Tapi dirasa-rasa setiap kali kita berkomentar tentang politik di media sosial, selama 3 periode pemilu ini argumen ketidaksetujuan terhadap satu keputusan itu selalu dinilai sebagai bagian dari lawan politik pemangku kebijakan. Kenapa argumen orang-orang itu masih berkutat dan muter-muter melulu di situ-situ aja?
Dulu pas pak Jokowi vs pak Prabowo, ada tuh istilah cebong sama kampret. Saya sampai lupa mana yang cebong mana yang kampret. Kalau tidak salah cebong itu julukan pendukung pak Jokowi dan kampret adalah julukan untuk pendukung pak Prabowo. Dulu awal-awal banget saya emang setuju dengan gagasan-gagasan yang  dibawa oleh Pak Jokowi. Beliau juga memiliki citra yang bagus di mata publik. Sempat juga beliau membawa isu HAM. Beliau pada saat itu membawa sedikit harapan bahwa mungkin kasus pelanggaran HAM di Indonesia bisa diselesaikan pada masa jabatan beliau. Â
Namun di periode kedua, ada beberapa keputusan dan kebijakan pak Jokowi yang saya tidak setuju. Hal pertama adalah bagaimana beliau memilih orang-orang yang ada di kementriannya untuk membantu tugas beliau. Salah satunya adalah dengan mengganti ibu Susi Pudjiastuti. Ada juga keputusan beliau yang saya tidak setuju yaitu tentang revisi UU KPK Â yang beresiko melemahkan institusi pemberantas korupsi tersebut.
Lah, udah jelas-jelas saya itu getol nyoblos beliau sampai dua periode kok ya pas saya protes soal revisi UU KPK saya dibilang kampret? Dari sini saya sadar, beberapa orang memang agaknya kurang waras. Ada istilah bucin buat pasangan, kalau yang ini bucin buat politikus. Bisa-bisanya orang nyoblos sampai dua periode dikatain pendukung lawan politik cuman karena gak setuju sama kebijakan beliau. Sebenernya yang anti kritik itu siapa sih? Pak Jokowi apa pendukungnya yang bucin ini?
Cemooh dan celotehan dari bucin politikus ini lagi-lagi gak berkembang. Argumennya selalu itu-itu aja. Entah mereka kurang bisa mengelaborasi argumen atau emang mereka cuman ikut aja berita yang ada di fyp media sosial mereka tanpa reset ulang. Kemaren pas pemilu saya mau keluar berangkat nyoblos nih. Masa pendukung 02 bilang ke saya 'nah ini nih keluarga ganjar'. Loh, saya aja mau nyoblos gatau mau nyoblos siapa. Soalnya sampai detik terakhir saya belum ada ngerasa yang cocok. Saya juga sudah muak sama drama politik negara ini yang orang-orangnya itu-itu aja dengan kubu yang berbeda setiap periode. Kalaupun saya mau nyoblos, harusnya saya nyoblos 02. Karena salah satu program 02 merupakan berkelanjutan dengan program pak Jokowi yang memang bagus dari sisi kebijakan infrastrukturnya. Kok bisa barisan bucin yang selalu meromantisasi politikus ini menentukan pilihan saya pas sayanya aja bingung mau milih siapa? Indigokah? Apa pembaca kartu tarot?
Tidak berhenti di situ. Belakangan ini saya juga mendukung aksi Indonesia Darurat karena bagi saya penolakan hasil dari putusan MK oleh DPR itu akan menentukan bagaimana proses pilkada kedepannya. Ada beberapa alasan yang bisa saya jelaskan, biar argumen saya gak cuman mengotak-otakkan orang saja (gak kayak kalian yang bucin politikus yang cuman bisa nuding anak abah, kaum lowbet itu) tapi bisa dalam bentuk tulisan yang lumayan terorganisirlah.
Pertama krisis legitimasi. Penolakan terhadap putusan MK bisa dianggap sebagai tindakan yang merusak legitimasi dan integritas sistem hukum dan konstitusi. Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang berbasis pada prinsip pemisahan kekuasaan, putusan MK biasanya bersifat final dan mengikat dalam hal yang berkaitan dengan konstitusi. Putusan MK memberikan kepastian hukum dengan memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut sesuai dengan konstitusi. Ini penting untuk menjaga stabilitas hukum dan keadilan.
La yo kok bisa, DPR yang memiliki tugas untuk membuat undang-undang dan kebijakan yang sesuai dengan konstitusi, malah mau menolak keputusan MK dan bikin revisi? Ya jelas banyak yang gak setuju lah. Ya jelas banyak yang turun ke jalan. Apalagi revisi tersebut dibuat dengan sistem kebut semalam. Wah, ternyata bisa juga ya kerjanya cepet. Kita patut mengapresiasi DPR kita yang bisa kerja cepat untuk RUU pilkada ini loh. Tapi tapi kok cuman ini doang yang bisa kebut semalam. Yang lain mana?
Terus sebenarnya yang paling bikin saya  panik adalah  keputusan Menkumham dan DPR menyepakati ambang batas 20% dalam pembahasan revisi UU Pilkada. Menihilkan kesempatan partai oposisi untuk mengusungkan calon di daerah. Artinya kalau sampai revisi UU Pilkada ini beneran disahkan, maka kita hanya akan memiliki satu pilihan calon kepala daerah dari koalisi KIM plus. Karena partai-partai besar sudah bergabung di koalisi tersebut. Meninggalkan partai-partai kecil dan Banteng. Kalau beruntung ya ada calon independen. Kalau beruntung loh ya. Revisi RUU Pilkada ini jelas akan lebih menguntungkan koalisi KIM plus. Karena mereka tidak akan memiliki saingan yang sepadan dengan adanya Revisi RUU Pilkada.
Menurut, John Stuart Mill “A democracy... must permit opposition and criticism to exist and be heard; for only through such discourse can truth be discovered and political progress achieved."  Kalau Bahasa Indonesianya begini, “demokrasi... harus mengizinkan adanya oposisi dan kritik serta memberikan kesempatan bagi keduanya untuk didengar; karena hanya melalui diskusi semacam itu kebenaran dapat ditemukan dan kemajuan politik dapat dicapai." Oposisi dan kritik akan selalu jadi aspek penting dalam berdemokrasi. Sedangkan Revisi RUU Pilkada menihilkan adanya opsisi yang dapat berpotensi akan melahirkan pemerintahan yang (hm gimana ya bahasanya yang agak halus) kaku.
Karena saya tidak menginginkan sistem pilkada nanti jadi seperti itu, tentu saja dong saya menolak Revisi RUU Pilkada. Apalagi tenggat waktunya sudah mepet banget. Nah, dari sini saya dapat julukan baru lagi yaitu 'anak abah'. Berubah lagi dari 'keluarga ganjar' ke 'anak abah'. Cuman gara-gara saya setuju sama yang lagi ramai-ramai demo.  Character development macam apa ini? Saya aja gak ikut demo 212 dulu dan gak pernah milih Pak Anies. Kok sekarang tiba-tiba jadi 'anak abah' itu loh. Lagian ini kan yang diprotes DPR kenapa kok jadi anak abah? Coba renungin, yang argumennya cuman bisa bilang ‘anak abah’. Kok kesannya gak konsisten ya? Bilang ini bukan rana presiden tapi gak setuju sama revisi RUU Pilkada dibilang ‘anak abah’. Ini revisi RUU pilkada mencakup semua daerah loh. Bukan Jakarta aja alias calonnya bukan masalah pak Anies doang.
Sebenarnya kalian mau ngomong apa? Mau ngomong gak usah senggol Pak Jokowi walaupun itu koalisi beliau? Nah gitu dong, bilang dari awal. Gak usah nyerempet yang lain. Banyak yang udah berisik duluan masalah UU Perampasan Aset. Setuju dan turun ke jalan menolak Revisi RUU Pilkada oleh DPR bukan berarti tidak peduli dengan tuntutan-tuntutan yang lain seperti UU Perampasan Aset. Itu namanya kesalahan berfikir. Kalau keduanya bagus untuk rakyat, kenapa gak didukung keduanya?
Kembali ke topik utama, saya ingatkan lagi. Baik putusan MK menguntungkan pihak oposisi, atau revisi RUU Pilkada yang menguntungkan pihak koalisi KIM plus yang jargonnya berkelanjutan pemerintahan pak Jokowi, bukannya kompetisi yang sehat sehursnya memiliki sistem di mana semua calon peserta bisa ikut lomba ya? Keputusan MK ini udah tepat. Gak perlu revisi. Terus kenapa demo menentang revisi RUU Pilkada dibilang fomo lah? Gak literate lah. Terakhir argumen yang paling gak bermutu ‘anak abah’. Padahal yang diusahakan ini biar tercipta kompetisi sehat itu. Biar semua pihak baik koalisi KIM plus, oposisi dan independen bisa ikut serta.
Kalau kalian bisa melihat sebuah kebijakan publik secara objektif, seharusnya yang kalian lihat itu bukan siapa yang bikin kebijakan. Tapi kebijakan apa yang mereka buat.
Dari tahun 2014 sampai 2024 kok ya gak belajar-belajar dari pengalaman gitu loh? Kalau emang negara demokrasi, ya butuh ada opsisi. Jadi, ya bagusnya bikin sistem yang ada kedua pihaknya penguasa dan oposisi. Supaya semua calon peserta bisa join lomba cari biting. Urusan kalian mau coblos siapa, itu urusan kalian dan tuhan.
Kalau ada kebijakan yang menguntungkan rakyat, ya kenapa gak didukung semua? Kenapa sih musti kalau ngedukung seorang pejabat negara itu harus setuju-setuju aja  sama kebijakannya? Emang gak boleh ya kalau dulunya nyoblos si A terus sekarang protes kalau lagi gak setuju sama kebijakan si A? Kadang saya rasa yang anti kritik itu bukan pejabatnya. Tapi barisan-barisan bucin politikus anti kritik ini masalah utamanya. Adanya mereka demokrasi jadi gak asyik. Kalau gak dituduh dari barisan lawan politik, ya disuruh kerja keras supaya berhenti keritik.