[caption id="attachment_70099" align="alignnone" width="500" caption="Lare Osing (LAROS) Banyuwangi di Cairo, Mesir"][/caption] Cuaca yang kurang bersahabat di Cairo, Mesir tidak menyurutkan sedikitpun langkah shilaturrahim persaudaraan teman-teman dari Banyuwangi. Pada hari minggu ini, teman-teman laros (lare osing) berkumpul di rumahku di Tubromli, Nasr City. Salah satu tujuan perkumpulan ini adalah temu kangen dan memperluas jaringan persahabatan dan persaudaraan. Kali ini laros mengundang Jember. Jember sebagai wilayah paling dekat dari Banyuwangi menjadi incaran utama untuk memperluas jaringan seduluran. Alhamdulillah di acara kumpul-kumpul santai kali ini Jember mewakilkan utusannya yang berjumlah lima orang dan mereka berasal dari kecamatan yang berbeda-beda. Manusia adalah makhluk sosial, setidaknya inilah salah satu isi sambutan yang disampaikan oleh sesepuhnya laros Cairo. Selama ini ketika ada alumni Cairo pulang ke Indonesia, ada beberapa kasus dari mereka yang kesulitan membangun sebuah jaringan di Indonesia. Padahal ilmu mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi seperti itulah kenyataannya, walaupun masyarakat membutuhkan peran mereka, jika peran itu dipikul sendiri tanpa ada seorang teman atau sahabat yang bisa dijadikan sebagai kawan berbagi, tentu akan terasa berat. Setidaknya ini juga menjadi alasan kenapa aku dan teman-teman lare osing Cairo mengundang teman-teman dari Jember yang ada di cairo. Kami hanya ngobrol-ngobrol ringan. Tidak ada diskusi berat, tidak ada beban untuk beradu argumen yang kadang membuat salah satu pihak sakit hati, semua mengalir apa adanya, sebuah persahabatan yang terlukis seperti air bening. Selesai ngobrol ngalor ngidul, tiba saatnya untuk makan-makan. Memang kurang afdol kalau ada pertemuan seperti ini tanpa disertai makanan. Kata seorang kawan, "ramah tamah tanpa disertai ramah mamah akan kurang menjadi ramah", ada juga yang mengatakan, "logika tanpa logistik akan buntu". Setidaknya dengan adanya makanan akan menambah suasana keakraban yang terjalin. Sambil makan bakso garapan tangan berpengalaman di restoran Indonesia di Cairo yang bernama Oyik Murgana, nama yang keren, entah dari mana temanku yang satu ini bisa dipanggil dengan oyik, katanya sih pemanggilan ini sejak dia masih di pesantren dulu. Kami tetap ngobrol santai, ada yang mulai cerita dan "gojok-gojlokan" dengan yang lain. Pak lurah laros datang terlambat, dia sering dipanggil Erza. Sebagaimana yang aku kenal, mas erza ini dalam masalah shilaturrahim sangat jago. Rasa humoris yang dia miliki begitu mudah menarik simpati orang lain. Aku pernah mendengar dari seorang sahabatku yang berkata, "seorang yang memiliki jiwa humoris tidak akan pernah kehabisan stok teman". Aku juga melihat karakter itu pada mas erza, di facebook dan yahoo massanger, dia tidak pernah kehabisan "pasien", sekali chating, semua bisa dia abaikan. Sambil makan-makan santai ini, mas erza bercerita tentang sedikit sejarah kota banyuwangi, tapi yang diangkat dari sisi salah satu pahlwannya yang bernama Prabu Minak Djinggo. Selama ini yang aku tahu, beliau minak djinggo adalah seorang raja di bumi Blambangan dan terkenal sekali dengan makannya yang porsinya selalu berlebih alias makannya banyak sekali. Tapi kali ini ada seorang kawan laros yang bernama Yossi yang katanya rumahnya dibelakang kantor DPR Banyuwangi, bahwa beliau minak djinggo merupakan raja yang play boy, beliau ditugaskan kerajaan Majapahit di kota paling pojok di Jawa salah satu alasannya karena ini, biar tidak terlalu banyak gadis di kawasan keraton Majapahit yang menjadi korban. Entah benar entah tidak, aku juga tidak tahu, namanya juga cerita dari mulut ke mulut. Mungkin bisa juga diartikan sebagai dagelannya yossi. Mas erza juga bercerita sewaktu orang banyuwangi dulu ikut demo saat Gus Dur hendak diturunkan dari kursi presiden, orang Banyuwangi saat kebagian orasi dia berkata sesuatu yang agak geli, "Kami orang Banyuwangi secara fisik memang tidak terlalu besar, tapi perlu kalian semua tahu, kami adalah cucu minak djinggo yang sekali makan seperti buto". Buto adalah sebutan nama orang raksasa yang makannya banyak. Kadang aku juga berfikir, ada benarnya juga kalau orang Banyuwangi makannya emang banyak, tapi postur tubuhnya biasa saja. Berarti memang dari moyangnya, mungkin. Ada satu orang kawan di laros Cairo ini yang sering kena ledek, aku tidak usah menyebutkan namanya. Pada waktu itu dia bercerita dengan semangatnya yang menggebu dan diawali dengan kata "18 Agustus", tapi semua teman-teman tidak ada yang menggubrisnya karena memang sedang asyik mendengarkan ceritanya mas erza yang senang "ndakik" (ngomongnya banyak tapi diragukan kebenarannya). Temanku itu selalu meng-cut ceritanya dan mengulanginya lagi dengan "18 agustus", begitu seterusnya, mengulang dan memulai dengan "18 agustus". Hingga akhirnya ketika teman-teman memberi dia kesempatan dengan ledekan, "ayo son...mana 18 agustusnya?", dia sudah memerah wajahnya dan malas untuk bercerita. Sampai saat ini pasword "18 agustus" selalu melekat pada dirinya ketika teman-teman meledek dia. Aku ikut bersyukur dengan sangat akrabnya kami anak-anak Banyuwangi di Mesir ini. Walaupun kami berasal dari daerah yang berbeda-beda dan kenalnya juga ketika di Mesir, rasa persaudaraan itu begitu kuat. Aku kadang mendengar rasa iri dari teman-teman daerah lain selain Banyuwangi. "Anak-anak Banyuwangi kok sering ngumpul ya dan sangat terlihat akrab?". Jawaban itu memang sederhana, kata sesepuh laros Cairo karena "ketika kita kumpul, kita tidak ada beban". Maksud dari kata itu adalah berkumpulnya kami ini murni atas dasar shilaturrahim dan mempertahankan persahabatan. Dulunya teman-teman Banyuwangi pernah ingin sekali kalau kumpul-kumpul kayak gini menjadi ajang bisa saling berbagi ilmu dengan kajian ilmiah, misalkan. Ada juga yang usul agar dalam sebuah pertemua harus ada diskusi tentang topik terkini, ada juga yang bilang agar laros Cairo menerbitkan sebuah buletin atau majalah sebagai bukti bahwan keberadaan kita eksis di cairo, tapi ternyata setelah dipikir-pikir, ketika ada agenda semacam itu, maka seseorang yang hendak datang ngumpul bareng akan merasa terbebani, dia harus mempersiapkan sesuatu sebelum memutuskan untuk ngumpul. [caption id="attachment_70106" align="alignright" width="300" caption="Makan-makan"][/caption] Akhirnya disepakati kalau laros Banyuwangi Cairo ada sebuah acara, maka acaranya memang murni untuk ajang shilaturrahim dan yang pasti selalu ada makannya, karena melestarikan budaya sang moyang yang bernama Minak Djinggo. Kalau ingin diskusi silahkan mencari dan bergabung dengan organisasi-organisasi di Cairo yang jumlahnya sangat banyak. Kadang kami juga bercerita fenomena kasus dukun santet yang terjadi pada masa setelah lengsernya pak Harto dulu. Sesepuh laros Cairo bercerita, kalau beliau dulu ikut jaga malam suntuk untuk mengantisipasi adanya ninja-ninja yang siap membunuh seseorang yang diduga dukun santet. Aku waktu itu juga menyaksikan sendiri, di Banyuwangi tiba-tiba begitu banyak orang gila, entah mereka datangnya dari mana dan anehnya ketika isu dukun santet reda, mereka para orang gila yang berkeliaran di jalan-jalan kota menghilang tanpa jejak. Di pesantren tempat aku belajar, gara-gara kasus ninja dan dukun santet ini, banyak para santri yang rela "mengisi" tubuhnya dengan jimat-jimat kekebalan dan memang benar, tubuh mereka tidak mempan di iris dengan pisau, malah katanya "terasa geli" ketika diiris-iris itu. Sambil ketawa ketiwi kami terus ngobrol dan ngrumpi pengalaman pribadi masing-masing. Persahabatan seperti ini memang tampak sederhana tapi aku merasakan sendiri dampak dari kesederhanaan ini. Mungkin ada yang menganggap kalau ngumpul bareng teman seperti ini kurang ada manfaatnya, kurang mendapatkan ilmu yang langsung dipetik secara langsung, tetapi bagiku, rasa seduluran seperti ini merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya akan dirasakan pada masa mendatang. Semakin malam, Cairo semakin kami rasakan dingin. Bakso satu baskom ludes dimakan, rokok entah berapa pack juga habis terbakar oleh mulut-mulut para pecandu, syai (teh) hangat tak terasa dengan obrolan ngalor ngidul juga tinggal ampasnya. Teman-teman mulai ingin kembali ke habitatnya masing-masing, meraka mulai berpamitan untuk pulang. Acara kali ini memang tetap sederhana dan akupun tetap menginginkan bertahannya kesederhanaan ini. Semoga kebersamaan ini menjadi kebersamaan yang tidak hanya indah di Cairo, tetapi juga indah di Indonesia, dunia dan akhirat. ################### Catatan ringan seorang LAROS (lare osing) Banyuwangi Cairo. Terimakasih mas erza, mas asad, mas agus, kang huda, mas ridwan, mas yayak, mahmudi, sonhaji, aziz, hafidz, oyik sang koki, mas rahmat, yossi, mbak lia, hany putri blambangan dan teman-teman lainnya. Terimakasih juga kepada para sahabat dari Jember yang telah bergabung dengan keakraban kami, mas kadir, makasih mas...semoga keakraban ini langgeng adanya. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan
KEMBALI KE ARTIKEL