diantara hiruk pikuk perjalanan anggota DPR ke luar negeri dan kasus bibit chandra yang menjadi polemik, terkadang tanda-tanada alam menjadi hal yang terlupakan. Entah karena modernitas (yang memang tak mengenal tanda-tanda alam) atau karena kealpaan kita dalam memperhatikan sekeliling kita ? entahlah
Perhatian yang kurang atau hilang terhadap tanda-tanda alam ternyata tidak hanya terjadi pada masyarakat kota, pada beberapa kasus, masyarakat di pedalaman kalimantan (saya sebut pedalaman karena untuk menuju kampung tersebut harus menempuh waktu 12 jam dengan jarah 300an km yang seharusnya bisa 6-7 jam saja, bisa dibayangkan kondisi jalannya) juga mulai menafikan tanda-tanda lama ini.
Ditengah gemuruh excavator penggali batu bara dan raungan chainsaw pembuka lahan untuk areal kelapa sawit, tentu saja, apa lagi yang akan mereka perhatikan.
Sungai yang semakin kotor  dianggap menjadi keniscayaan. Banjir yang semakin lamut dianggap menjadi biasa. Bahkan ketiadaan waktu yang cukup untuk membakar lahan untuk masa panen tahun ini saya perhatikan tidak begitu menyusahkan bagi mereka. Entahlah saya yang hanya sekilas memperhatikan atau memang demikianlah adanya.
Tanda-tanda alam semakin terpinggirkan.
dan bahaya yang jelas didepan mata kita. kita anggap adalah keniscayaan.