Sebuah studi menemukan bahwa hampir 60% perempuan di 22 negara telah menghadapi Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO). Pelecehan paling umum terjadi dimedia sosial seperti Facebook, Instagram Whatsapp, dan Snapchat.Â
Perkembangan teknologi informasi merupakan salah satu bukti terjadinya modernisasi dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran internet semakin dibutuhkan untuk memenuhi segala kebutuhan dalam kehidupan manusia, baik dalam kegiatan sosialisasi, Pendidikan maupun bisnis.Â
Perilaku menyimpang tersebut kemudian muncul dalam interaksi sosial pada media sosial dengan melakukan tindakan yang mengganggu berlangsungnya interaksi sosial.
Seperti pelecehan online dapat berupa komentar yang menyinggung, ujaran kebencian, ancaman kekerasan seksual dan fisik. Bentuk lainnya adalah rusaknya reputasi, memanipulasi konten palsu, pencurian identitas, dan peniruan identitas.Â
Selain itu, dibidang pornografi non-konsensual, korban dapat menerima berbagai bentuk konten online non-konsensual dari orang yang mereka kenal atau orang asing, membagikan konten foto atau video seksual mereka tanpa persetujuan, sering disebut cyber atau porno balas dendam.Â
Menurut Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakterisitk emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Mulia, 2004:4).Â
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya peran gender itu tidak dengan sendirinya tetapi terkait dengan identitas dan karakteristik berbeda yang diberikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan.Â
Memang, ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan tidak hanya perbedaan fisik biologis, tetapi semua nilai sosial budaya yang hidup dimasyarakat berkontribusi terhadapnya. Apabila ditinjau dari prespektif viktimolgi perempuan menurut jenis korban (Mulyadi, 2007:124) termasuk dalam latent victim.Â
Hal lain yang meningkatkan kemungkinan perempuan menjadi korban dari sudut pandang psikologis adalah bahwa perempuan sering dicirikan sebagai emosional, menyerah, pasif, subyektif, mudah dipengaruhi, dan lemah fisik. Ciri-ciri psikologis wanita ketika dianggap sebagai korban diawali dengan rasa takut pada seseorang, kemudian pasrah. Arti kata "pasrah" adalah menerima perbuatan orang lain.Â
Menurut (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta), KBGO merupakan tindak kekerasan yang difasilitasi teknologi yang bertujuan melecehkan korban baik secara umum ataupun seksual. Terutama perempuan melalui perantara teknologi internet.Â
Pelecehan online dan kekerasan berbasis gender merugikan perempuan dengan membatasi kemampuan mereka untuk mendapatkan keuntungan dari manfaat online yang sama seperti yang sering dinikmati laki-laki, seperti pekerjaan, promosi dan ekspresi diri. KBGO bukanlah tindak kekerasan secara fisik, melainkan tindak kekerasan secara verbal.Â
Selain itu, pemerintah juga harus bertindak melalui RUU Pelindungan Data Pribadi yang merupakan instrumen hukum untuk melindungi data pribadi warga negara dari praktik penyalahgunaan.Â
Adapula (berdasarkan data yang diunggah oleh Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2020, adanya peningkatan yang drastis selama 3 tahun terakhir. Bahkan, ditahun 2019 terjadi peningkatan sebanyak 300%, dimana pada tahun 2018 telah tercatat laporan yang diterima sebanyak 97 kasus dan pada tahun 2019 melonjak hingga berjumlah 281 kasus.Â
Angka-angka ini menggambarkan peningkatan signifikan 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021. CATAHU 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badilag. Terkumpul sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.
 Peristiwa tersebut tentunya sebuah hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebagai kebijakan, para pengajar dalam akademik atau non-akademik, para orangtua dan pengguna media sosial. Sehingga penggunaan media sosial saat ini tidak hanya sebatas trend yang diikuti oleh sebagian remaja saja, keberadaannya kini sudah menjadi kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain, namun masih banyak pengguna jejaring sosial yang masih menggunakan untuk hal-hal negatif tersebut. Seperti penipuan, pelecehan seksual, bullying, dan menyebarkan informasi yang palsu.Â
Dengan banyaknya korban KBGO yang dikriminalisasi, akan mengurangi jumlah korban KBGO yang ingin bersuara, mereka khawatir jika kejadian itu menimpa mereka juga. Sehingga banyak dari lembaga bantuan hukum, lembaga swadaya masyarakat, aktivis perempuan, dan sejumlah mahasiswa/i juga para pelajar yang menyuarakan untuk disahkannya RUU PKS, agar dapat melindungi dan menjawab kebutuhan korban.Â
Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan korban diberikan negara atau pemerintah maupun berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat baik secara preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pornografi balas dendam (revenge porn) melalui Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta berbagai penyuluhan dan sosialisasi tentang pornografi balas dendam (revenge porn).Â
Dalam Buku Panduan KBGO yang disusun oleh SAFENet, dampak dari KBGO dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, mobilitas terbatas, dan sensor diri. Secara psikologis, orang yang menjadi korban dari KBGO akan merasa cemas, takut, atau bahkan mengalami depresi. Para penyintas KBGO juga cenderung menarik diri dari kehidupan sosial, termasuk dengan teman dan keluarga mereka sendiri.Â
Hal ini disebabkan oleh munculnya rasa malu atas apa yang telah terjadi pada dirinya, terutama pada mereka yang foto atau videonya tersebar luar tanpa persetujuan dari mereka. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Hanson (2017), bahwa kekerasan seksual secara online dapat berdampak pada depresi, perasaan putus asa, malu, hingga perilaku menyakiti diri sendiri dan menghindari hubungan dengan orang lain pada korban.
 Jika kita menjadi korban KBGO, berusaha dokumentasikan dahulu apa yang terjadi pada kita. Kedua, pantau situasi. Dengan mengamati apa yang terjadi dan memutuskan bagaimana melindungi diri dengan aman, efeknya dapat diminimalkan, karena beberapa orang yang terpapar KBGO sering merasa kesulitan untuk mendokumentasikan kejadian tersebut.Â
Ketiga, Mencari bantuan. Hal ini dapat dilakukan dengan menghubungi individu lain, organisasi, atau lembaga terpercaya lainnya. Salah satunya adalah layanan pengaduan Komnas Perempuan. Langkah keempat adalah melaporkan kejahatan dan memblokir pelaku sehingga pelaku tidak dapat menghubungi korban atau orang lain.
Sumber Referensi :Â
https://nendensan.medium.com/mengenal-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo-a4ec1bd95632
https://tirto.id/apa-itu-kbgo-penyebab-contoh-kasus-solusi-untuk-mengatasinya-glLs
O Sugiyanto - Jurnal Wanita dan Keluarga, 2021
http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/15726
http://repository.uinsu.ac.id/1738/4/BAB%20II%20Gender%20Dalam%20Islam.pdf