Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Refleksi atas Kasus Bullying di PPDS Undip: Menggali Etika dan Humanisme dalam Pendidikan Kedokteran

18 Agustus 2024   19:08 Diperbarui: 18 Agustus 2024   19:13 15 0
Kasus dugaan bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) memunculkan kembali pertanyaan mendasar tentang etika, humanisme, dan struktur hierarki dalam pendidikan kedokteran. Di tengah sorotan publik dan investigasi yang berlangsung, muncul urgensi untuk merefleksikan tujuan dasar pendidikan dokter: apakah ini tentang membentuk profesional yang kompeten atau juga tentang membangun karakter yang humanis dan beretika?

Mengurai Budaya Hierarki:
Dalam dunia kedokteran, hierarki adalah hal yang tak terhindarkan. Mahasiswa, residen, hingga dokter spesialis senior semua memiliki peran masing-masing dalam proses pendidikan. Namun, ketika hierarki ini berubah menjadi alat untuk menekan dan menindas, kita harus bertanya apakah ini sejalan dengan nilai-nilai profesi medis.

Kasus di Undip ini, dengan dugaan penggunaan buku sebagai pedoman bullying, membuka mata kita pada kemungkinan bahwa kekerasan simbolik dan verbal sering kali tersembunyi di balik formalitas akademis. Ini bukan hanya soal individu yang melakukan bullying, tetapi juga sistem yang memungkinkan dan bahkan menormalkannya.

Refleksi atas Humanisme dalam Kedokteran:
Profesi dokter seharusnya berakar pada nilai-nilai kemanusiaan---rasa empati, kasih sayang, dan keinginan untuk menyembuhkan. Ironisnya, beberapa mahasiswa dan residen dalam perjalanan pendidikan mereka justru dihadapkan pada kekerasan mental dan emosional yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Kita perlu merenungkan, bagaimana kita dapat menghasilkan dokter yang humanis jika lingkungan pendidikan mereka tidak mencerminkan humanisme itu sendiri?

Dalam refleksi ini, kita harus mengakui bahwa reformasi bukan hanya soal kebijakan anti-bullying atau mekanisme pelaporan yang lebih baik. Ini adalah tentang mengubah budaya---menggeser fokus dari kompetisi yang tidak sehat dan penindasan hierarkis menuju kolaborasi dan dukungan.

Membangun Sistem yang Inklusif:
Membangun pendidikan kedokteran yang inklusif berarti menciptakan ruang di mana setiap individu, dari mahasiswa hingga profesor, merasa dihargai dan didengar. Ini juga berarti menyediakan pelatihan dalam soft skills seperti komunikasi, manajemen stres, dan resolusi konflik, yang semuanya penting untuk kehidupan profesional mereka kelak.

Institusi pendidikan perlu mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, di mana kesejahteraan emosional dan mental mahasiswa dianggap sama pentingnya dengan pencapaian akademis mereka. Dengan demikian, mereka tidak hanya dilatih untuk menjadi dokter yang ahli, tetapi juga individu yang berempati dan beretika.

Kasus bullying di PPDS Undip mengingatkan kita bahwa pendidikan kedokteran tidak boleh hanya berfokus pada keterampilan teknis dan akademis. Ini juga harus menjadi proses pembentukan karakter dan etika. Reformasi yang mendalam diperlukan, tidak hanya dalam kebijakan tetapi dalam budaya dan nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa para dokter masa depan tidak hanya kompeten secara klinis tetapi juga mampu menjalankan profesinya dengan integritas dan humanisme yang sejati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun