Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

(Yang) Menulis di Atas Air

15 April 2011   06:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 159 0
Saya baru mengetahui kabar kepergian jurnalis senior Rosihan Anwar pada malam hari ketika membaca twit dari tempo interaktif yang saya follow. Setelah saya telusuri, ternyata berita kepergiannya sudah terbit sejak pagi tadi, atau beberapa saat setelah kepergiannya. Sungguh mengejutkan.

Buku terakhir beliau yang saya (beli) baca adalah sejarah kecil Indonesia jilid 4 yang bercerita tentang keluarga beliau dan segala fenomena yang menurut saya terkadang agak sungkan untuk diutarakan menurut kaidah kesopanan orang Indonesia. Namun menurut almarhum, mungkin, kisah-kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga dalam memahami bunga-bunga kehidupan ini.

Saya pertama kali membaca karya Rosihan Anwar pada tahun 1999, "Menulis Diatas Air" , buku ini sendiri terbit pada tahun 1982, jadi ketika sampai ditangan saya sudah berwarna kekuningan dimakan usia. Bersama dengan biografi  Ayattullah Khoameni, sang Imam Besar dalam Revolusi Iran, kedua buku ini menemani saya dalam perjalanan dari Pontianak menuju Jakarta. Dengan semangat reformasi (kala itu), kisah revolusi iran tentu menjadi nutrisi saya dalam memahami pergolakan dan intrik yang mungkin terjadi dalam politik. sedangkan buku Rosihan menjadi pilihan kedua ketika otak mulai jenuh dengan bahasa politik. Tapi menurut saya, buku Rosihan lebih menyenangkan karena gaya menulisnya yang penuh narasi deksriptif lika-liku perjalanan karir dan perkembangan Pers Indonesia dengan latar belakang Indonesia masa-masa revolusi.

Setelah buku 'Menulis Diatas Air', praktis tidak ada lagi buku Rosihan Anwar yang saya baca.  Pada masa perkembangan saya sebagai jurnalis kampus, haluan kami lebih condong pada gaya Gunawan Muhammad, karena masa itu, saya rasa lebih, 'Keren' jika bisa menulis berita yang bergaya Investigasi, termasuk saya. Sedangkan gaya penulisan Rosihan Anwar yang cenderung naratif, akan menjadi pilihan kedua, karena saat itu berita feature di majalah kampus kami harus menjadi lebih dalam daripada sekedar sebuah laporan perjalanan.

Hingga tahun 2009 saya baca di kompas resensi dari bukunya yang berjudul Sejarah kecil Indonesia jilid 1, namun ketika saya cek di Gramedia Pontianak, ternyata Jilid 2 dan 3  juga sudah terbit, jadi sekalian saja saya beli.  Tiga buku ini memberikan saya informasi sejarah Kecil Indonesia yang mungkin tidak akan saya dapatkan di buku pegangan sejarah sekolah. Mulai dari asal nama Indonesia, hingga biogarfi singkat para pahlawan nasional yang agak jauh dari kesan di puja-puja, namun tidak bisa (boleh) dilupakan oleh generasi muda seperti saya. Perasaan saya setelah membaca ketiga buku ini adalah merasa lebih pintar dari teman-teman disekitar saya yang belum tentu  membaca buku ini.

Jilid Ke 4 buku Sejarah Kecil Indonesia saya temukan di Balikpapan, Kalimantan Timur. Bercerita tentang keluarga pak Rosihan, buku ini memaksa saya untuk memberikan pandangan bahwa beliau adalah seorang yang egois. Jika dalam  tulisan pak Chappy Hakim yang baru saja saya baca ia adalah seorang yang sombong, saya rasa pak Rosihan mewakili karakteristik para orang tua sebelum revolusi yang memandang generasi muda setelahnya dengan sikap sinis karena lebih sibuk menghapal lagu Aerosmith dan Guns and Roses dari pada memahami sejarah dan perkembangan bangsa saat ini dengan lebih kritis. Itu menurut saya.

Setelah pak Rosihan, sata tidak begitu tahu adakah tokoh bangsa lain yang memiliki informasi yang agak mendetail dan lebih berwarna tentang sejarah Indonesia. Beberapa kita mungkin akan menunjuk Gunawan Muhammad, boleh jadi bisa,  tapi bapak ini lahir di pers setelah revolusi hampir selesai. Sehingga pergolakan sebelumnya (yang menurut saya memiliki nilai tambah sangat besar) hampir tidak dialami sendiri secara sadar olehnya.

Adakah  Tokoh lainnya ?

Jangan menunjuk Briptu Norman

Samboja, 15 April 2011

BS Sitepu

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun