Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Indonesia Mengajariku Puasa

10 Januari 2010   14:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:32 225 0
[caption id="attachment_51686" align="alignnone" width="500" caption="Cairo Transport"][/caption] Hampir tiap hari aku berangkat kuliah ke kampus al azhar. dari rumah menuju jalan raya lumayan jauh, aku harus jalan kaki sekitar 15 menit untuk bisa menuju halte yang berada di kawasan nasr city yang oleh kawan-kawan indonesia sering dinamai dengan kampung melayu karena banyaknya orang indonesia yang mukim di sini. namun, bukan mesir namanya kalau tidak menunggu. kadang aku menunggu bus hingga 1 jam lebih dan ingin rasanya berteriak mencaci maki dan menjelek-jelekkan pemerintah mesir yang sangat tidak profesianal dalam pelayanan transportasi. Ketika aku hendak melampiaskan kekesalanku, aku justru teringat dengan tanah airku. aku teringat dengan stasiun pasar senin, dulu aku menunggu lumayan lama juga karena keterlambatan kereta api, waktu itu aku juga ingin rasanya mengumpat, tapi apa gunanya aku mengumpat toh aku hanya sedikit dari banyak korban, mereka juga tidak akan perduli padaku atau mungkin bahkan malah menertawakan sikapku. aku teringat dengan bangsaku yang dulu telah mengajariku puasa yang secara bahasa berarti menahan diri. Setelah 1 jam lebih aku menunggu, dari kejauhan aku melihat bus dengan nomor 80 coret dengan jurusan langsung menuju kampus universtas al azhar, begitu senangnya hatiku melihatnya. namun, ketika bus semakin dekat dan dekat, ternyata sudah banyak mahasiswa dan penumpang yang bergelantung di pintu bus, di dalam bus juga sudah penuh dengan lautan manusia, ibarat ikan asin yang dijajar. sekali lagi aku ingin berkata njancok, asu, celeng sebagaimana layaknya orang-orang jawa timuran mengungkapkan kekesalan. belum sempat aku mengucapkan kekesalanku, aku diingatkan kembali dengan ketika aku dulu di pasar senin mendapatkan kereta api ekonomi. waktu ku lihat dari jauh kereta datang, aku bahagia sekali, namun ketika kereta berhenti, seketika semua orang yang dari tadi menunggu dan tentu jumlahnya tidak sedikit menyerbu kereta ibarat seekor macan yang sudah tidak makan satu bulan. aku hanya menonton dan mengalah melihat adegan perebutan kursi dan tempat di kereta itu. sekali lagi aku disuruh puasa dan ikut bergelantungan di pintu bus 80 coret sambil berusaha mengikhlaskan diri. sampai di kampus, aku langsung menuju kelas yang aku kira doktor sudah mengisi mata kuliah. tenyata anggapanku keliru, di kelas aku sering menunggu lagi, aku sering malas ngobrol dengan orang-orang mesir. terkadang dalam penantian yang membosankan ini, aku ingin pulang kembali ke rumah sembari mencari hiburan dengan internet. namun belum lagi ku realisasikan kekesalanku, indonesia mengajariku lagi untuk puasa, untuk menahan diri. aku diingatkan kembali dengan pahlawan-pahwalanku dulu yang dengan gagah berani berjuang untuk kemerdekaan indonesia. aku diingatkan dengan pahlawan diponegoro. aku diingatkan dengan pattimura. mereka berjuang dan tidak kenal lelah dengan penantian. sementara diriku hanya menunggu beberapa jam saja sudah bosan. bangsaku mengajariku puasa lagi. ketika doktor mengajar mata kuliah, aku sering kali kadang malas untuk konsentrasi, disamping sistem azhar yang masih menggunakan gaya kuno yakni dengan model ceramah dan sering tidak melibatkan mahasiswa sama sekali juga karena membludaknya mahasiswa yang hadir dan dari berbagai belahan negara itu. ingin rasanya aku keluar dari ruang kelas dan bersantai di cafe depan kampus sambil nyedot shesya yang mungkin hanya berharga sekitar 5 pound. namun, niat itu belum ku laksanakan, bangsaku mengingatkanku kembali. akalku ditarik untuk kembali berkaca pada ki hajar dewantara yang dengan sabar memperjuangkan pendidikan, aku di ingatkan oleh budi utomo. aku diingatkan oleh ibuku RA. Kartini yang dengan segala kemampuannya memperjuangkan pendidikan untuk perempuan. lagi-lagi bangsaku mengajari diriku untuk berpuasa. sore hari kuliahku selesai, aku berjalan menuju halte di dekat kampus. aku mencari ke sana kemari bus 80 coret untuk kedua kalinya, namun tidak kelihatan batang hidungnya. lagi-lagi aku ingin menggerutu. menunggu lagi menunggu lagi, hidup di mesir memang penuh penantian, hingga aku sering mengatakan pada teman-temanku "kita di mesir ini, separuh hidupnya hanya untuk menanti". tapi untuk terakhir kalinya aku diingatkan kembali oleh bangsaku. 350 tahun bangsaku menanti kemerdekaan dari bajingan tengik yang bernama "londo bule" itu. sudah berapa nyawa juga yang dikorbankan untuk meraih impian merdeka. aku puasa lagi. aku belajar lagi dari bangsaku. aku belajar lagi dari stasiun pasar senin, setelah pulang ke rumah dengan badan dan fikiran capek,aku membuka kompasiana dan ku tuliskan apa yang pernah dikatakan oleh kawanku dari mesir :"andunesia syaqiqu masr", "indonesia itu saudara kandungnya mesir". hingga saat ini aku masih bertanya "saudara kandung dalam hal apa ya ?". secara fisik kita beda jauh, secara sikap juga, keadaan tanah juga beda, ceweknya yang aku ketahui juga beda, lalu di mana letak saudaranya itu ? hingga akhirnya aku menemukan satu kemiripan itu, kenapa temanku mesir mengatakan kalau indonesia itu saudara kandungnya, mungkin karena mereka sama-sama suka MENUNGGU. ###### catatan sederhana sebagai refleksi. salam kompasiana Bisyri Ichwan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun