Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Kasihan Cleopatra

6 Juli 2010   10:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:03 675 0
[caption id="attachment_186934" align="alignnone" width="500" caption="Pesona Cleopatra (Foto : Burgal van Jogja)"][/caption] Kerinduan begitu dalam kurasakan saat ini, sungai nil menjadi pelarianku. Malam ini aku dengan ditemani sepi pergi ke sana, berharap kerinduanku bisa terobati dengan keindahan riak-riak dan pemandangan asri di sekitar sungai yang pernah menjadi obat rindu para Cleopatra. Aku rindu mak, aku rindu bapak, aku rindu saudara-saudaraku yang ada di sana. Jauh dari mereka untuk mendapatkan setitik 'air' langit memang berat. Cairo masih seperti biasanya, berjalan sendiri di kawasan Garden City aku melongok ke salah satu cafe. Cafe apung yang ada berada tepat di nil. "excuse me", aku menyapa salah seorang penjaga cafe yang berada di mulut pintu, bertanya sekaligus memesan syisha untuk menjadi teman sepiku, ya sepi dalam keramaian malamnya Cairo. Aku juga memesan juz buah mangga kesukaanku. Tak sengaja, dekat kursi tempat aku duduk, ada seorang perempuan. Kebetulan dia sendirian tanpa seorangpun menemani. Sinar matanya tajam, namun seperti ada titik kesedihan di sana. Entah mengapa aku memiliki keinginan untuk sekedar bersapa dengannya. Berdiri dan mendekat aku menyapanya, "can i seat here?", seseorang yang menggunakan bahasa inggris di kota ini lebih dihormati daripada yang memakai bahasa arab. "Tafaddol", hmm..tak menyangka kalau akhirnya dia mempesilahkanku dengan ungkapan bahasa arab, mungkin dia tahu kalau modelku adalah wajah mahasiswa. Dia cuek tidak peduli dengan kehadiranku. Dia sibuk menyedot rokoknya yang tertulis di sana dengan jelas "Marlboro". Aku nyelonong aktif berbincang dengannya dengan pertanyaan general yang tidak menyinggung kehidupannya sama sekali. Sesekali aku bercanda tentang orang Mesir yang humoris, tentang film 'adil imam yang dalam adegannya suka bermain dengan wanita namun dalam bahasanya ada kritik sosial yang dalam. "Pernahkah kamu disuruh menikah oleh orang tuamu?". Aku kaget!, pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Sebuah pertanyaan yang nggak nyambung dari topik yang sedang aku bahas. Dengan senyum, ku katakan kalau adat di mana aku tinggal di Indonesia, orang tua sudah memberikan kebebasan dan pilihan untuk menentukan siapa nantinya calon yang bisa dijadikan seorang istri. Memang masih ada sistem jodoh-jodohan antar keluarga, namun itu sudah sedikit. Mungkin hanya orang-orang yang masih setia dengan tradisi tertutup yang diwariskan dari nenek moyangnya. "Tafaddol ya Shodiq", seorang pelayan memberikan syisha dan pepsi pesananku. "mutasyakkir awi ya fandim", "makasih banyak mas". Ehh.."My name is Mushtofa". Aku lupa memperkenalkan diri dengan cewek yang dari tadi ku ajak ngobrol ini. Aku terlena dengan pesonanya. Dia juga memperkenalkan namanya sambil mengeluarkan asap rokok yang sudah ada di mulutnya. "Amany", jawabnya. "good name". Jawabku yang juga singkat. Ku lanjutkan kisah tentang adat perkawinan yang ada di Indonesia. Aku heran, antusias sekali dia mendengarkan penjelasanku. "Berbeda dengan apa yang aku alami", potongnya di tengah keseriusanku menceritakan kisah pernikahan seorang sahabatku yang mulus yang dulunya adalah pacarnya. Giliran amany bercerita tentang masa lalunya. Ternyata dia bukan anak orang yang miskin, keluarganya kaya walaupun tidak kaya raya. Masa kecil dilewatinya dengan penuh kebahagiaan. Dia anak tunggal dari seorang ayah yang bekerja di perusahaan petroleum dan ibunya seorang dosen di salah satu universitas ternama di Mesir. "Aku bahagia saat itu. Musibah datang pada saat aku lulus S1 sarjana ekonomi", lanjutnya. "Musibah??", penasaranku keluar. "yeah..bukan lagi musibah, tapi kiamat yang telah menghancurkan asaku, merubah kehidupanku hingga aku menjadi seperti ini. Aku lari dari masalah dengan menyendiri merokok di cafe di nil ini setiap malam berharap mendapatkan ketenangan sebagaimana dulu Zulaikha memperolehnya, walaupun kisahku jauh dari kisahnya. Aku orang yang justru sengsara karena cinta". "Ahh..cinta. Lagi-lagi kata ini yang menjadi justifikasi", sambil menyedot syisha rasa mangga dan mengeluarkan asapnya aku mengomentari perkataannya. "Menurut tebakanku kau sekarang sedang dijodohkan dengan seseorang", kataku. "Ya, tetapi bukan itu sebenarnya yang menjadi masalah. Ayah dan ibuku yang selama ini menyayangiku dengan tulus ternyata tega 'menjual' diriku kepada seorangĀ  'bajingan' yang memintaku". Dari sorot matanya dapat kubaca kalau amany sangat marah sekali mengucapkan kata ini. "Bagaimana mungkin kau menyebut calon suamimu sebagai bajingan, yang aku kenal selama ini, orang Mesir adalah orang yang sangat baik, mereka seperti Musa yang keras tapi santun, mereka seperti Yusuf yang kalem dan bijaksana". "ahh..sudah berapa tahun kau di Mesir?", potongnya. "Satu tahun". "Masih satu tahun sudah berani menyimpulkan. Menikahlah dengan orang Mesir dan kau akan tahu semuanya". "hahaha...", aku tertawa dengan ledekannya, bukan ledekan, tetapi aku geli saja dengan jawabannya yang menjadikanku mati kutu. Aku sok tahu. "Kamu perlu tahu. Calon suamiku adalah pemilik perusahaan semen di Mesir itu. Kau tahu sendiri, dalam hal pembangunan, negara ini paling jago. Di mana-mana selalu ada proyek pembangunan apartemen dan villa dan semua semennya mengambil dari perusahaan semen yang ia miliki. Dia kaya raya". "Lalu kenapa kamu tidak mengiayakannya. Kenapa kamu malah bersedih dan berlarut dalam kehidupan yang justru membuatmu bertambah stres. Aku akui, kamu itu cantik Amany. Kamu adalah gadis Mesir yang menurut penilaianku, penilaian dari orang asing yang baru saja mengenalmu, kamu adalah gadis yang berkarakter". "haha..semua orang mengakui itu. Masalahnya aku akan dijadikan istri keempatnya dan secara umur dia sudah pantas menjadi ayahku bukan ayah dari anakku nanti, dia itu 57 tahun", jawabnya sambil melototkan matanya tepat ke arah mataku. "Terus kenapa ayahmu rela 'menjualmu' kepadanya?", aku ikut-ikutan emosi dengan memakai kata 'menjual. "Kamu tahu sendirilah, seperti apa orang Mesir itu. Ayahku mengorbankanku demi kesejahteraan keluargaku, demi keponakan-keponakanku. Demi tujuh turunanku. Demi ambisinya untuk menjadikan gunung harta setelah aku menikah dengannya. Demi menjauhi kata "miskin"". "Ohh", Aku mengelus dada. Anggapanku salah besar selama ini. Mesir ternyata bukan hanya Musa, bukan hanya Yusuf. Aku baru ingat di sini adalah tempat dilahirkannya Fir'aun, tempat dulu bani Israel suka melanggar perintah nabinya, tempat fir'aun yang menantang Tuhan dan menganggap dirinya tuhan. Mesir, segalanya ada di dalamnya. "Aku ikut bersedih atas masalah yang menimpamu ini", aku hanya bisa mengucap kata ini di tengah kemarahannya atas perjodohan karena uang ini yang menjadikan Amany sebagai korban. Ku sedot syisha dalam-dalam sambil sesekali melongok pemandangan malam nil yang semakin indah. Kutengok jam sudah menunjukkan angka 11 malam. Amany dengan santai mengulurkan tangannya padaku, "Aku mau pamit, aku akan pulang", ucapnya. "Pulang ke mana?", jawabku basa basi. Dengan senyuman manis yang mengembang dia menjawab dengan ungkapan yang membuat aku lagi-lagi kaget, "Aku akan pergi ke negara yang adatnya menghormati perempuan, ke negara yang tidak pernah menjual perempuan, aku mau pergi ke negaramu. Aku akan cari rumahmu". "hah!". ______________________________________________ Catatan fiktif dari budaya fakta. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan *Foto dari seorang sahabat di sini

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun