Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Keklasikan Al-Azhar

11 Januari 2010   19:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:30 2181 0
Jika selama ini menganggap universitas Al Azhar Mesir yang gaungnya semakin terdengar keras di tanah air sebagai universitas bergengsi sekelas Harvard atau Boston dengan kampus yang mewah, ruangan berAC, lingkungan yang bersih atau mahasiswanya yang keren beken, maka anggapan itu salah, sekali lagi salah. Saya pada awalnya dulu ketika belum ke Mesir juga berfikir dan memiliki anggapan yang sama, mungkin juga karena waktu itu ada novel besutan kang Abik yang sangat memuji Mesir dan segala pernak-perniknya yang menurut saya sungguh terlalu. Dengan catatan ini saya akan sedikit menunjukkan Al Azhar yang sebenarnya, Al Azhar yang telanjang tanpa sehelai pakaian yang selama ini menutupi kebesaran namanya. Al Azhar pertama kali didirikan pada masa dinasti Fatimiyyah dan menjadi universitas pertama yang berdiri di dunia, lembaga pendidikan ini dinamakan Al Azhar untuk mengenang putri nabi Muhammad yang bernama Fatimah Az Zahra, jadi Al Azhar satu rumpun dari kata Zahra. Selama kekuasaan Mesir dipegang oleh dinasti Fatimiyyah, Al Azhar menjadi corong utama aliran negara yang berfaham syiah. Namun, sejak Shalahuddin al Ayyubi dari dinasti bani Umayyah Damaskus berhasil merebut kekuasaan dinasti Fatimiyyah, beliau merubah kurikulum Al Azhar menganut faham sunni hingga saat ini. Diantara keklasikan Al Azhar adalah hingga saat ini masih setia menggunakan gaya lama dalam proses pembelajaran, terutama untuk jurusan-jurusan agama islam seperti ushuluddin, syariah, lughoh arabiah, syariah wal qonun maupun dakwah. Al Azhar tidak mau menggunakan sistem SKS seperti halnya perguruan tinggi di manapun, ia masih menggunakan model paket. Saya sebagai salah satu mahasiswanya, merasa berat dengan sistem paket ini. Dalam sistem paket, seorang mahasiswa harus menghabiskan semua mata kuliah dalam satu tahun, ketika ada maksimal 3 pelajaran yang nilainya tidak memenuhi target, maka harus mengulang satu tahun lagi. Mungkin mahasiswa Mesir sudah biasa dengan sistem ini, karena bahasa pengantar yang dipakai memang bahasa mereka sendiri yang berbahasa arab, tetapi untuk orang wafidin (non arab) hal ini sunguh sangat menyulitkan. Selanjutnya, kuliah di Al Azhar lebih banyak libur dari pada masuknya. Jika dihitung-hitung kuliah di Al Azhar hanya sekitar 6 bulan, itupun bisa kurang. Perkuliahan di mulai pada bulan Oktober dan semester pada bulan Desember untuk semester pertama, setelah itu libur hingga akhir Januari. Semester kedua dimulai lagi pada bulan Februari hingga ujian semester pada bulan Mei hingga awal Juni. Itupun belum terpotong libur nasional yang jumlahnya lumayan banyak. Al Azhar disamping secara usia sangat tua, bangunan yang dimiliki juga tua dengan mahasiswa yang sangat banyak sekali. Di jurusan ushuluddin tempat saya belajar misalnya, kelasnya seperti aula dan sanggup mengisi 500 mahasiswa dengan kursi-kursi usang dan tua yang berjajar dan tembok yang penuh dengan debu, kadang banyak mahasiswa yang rela berdiri karena tidak kabagian tempat duduk, teman-teman saya sering mengatakan :”kita ini lagi mendengar khutbah jum’at bukan kuliah”, karena memang audiens hanya datang, diam, duduk dan pulang, kadang ada tidurnya. Al Azhar juga tidak mengenal sistem absen mengabsen, mahasiswa bebas sebebas bebasnya, dia mau tidak masuk sama sekali selama satu tahun juga tidak ada yang melarang, masuk hanya waktu ujian juga terserah. Bahkan istilah tidak kenal dengan doktor juga sudah biasa. Mungkin disebabkan karena banyaknya mahasiswa yang ada, coba bayangkan, orang Malaysia saja ada 20.000, belum Indonesia, Thailand, Singapore, Brunei, Rusia, Eropa, China dan banyak lagi yang lainnya. Bukan hanya kuliahnya yang klasik, gaya sistem transportasi untuk menuju Al Azhar juga klasik banget. Pemandangan ngantri dan berebut kendaraan sudah hal yang lumrah, mungkin bagi orang Mesir hal itu biasa, tapi bagi orang asia yang berbadan kecil seperti saya ini terkadang juga membuat sakit hati dan risih melihatnya. Tapi ternyata dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh Al Azhar membuat saya berfikir untuk mengakalinya. Bagaimanapun, jauh-jauh meninggalkan tanah air menjadi sebuah tanggung jawab dan beban yang tidak ringan dan biasa. Pertama, dengan gaya dan model klasik dalam sistem paket yang memberatkan itu, justru menjadikan otak berputar terus-menerus bagaimana caranya mengejar ketertinggalan dengan para mahasiswa Mesir yang baca buku kayak orang makan; cepat faham dan cepat hafal, sementara saya dan kawan-kawan wafidin (non Arab) malah sibuk mencari makna kata dari pada memahami maksud dari buku mata kuliah yang ada. Dari sinilah gaya ngakali muncul, mahasiswa akhirnya banyak yang mencari privat dengan doktor-doktor Mesir untuk mengejar pemahaman, mengadakan seminar, mengadakan diskusi-diskusi, dan cara mengakali lain yang bisa mendukung proses belajar, benar kata orang :”kalo udah kejepit baru sadar kalo kita itu bisa”. Libur panjang juga ternyata mengandung hikmah tersendiri, Mesir yang memiliki segudang wisata memberikan kesempatan banyak waktu untuk mengisi masa-masa liburan itu. Apalagi wisata yang diberikan adalah wisata sejarah yang disamping mendapatkan nilai refreshing juga mendapatkan ibrah atau pelajaran dari kehidupan manusia-manusia kuno. Mungkin atas dasar alasan inilah Al Azhar memberikan banyak libur kuliah. Dengan banyaknya mahasiswa yang ada dan segala keterbatasan yang dimiliki oleh Al Azhar ternyata juga memberikan hikmah yakni belajar cara bargaul dengan orang banyak dari berbagai negara dan secara tidak langsung memberikan pelajaran bagaimana caranya berjaringan,  juga belajar menghargai sebuah perbedaan. Yang terakhir masalah transportasi, untuk yang satu ini jawabannya sama dengan yang kemarin saya katakan yakni saya dan teman-teman telah diberi oleh tanah air tercinta Indonesia pelajaran untuk berpuasa; menahan diri dari segala hal yang menjauhkan jiwa dari kebersihannya. Sabar adalah jawabnya. Nah, inilah Al Azhar yang sebenarnya, Al Azhar yang telanjang dengan kejujurannya. Al Azhar yang mampu meluluskan orang-orang hebat yang keluar darinya. Namun, saya masih merasa malu untuk mengatakan kalo saya dari Al Azhar karena belum mampu memberikan kontribusi nyata yang bermanfaat untuk orang banyak.  Semoga keklasikan Al Azhar ini mampu membangkitkan saya untuk sadar…semoga kawan! #### Refleksi untuk menyemangati diri sendiri. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun