Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Bau Anyir Penjara Bawah Tanah

24 Oktober 2011   01:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:35 1042 2
[caption id="attachment_143484" align="alignleft" width="277" caption="Penjara (ilustrasi by google.com)"][/caption] Gami' masih seperti biasanya. Di pertigaan yang dulu pernah dibuat shooting untuk pembuaatan film Indonesia KCB masih banyak ibu-ibu Mesir yang membeli sayur. Di depannya penjual ikan masih terlihat santai, jarang ada pelanggan yang mendatanginya di siang ini. Aku bersama temanku rencananya mau ke warung teman-teman Banten yang letaknya tidak jauh dari warung Bang Uncu yang hanya berjarak 30 meter dari tempatku berdiri sekarang. Wilayah Gami' di Nasr City ini terkenal dengan jantungnya kehidupan masyarakat Indonesia yang ada di Mesir. "Fein pasport?", aku kaget, dari belakang ada beberapa orang Mesir memakai seragam lengkap tentara bersenjata AK 47 mendatangi kami menanyakan "mana pasportmu?". Ah! nasib, sudah tiga bulan pasportku dan temanku mati dan sengaja kami tidak memperpanjang karena sudah ada rencana pulang ke Indonesia. "Ma'lish, maujud fil bait", maaf, ada di rumah. Para militer itu nerocos mengataiku dengan bahasa yang gak enak dan menyuruh anak buahnya menggiring kami ke mobil bak terbuka yang mereka bawa. Fikiranku sudah buyar. Ini pertamakalinya aku digelandang militer. Belum lama aku dan temanku dinaikkan ke mobil itu, para militer itu dengan mudahnya mendapatkan mangsa lagi, ada 4 orang Malaysia, ada orang Rusia, Thailand dan ada lagi dua orang Indonesia, kasusnya sama, izin tinggal visa yang sudah habis. Layaknya para pesakitan, kami ditodong dengan banyak senjata AK 47. Walaupun di mobil bak terbuka ini ada banyak orang, aku gak bisa membohongi hatiku kalau saat ini aku kalut, fikiranku menerawang ke mana-mana. Kalo sampai aku lolos hingga ke penjara bawah tanah, apa benar nasibku akan sama dengan teman-teman Indonesia yang pernah menembus tembok dinginnya. Belum lama ada 3 teman Indonesia yang masuk ke sana dan trauma itu sampai kini masih mereka rasakan. Aku melihat teman-teman yang duduk di dekatku, aneh, wajah mereka biasa saja. Atau mereka sengaja menyembunyikan ketakutannya dariku. Tiba-tiba dari kejauhan ku lihat ada dua orang. Oh, itukan wakil presiden teman-teman Indonesia di Mesir. Cepat sekali kabar itu. Dia mengejar kami saat mobil hendak keluar dari kawasan Musallas menuju jalan raya utama Nasr City. Bahkan, satu orang mencegat ke depan mobil. "Pemimpin yang tanggung jawab", batinku. Mereka berdua negosiasi untuk melepaskan kami teman Indonesia yang tertangkap razia siang ini. Tidak lama. Komandan dari pasukan ini tidak sabar dan dingin saja wajahnya. Dia tidak respek atas apa yang dilakukan oleh wapres itu. Ah! lagian apa begitu mudahnya komandan itu percaya ama mahasiswa yang masih muda yang berusaha membela teman-temannya. Aku mencoba menghubungi beberapa teman-teman untuk menghubungkan ke KBRI dan yang lainnya menyebarkan berita lewat situs jejaring sosial agar teman-teman yang hendak keluar agar ikut hati-hati, siapa tahu giliran mereka berikutnya yang kena ciduk. Wajah-wajah dari beberapa orang yang memegang AK 47 di dalam mobil ini menatap kami. Ternyata memang benar, kemarin aku membaca di salah satu status di forum jual beli teman-teman Indonesia di Mesir bahwa sejak dua hari yang lalu pemerintah mengumumkan secara tegas, bagi siapa saja yang tidak memiliki izin tinggal (visanya habis) atau yang bekerja tanpa memiliki visa kerja dan ketahuan, maka akan mendapatkan hukuman dan berakhir dengan deportasi. Aku gak terlalu bermasalah jika nantinya di deportasi, namun yang aku takutkan adalah apa yang terjadi sebelum dideportasi. Tiga temanku yang duduk tidak jauh di sebelahku sejenak ku pandangi wajahnya. Ternyata ada ekspresi rasa takut di sana. Mereka juga memencet beberapa nomor telpon untuk menghubungi beberapa temannya. Tidak berhasil. Komandan itu langsung membawa kami menembus jalan raya yang padat dari Nasr City, melewati Hayyu Sabi', tembus ke awwal sabi' dekat berdiri megahnya kampus putri universitas Al-Azhar. Mobil berbelok ke kanan dari dekat kampus putri dan menembus jalan yang lebar dan sepi hingga ke dekat tugu kenangan tempat ditembak matinya mantan presiden Anwar Sadat. Masih banyak para penjaga di sana yang jika dilihat sekilas hanya layak disebut patung karena mereka berdiri dan tak bergerak, tapi ada yang beda, sekarang warna mereka lorek-lorek kuning, dulu berseragam hitam, berarti mereka militer bukan polisi. Lalu mobil naik dan melewati jalan layang 6 Oktober yang konon inilah kenang-kenangan atas kemenangan dan kontrak damai antara Mesir dan Israel pada tahun 1973 lalu. Orang-orang yang ada di mobil pribadi sesekali menoleh kami. Entah apa yang ada di dalam otak mereka. Kami adalah anak-anak muda, orang asing, di gelandang di mobil bak terbuka, di kelilingi oleh para militer dengan senjata AK 47. "Teroriskah aku?!", fikiranku mulai ngawur. Salah satu dari kami mendapat telpon. Pihak KBRI sudah langsung menghubungi pembesar di militer. Wapres dari PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia) yang tadi mengejar kami juga ternyata melacak keberadaan kami. Dia tadi tidak begitu saja melepas kami. Dia meminta kontak komandan yang membawa kami dan mengikuti kami dengan mobil sewaan dari rental mobil teman-teman Indonesia. Di Ramsis macet, ada pertemuan beberapa ruas jalan. Sisi kanan banyak kendaraan yang juga ingin naik ke jalan layang. Ada beberapa polisi lalu lintas yang berjaga. Aku merasa asing. Padahal biasanya, jalan ini sudah tidak asing bagiku ketika aku bersama kawan-kawan hendak menuju Dokki, tempat sekolah Indonesia berdiri, aku lewat sini. Mungkin karena saat ini aku pesakitan, ada rasa malu saat ada mata-mata penuh keheranan menatap kami. Kami dibawa ke mahkamah di Tahrir. Halaman luas yang ada di depan gedung imigrasi ini sudah sepi. Halaman itu adalah saksi bisu tumbangnya pemerintahan otoriter kemarin. Beruntung, tidak ada borgol di tangan-tangan kami. Kami hanya digiring untuk turun dari mobil dan langsung dibawa masuk ke dalam gedung yang megah itu. Orang-orang yang sedang santai di depan halaman luas Tahlil memandangi kami. "'indak iqamah?", kamu punya visa?, mulailah dari kami diinterogasi satu persatu. Aku mendapatkan giliran nomor 4 dari seluruh orang yang berjumlah 10 orang yang 4 orang berkewarganegaraan Indonesia. "Kamu punya visa?", kata dia. Orang yang bertanya di depanku berbadan tinggi, agak gemuk, botak, wajahnya garang walaupun ada keteduhan di sana, mungkin karena aku mahasiswa Al-Azhar dan sudah terkenal kalo orang Mesir hormat dengan para mahasiswanya. Aku agak takut dan ku kuat-kuatkan untuk biasa saja. "'Afwan ya ustadz, laysa 'indy iqamah", dengan bahasa arab resmi aku menjawabnya dengan menundukkan kepala. "Maaf pak, tidak ada". Mau gimana lagi. Entah perkataan apa saja yang dikatakan komandan di depanku ini. Seorang temannya yang pada awalnya hanya memandangiku, akhirnya juga ikut komentar. Intinya, memarahi, berani-beraninya jalan-jalan di negara orang, hidup di negara orang tanpa adanya izin tinggal. "Dzih musy baladak, yabniy!!", dengan membentak dia berkata, "ini bukan negerimu!!", matanya melotot. Aku hanya bisa bilang maaf, maaf dan maaf. Dua temanku selamat. Dia punya visa, cuma pasportnya tadi tidak mereka bawa ketika jalan-jalan di kawasan gami'. Temanku yang satunya hampir sama dengan aku. Saat wapres dan didampingin pejabat KBRI datang, dua temanku langsung bisa dibawa pulang dan bebas. Kami digelandang lagi, kabarnya harus menerima hukuman. Saat aku tanya ke mana, "penjara bawah tanah di Qonatir", kata wapres PPMI yang mendampingi kami. Duh! aku langsung mendongakkan kepala dan memelototkan mata ketika mendengar kalimat "penjara bawah tanah". Bau anyir darah, pengap, pesing, gelap, menakutkan menggelayut dalam kepalaku. Ini adalah pengalaman pertama aku akan merasakan seperti apakah penjara bawah tanah Mesir. "Sabar ya, kita akan berusaha terus untuk mengeluarkan antum secepatnya", kata seorang pejabat KBRI yang mendampingi kami. Dia sebelumnya sudah berusaha negosiasi dengan pembesar di tubuh militer Mesir, namun karena kami melanggar hukum, kami mesti mendapatkan balasan terlebih dahulu. Terpaksa. Aku ikhlas. Kami dibawa mobil layaknya tahanan dan memang benar-benar tahanan kali ini menuju sebuah penjara dekat sungai Nil di Qonatir yang terletak sekitar 30 kilometer dari Cairo. Di tengah perjalanan, aku gak bisa mengendalikan fikiranku yang melayang memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak patut ada di otak, tapi mau gimana lagi, aku fana dalam lamunan gelapnya suasana penjara bawah tanah. Temanku hanya diam dan memejamkan mata. 5 hari kami dipenjara. Apa yang ada di fikiranku tentang begitu menakutkannya penjara bawah tanah tidak sepenuhnya benar. Mungkin karena saat ini memang sedang dalam pemerintahan sementara, mereka tidak berani mendzolimi orang asing. Kami dipenjara dan diberi makan secukupnya, walaupun, aku tetap takut, aku tetap merinding melihat deruji-deruji besi yang ada di depanku, aku tidak tau malam dan siang. 24 jam yang ada hanya gelap, hanya ada lampu kuning kecil yang menjadi teman sehari-hari. Sudah beberapa kali kami mendapatkan kunjungan dari beberapa pejabar KBRI dan mereka berjanji mengeluarkan kami secepatnya. Kabar terakhir yang tadi siang mereka berikan kepada kami adalah kami tidak bisa diselamatkan. Mereka sudah membookingkan pesawat Ettihat miliknya Abu Dabi untuk kami dua orang. Secepatnya kami akan dideportasi, Mereka minta maaf, itu adalah jalan terakhir dan terbaik. Sebenarnya aku sedih karena harus meninggalkan Mesir lebih cepat dari yang diperkirakan. Tapi apa daya, aku juga tidak betah berada diantara bau anyir sejarah yang ada di penjara bawah tanah ini. Dua hari berlalu. Kami dibebaskan dan barang-barang sudah dipersiapkan semuanya. Rupanya teman-teman sudah menyiapkan barang-barangku yang ada di rumah. Kami langsung diantar ke bandara dan meninggalkan negeri ini. Aku tidak bisa menyembunyikan cairan basah yang menetes dari sela-sela mataku. Beberapa hari di penjara, aku gak bisa tidur. "Selamat tingggal Mesir", bisik hatiku. Yah, inilah akhir dari perjalananku empat tahun di negeri Musa ini. Aku berusaha mengikhlaskannya, mungkin inilah yang tertulis di Lauh Makhfudz (catatan Tuhan) yang sudah ditetapkan di sisiNya. Aku hanya berharap bisa mengambil manfaat dari semuanya. Di Bandara kami berpelukan dan kisah ini takkan ku lupakan sepanjang masa. ======================================= Fiksi terinspirasi dari kisah nyata beberapa waktu lalu yang menimpa salah satu teman Mahasiswa Indonesia di Mesir. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun