dekat masjid 'Ukkaz karena memang waktu antara adzan dan iqamat masih lumayan lama. Saya ikut saja. Kami diantar oleh ulin dan tirmidzi yang sudah mendapatkan bantuan terlebih dahulu kemarin. Toko-toko sudah tutup sementara karena pedagangnya pergi ke masjid, kami berjalan menembus jalan-jalan kecil yang dipenuhi dengan barang dagangan dan keluar menuju jalan raya, melewati trotoar-trotoar yang banyak mobil mewah terparkir. Saya merasakan gak enak dengan udara yang saya hidup, kotornya udara begitu terasa dan tenggorokan terasa gatal. Udaranya juga begitu menyengat, kulit saya yang hitam, makin terasa tambah legam. Di dekat masjid dekat dengan pusat grosir toko yang menjual sepatu, kami berhenti. "Kata bang hadi, gedungnya dekat dengan pusat grosir sepatu", mas faiq angkat bicara. Dia mencoba menelpon bang hadi dan suruh mencari. Semua toko masih tutup, mereka semua berjama'ah shalat ashar di masjid dekat gedung. "Kita shalat dulu yuk", aja mas irfan. "Ya, nunggu selesai dulu, itu penuh sekali", kata yang lain. Jama'ah memang penuh, sampai banyak dari mereka yang shalat di pelataran depan toko dekat masjid. Saat mereka bubar, kami masuk ke dalam masjid dan membuat shalat jama'ah sendiri. Wudlu saya sudah batal, ketika saya ke tempat wudlu, air wudlunya mati. Terpaksa, saya dan teman-teman yang tidak punya wudlu menggunakan sisa air kran yang masih sedikit sekali, yang penting sebisanya tetap bisa wudlu. Ngirit air. Mas Faiq mencoba bertanya orang di luar masjid, usai shalat dan komunikasi lagi dengan bang hadi. Kami berjalan cepat keluar dari area gedung dan menuju gedung yang lain. "Ya, di sini, tapi saya lupa di lantai berapa", ulin menimpali. Tirmidzi langsung menunjukkan kami arah-arahnya. Kami naik lift dan berhenti di lantai 3. Keluar lift, rupanya banyak bapak-bapak tua sedang duduk di lantai dan mereka juga sedang menunggu bantuan. Haduh!, mas faiq tetap saja menuju ke kantor perusahaan yang hendak kami tuju, dia masuk dan melakukan nogosiasi. Awalnya, petugas menolak, namun setelah kami menjelaskan panjang lebar, dia luluh. "Ba'da sa'ah, yiji hina, dil wa'ti, syeikh istirahah", setelah satu jam ke sini lagi ya, syeikh pemilik perusahaan masih istirahat. Oke. Kami ke bawah lagi, di lantai satu gedung ini ada masjidnya. Kami masuk ke dalamnya, saya berniat i'tikaf dan banyak dari teman-teman yang membaca al-qur'an, namun baru 10 menit kami duduk, pengurus masjid sudah menyuruh kami untuk keluar masjid. Kata dia, masjid ditutup dan buka lagi nanti ketika hendak memasuki waktu maghrib. Terpaksa, salah satu dari kami ke atas, dua orang, melakukan lobi lagi. Entah yang dikatakan mereka, kami diterima. Kami disuruh ke sana semua dan menunggu di ruangan di dalam, biar orang-orang tua yang menunggu di luar tidak iri saat kami masuk. Ternyata di sinilah kami bertemu dengan karyawannya yang orang Indonesia, dia dari Madura. Kami berkenalan, dia sudah dua tahun bekerja di perusahaan ini. Kami melihat-lihat baju. Hmm, banyak yang batik. Memang, banyak produk yang mereka jual, rata-rata diimport dari Indonesia. Ada satu baju yang membuat saya heran, ketika dipegang dan dikucek-kucek, langsung keluar aroma wangi sekali darinya, "itu import dari Bandung mas", kata penjaganya. Indonesia memang keren. Setelah menunggu lumayan lama dan bercerita banyak tentang keadaan orang-orang Indonesia yang ada di Jeddah bareng karyawan itu, kami dipanggil menghadap ke syeikh si pemilik perusahaan. Kami menyalami beliau. Setelah salaman, setiap dari kami dikasih uang 100 reyal. Alhamdulillah, lumayan. Kami langsung menuju tempat berikutnya. Berputar-putar di jalan, waktu terasa cepat, saat di salah satu tempat di Balad, di pusat elektronik, mas irfan menyapa saya, "kita langsung pulang ke Makkah yuk", "Ayo, saya juga capek", jawab saya. Di pusat elektronik, ketika kami mendatangi kantornya ternyata sudah tutup, batas maksimal jam 4 sore, kami ke situ sudah hampir maghrib. Saya, mas irfan dan ada yang lain memohon pamit ke teman-teman yang mau melanjutkan perburuannya. Kami sudah ingin fokus ibadah lagi di Makkah, sudah kangen dengan ka'bah dan masjidil haram. Kami berempat langsung pulang, namun, sebelumnya kami ingin buka puasa di bakso mang udin, dari Balad ke Qornish, tidak begitu jauh, sehingga kami memutuskan untuk jalan kaki saja, sekalian menunggu waktu maghrib tiba. Kami jalan menembus ramai dan riuhnya pertokoan Balad. Berlanjut ke catatan berikutnya. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun