Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[MISTERI] Mencintai Saudara Kembar

25 Februari 2012   07:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:41 3540 2
Suasana pasar desa itu sudah sepi. Winda berkemas menyusun  buah - buahan segar dagangannya. Ia ingin segera bertemu Wahyu. Tetapi sudah hampir sejam dia menunggu jemputan. Wahyu tunangannya itu belum terlihat juga. Ia memutuskan naik ojek, tidak ke rumahnya tapi langsung ke rumah Wahyu.

"Wahyu ke mana bu? kok tidak menjemput saya di pasar tadi?" tanya Winda pada bu Kasmi.

"Ke rumah budenya mendadak Win, dia mau menyelesaikan urusan keluarga" jawab bu Kasmi.

"Penting banget toh bu, kok tumben saya tidak diberitahu" kata Winda lagi.

Bu Kasmi tidak menyahut, tangannya sibuk membersihkan batang lidi kelapa  untuk membuat sapu. Sebenarnya ia sudah sekian kali mau mengatakan sesuatu pada Winda tapi mulutnya seolah terkunci. Wahyu banyak berubah sejak  bu Kasmi memberi tahu rahasia itu pada Wahyu.

Sebenarnya  Wahyu mempunyai saudara kembar. Perempuan kembarannya itu bernama Titis. Sejak bayi Titis diambil oleh budenya yang berada di desa lain dan diangkat anak. Mereka memang sengaja dipisahkan. Terlebih tak lama dari kelahiran mereka berdua, ayah Wahyu meninggal saat  berburu di hutan.

Sore harinya.

" Bu, Winda tadi mencariku?" tanya Wahyu.

" Iya, kamu seharusnya pamit sama calon istrimu itu kalau tidak bisa menjemputnya ke pasar" kata bu Kasmi.

"Bu, aku mungkin tidak akan menemui Winda dulu sampai urusanku selesai, ada yang harus kubicarakan pada Titis" jawab Wahyu dengan wajah sedih.

Wahyu tampak tidak semangat untuk menghabiskan makanan di meja. Padahal bu Kasmi memasak sayur oseng daun pakis kesukaannya. Pikirannya hanya tertambat pada Titis. Hampir gila rasanya semenit saja tanpa membayangkan wajah Titis.  Dia tidak ingin Ibunya tahu apa yang ia rasakan. Biarlah ia akan mencoba menyelesaikan sendiri.

Esok harinya  Wahyu sudah meluncur lagi ke desa Telogobening. Ia membuat janji bertemu dengan Titis di dekat perbukitan.

" Mas Wahyu, aku sudah menunggumu sejak tadi di sini" kata Titis dengan penuh kerinduan. Ia berdiri di bawah pohon Waru.

Mereka berpelukan. Tanpa suara.  Daun - daun Waru yang kering satu persatu berguguran di atas kepala mereka. Angin bertiup cukup kencang.

" Titis, aku ...aku tidak bisa melupakan kamu...." Wahyu berbisik nyaris tak terdengar.

" Tidak Wahyu, aku mohon kembalilah pada Winda, ia menunggumu. Ingat Wahyu kita satu darah" sambil berkata Titis meneteskan airmata. Hancur hatinya  saat mengucapkan kalimat itu. Entah mengapa ia seperti kehilangan. Ia tidak ingin jauh dari Wahyu. Ia jatuh cinta pada saudara kembarnya itu sejak pertama mereka bertemu.

Hujan rintik -rintik menghiasi perbukitan itu, mereka seolah enggan beranjak dari bawah pohon Waru. Entah siapa yang memulai. Wahyu dan Titis bagaikan sepasang kekasih yang sedang mabuk cinta. Mereka saling berciuman dan berpelukan.

" Wahyuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!!!!!!, apa yang kalian lakukan astaga ampuni hamba ya Allah, dosa apa hambamu ini!!" Pakde Sastro berteriak sambil melempar keranjang rumput dan sabitnya. Wajahnya merah membara. Ia sangat marah dan segera menarik Titis menjauh dari Wahyu.

" Titiiiiiiiiiiiis.............tunggu aku! " teriak Wahyu. Percuma saja ia mengejar Pakde Sastro yang sedang kalap sambil mengacungkan  sabitnya.

Dengan hati hancur ia pulang ke rumahnya.

Tiba di halaman rumah, tampak  sepeda onthel milik Winda diparkir di samping pohon Mangga.

Dilihatnya Winda sedang membantu ibunya menumbuk beras ketan. Sementara ibunya sibuk membungkus gula aren dengan daun pisang kering.

" Mas Wahyu, kemana saja sih sejak tadi pagi. Kita kan masih harus menyelesaikan hal - hal penting untuk rencana pernikahan" kata Winda.

Sejenak Winda ke dapur, lalul mengulurkan segelas kopi hangat untuk tunangannya itu. Wahyu menerimanya dan meletakkan lagi di atas meja.Lalu keluar lewat pintu samping.

Ia memilih sendirian di beranda samping rumah, diam dan menghisap rokoknya dalam - dalam. Di situ ia membaringkan tubuhnya di bale - bale bambu anyaman almarhum ayahnya. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi pikirnya. Semua peristiwa tadi pagi cepat atau lambat pasti akan sampai ke telinga ibunya.

Winda menyusul Wahyu dan duduk di sisi bale- bale itu.

" Kamu sakit ya mas Wahyu? Kok  diam saja?" tanya Winda. Ia sudah paham betul Wahyu sebenarnya tidak senang menyimpan rahasia padanya. Tetapi firasat Winda merasa ada sesuatu yang disembunyikan tunangannya itu.

" Winda, aku mau terus terang padamu, kamu jangan salah paham. Ada masalah antara aku dengan saudari kembarku"

" Sejak kapan kamu punya saudari kembar mas?" tanya Winda. Ia sangat terkejut.

Bu Kasmi yang diam - diam mendengar pembicaraan mereka menarik nafas panjang. Ia teringat pesan orangtuanya dulu, jika sudah hampir menikah Wahyu harus diberitahu bahwa ia mempunyai saudara kembar.

"Ya, benar aku punya saudari kembar, namanya Titis. Dia sangat cantik" kata Wahyu sambil menghela nafas panjang. Aku sangat bahagia bisa bertemu saudari kembarku itu"

" Apakah dia akan datang ke pernikahan kita nanti ?" tanya Winda.

" Ya dia akan datang" jawab Wahyu berbohong.

" Lalu apa masalahnya? tanya Winda penasaran.

" Nanti akan kuberitahu, sabarlah" jawab Wahyu.

Entahlah hampa rasanya menceritakan rencana pernikahanya dengan Winda. Tidak ada yang lebih menarik di pikiran Wahyu selain membicarakan tentang Titis. Tetapi ia sadar cintanya pada Titis adalah cinta yang terlarang.

Di rumah pak Sastro pada saat yang sama.
Titis mendapat teguran keras dari kedua orangtua angkatnya itu. Ia merasa sangat bersalah. Ia tahu bahwa Wahyu dan dia adalah satu saudara kandung yang tidak boleh saling mencintai. Aku harus mengatakan pada Wahyu, ia tidak boleh meninggalkan Winda. Hanya Winda yang pantas mendampingi hidupnya. Titis minta maaf pada kedua orangtua angkatnya itu dan berjanji akan mendukung hubungan  Wahyu dan Winda. Apapun akan ia lakukan asal saudara kembarnya itu bahagia.

Esok harinya.
Titis berangkat lebih awal ke kebun, ia akan memanen beberapa pisang yang sudah masak. Ia akan membuat keripik pisang. Mendekati perkebunan ia menyeberang sebuah jembatan  gantung. Tiba - tiba dilihatnya Wahyu berada di ujung jembatan. Ia melambaikan tangan pada Titis. Wajah Wahyu tampak sangat tampan dengan kemeja putih.

" Wahyu, untuk apa pagi- pagi ke mari?"  Titis membatin dalam hati. Antara ia dan tidak ia bergolak melawan suara hatinya. Menghampiri Wahyu atau pura - pura tidak melihatnya. Titis bimbang.

Wahyu tidak bergerak sama sekali, ia hanya tersenyum pada Titis sambil melambaikan tangannya. Meminta Titis segera mendekat. Titis sadar ia Wahyu seolah sebuah magnet baginya. Dengan tergesa gesa ia menuju ke seberang. Tiba- tiba kakinya menginjak kayu jembatan yang sudah lapuk. Keseimbangannya hilang.

Byuuuuuuuuuur!!!!!....Titis tercebur ke sungai yang deras itu. Ia tak sempat berteriak minta tolong. Tak satupun yang melihat peristiwa itu. Bayangan manusia berwajah Wahyu itu tiba - tiba memudar dan lenyap. Tubuh Titis timbul tenggelam di seret arus sungai yang deras itu.

Sementara pagi ini, di rumah Wahyu.
Bu Kasmi dan Winda mengenakan kerudung hitam. Tetangga sudah berkumpul hendak memakamkan jenasah. Tubuh Wahyu terbujur  kaku  tertutup jarik batik di atas bale - bale kayu, beralas tikar pandan anyaman almarhum ayahnya itu. Ia ditemukan  tewas terseret arus sungai  saat hujan deras tadi malam.

Sekian

Salam Fiksi

Bidan Romana Tari

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun