Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Idul Adha: Akidah Kuat, Toleransi Erat

6 November 2011   09:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:00 608 0

Umat Islam Indonesia pada tanggal 6 November 2011 ini merayakan Hari Raya Idul Adha 1432 H., yang jatuh pada 10 Dzulhijjah. Di Mekkah, pada saat bersamaan para jama’ah haji melaksanakan pelontaran jumrah di Mina, sebagai bagian dari pelaksanaan rukun Islam kelima yaitu berhaji bila mampu. Kemarin, tanggal 9 Djulhijjah, jama’ah haji melaksanakan wukuf secara bersamaan di Arafah. Kejadian itu merupakan rekor dunia karena tak kurang dari tiga juta orang berkemah bersama di satu tempat.

Idul Adha di sebagian besar negara Islam atau berpenduduk muslim besar justru dirayakan lebih besar daripada Idul Fitri. Hal itu wajar, karena di saat ini terjadi dua ibadah sekaligus: haji di Mekkah dan Madinah serta qurban bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Sementara Idul Fitri hanya ada satu ibadah saja yaitu berzakat setelah berpuasa satu bulan penuh sebelumnya di bulan Ramadhan. Tentu saja, di samping shalat Ied di pagi hari antara waktu Shubuh dan Dhuha pada Hari Rayanya.

Sudah banyak yang menulis mengenai hikmah Idul Adha, karena itu saya hendak menyoroti dari sudut pandang yang agak berbeda. Seperti judul di atas, Idul Adha bukan hanya momentum kesalehan meniru ketakwaan Nabi Ibrahim a.s., tapi juga waktunya memperkuat akidah. Umat Islam harus mampu memahami bahwa ibadah yang diwajibkan saat Idul Adha ini bukan merupakan ajaran asli Rasulullah Muhammad SAW, melainkan warisan dari Rasulullah Ibrahim a.s. Artinya, Islam merupakan agama yang sudah eksis sejak awal adanya manusia, bahkan sejak azali. Hanya saja, mengutip Nurcholish Madjid, Islam yang telah hadir semenjak azali termasuk melalui diri Adam a.s. adalah Islam dalam arti “berserah diri”. Sementara Islam secara formal baru diresmikan dengan datangnya masa ke-Nabi-an Rasulullah Muhammad SAW.

Akidah umat Islam diperkuat karena ibadah yang dilaksanakan baik haji maupun qurban penuh makna simbolistik. Seperti diutarakan oleh Alwi Shihab (1999:101), Islam memandang dirinya sebagai bagian dari tradisi keimanan Ibrahim dan ketundukan yang total kepada Tuhan. Artinya, dengan Idul Adha umat Islam diingatkan kembali bahwa agama-agama dalam tradisi Ibrahim atau agama samawi berasal dari satu Tuhan yang sama. Meski begitu, dalam konteks Islam sebagai agama terakhir, maka umat Islam harus meyakini agamanya sebagai paripurna.

Namun, keyakinan itu tidak boleh membuat umat Islam merasa diri paling berhak atas planet ini. Nyatanya, begitu banyak keragaman manusia. Dan kita memang hidup di tengahnya. Idul Adha mengingatkan kita bahwa sejarah ibadah yang panjang sejak masa Ibrahim a.s. telah melewati perjalanan sejarah manusia yang panjang. Dan dengan memperingati teladan Sang Nabi, kita mengingat pengorbanannya berupaya menegakkan agama tauhid. Di tengah kaum musyrikin Mekkah penyembah berhala, Ibrahim a.s. yang kemudian dibantu putranya Ismail a.s. menegakkan ajaran ajaran Tuhan yang satu. Dan itulah fondasi dari agama-agama monotheisme.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun