Tidak Memiliki Keturuan
Bagi masyarakat Karo tradisional (bahkan mungkin "modern"?), tidak memiliki anak adalah masalah yang sangat pelik. Bagi kebanyakan orang Karo, kenyataan seperti ini merupakan kejadian yang paling sulit dalam hidupnya. Dalam banyak upacara adat, pasangan yang tidak memiliki keturunan lambat-laun cenderung tersisih (atau disisihkan). Selain itu, pasangan yang tidak mempunyai keturunan secara atomatis akan terhapus dari silsilah keluarga.
Dalam kondisi seperti ini pihak keluarga laki-laki (atau bisa juga atas inisiatif sendiri karena takut hilang dari peta keluarga) akan mendorong anaknya agar menikahi perempuan lain untuk mendapatkan keturunan. Karena budaya Karo didominasi oleh kaum laki-laki, akibatnya jika ada pasangan yang tidak punya keturunan, biasanya yang pertama dipersalahkan (dianggap mandul) adalah kaum perempuan. Oleh karena itu, seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya, atau melakukan poligami yang disahkan secara adat. Dahulu, perempuan yang tidak dapat melahirkan anak, percerainnya diatur secara budaya, dengan cara diserahkan kembali kepada keluarganya melalui upacara adat.
Tidak Mempunyai Anak Laki-laki
Hal lain yang tidak kalah sulitnya dalam budaya Karo adalah pasangan yang tidak mempunyai anak laki-laki. Suami yang tidak mempunyai anak laki-laki akan terhapus dari peta keluarga untuk selamanya karena tidak ada lagi yang menurunkan marganya. Oleh karena itu, seperti pasangan yang tidak memiliki keturunan, pasangan yang "hanya" memiliki anak perempuan, kelak akan hilang dari silsilah keluarga. Secara budaya, pasangan yang belum memiliki anak laki-laki dianggap belum lengkap sehingga banyak pasangan orang Karo yang "merasa belum punya anak" sebelum istrinya melahirkan anak laki-laki. Dalam situasi seperti ini, adat merestui laki-laki untuk melakukan poligami atau bahkan cerai.
Solusi Menurut Adat
Di dalam kehidupan masyarakat Karo zaman dulu terdapat budaya petangkoken (mencuri-curi, secara diam-diam, secara rahasia), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan secara diam-diam dengan mencuri-curi dan penuh rahasia. Budaya ini dilakukan karena mengingat betapa pentingnya fungsi anak (baca: laki-laki) dalam tradisi budaya Karo, biasanya oleh orang tua-tua atau orang yang dituakan dalam klan mereka, secara diam-diam merekayasa sedemikian rupa supaya sang istri bersedia dihamili oleh saudara laki-laki suaminya. Biasanya setelah melalui berbagai penjelasan dan argumentasi, sang istri bersedia melakukannya, meskipun ada juga yang menolaknya.
Kegiatan rahasia ini sudah pasti tanpa sepengetahuan suaminya, bahkan pihak keluarga pun hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya. Biasanya para tua-tua dalam keluarga mengatur tempat pertemuan mereka secara sangat rahasia sehingga kelak akan lahir anak bagi keluarga mereka. Dewasa ini, cara ini tidak lagi populer, dan kemungkinan besar sudah dilupakan atau ditinggalkan. Namun secara budaya tindakan ini dibenarkan dan tidak dianggap sebagai pelanggaran susila.
Dikutip dari Buku: "Benarkah Injil Kabar Baik?" oleh Drs. E.B Surbakti M.A